Kegelapan yang stagnan itu dibuyarkan oleh rasa sakit yang menusuk-nusuk punggungku. Tubuh ini jatuh terpelanting dari sofa yang menjadi tempatku mengisi kembali baterai energi. Mengaduh penuh kekesalan, kedua mataku setengah hati untuk menerima cahaya masuk. Di hadapanku terpancung tegak sepasang kaki senior yang kuhormati itu. Taki Naohisa, bertolak pinggang, meratapi penderitaanku yang baru saja digulingkan dari kursi. "Mau tidur sampai kapan kau?"
"Tapi aku kan sudah menyelesaikan revisi yang kau minta, Taki-san," balasku seraya berusaha bangkit. "Sudah tiga hari berturut-turut aku tidak tidur.. Tolong maklumilah." Ia tak membantah, tapi tak juga menyiramiku dengan ucapan simpatik. Pada dirinya sendiri ia menggerutu, lalu telapak kakinya dihentak-hentakkan. Meski baru dua tahun menjadi muridnya, aku masih belum terbiasa dengan sikap merajuknya. Ia bukan seorang sadis, bukan juga kebalikannya.. Hanya orang aneh yang tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan sesuatu tanpa melewati karyanya.
"Aku sudah lihat revisimu. Lumayan, tapi kenapa kau tidak mengubah akhir ceritanya seperti yang pernah kita diskusikan?"
"..Ah, soal itu.." Aku menggaruk-garuk kepala, setengah bingung sendiri. "Bagaimana kalau setelah ini aku datang ke ruanganmu, nanti kita ngobrol lebih jelas di sana. Sumpah mati nyawaku sepertinya terpencar entah kenapa.. Aku tak bisa menjawabmu sekarang meskipun ingin."
Ia menggumam geram, tapi tetap dalam tembok personalnya. Mentor berusia 34 tahun itu akhirnya menuruti keinginanku, ia pergi ke ruangannya tanpa pamit. Dari gelagatnya sepertinya ia sudah mulai terperanjat dengan skenario yang kutulis tapi tidak puas dengan beberapa hal kecil. Pertama kali ia menyetujui untuk mengambilku sebagai murid, ia sudah mengatakan kepadaku bahwa cerita yang kupunya menarik hanya kurang daya presentasi. "Setelah tahu siapa kau sebelumnya, aku tidak heran kau bisa memberikan nyawa seperti itu pada tulisanmu."
Sesungguhnya sedikit janggal menjadi murid dari seseorang yang hanya berbeda 8 tahun denganmu. Tapi mengutuk langit pun tidak bisa membatalkan fakta bahwa bakat memang turun pada kepala laki-laki itu. Pada usianya yang semuda itu ia sudah menyabet dua piala dari penghargaan Television Drama Academy Award sebagai penulis skenario terbaik. Tahun ini ia mencoba untuk bergabung dengan dunia layar perak dan sepertinya tak sedikit orang yang memprediksi bahwa dalam kurun waktu 5 tahun ia akan menjadi salah satu yang terbaik di bidang tersebut. Tentu aku bukan manusia seberuntung ia, tapi setidaknya kegagalanku menjadi idola dibayar dengan diterimanya aku sebagai pengikutnya. Hanya saja di satu sisi aku juga merupakan murid perdananya, sehingga wajar jika ia kurang pengalaman untuk menyebarkan cara-caranya menjadi sukses. Tak jarang aku merasa frustasi memahami apa yang ia mau.
Setelah menenggak habis sebotol minuman energi yang kusimpan di lemari pendingin, akhirnya aku merasa lebih siap untuk bicara dengannya. Kudatangi ruang bacanya yang ada di ujung koridor, dapat kubayangkan ia sudah berleha-leha di atas kursi goyangnya yang reyot itu. Meski tak satu dekade pun memisahkan kami, tapi aku merasa sedang akan bersinggungan dengan seorang yang lanjut usia. "Taki-san, aku masuk, ya."
"Hm," jawabnya singkat. Benar dugaanku, ia sedang asyik mendengarkan piringan hitamnya sambil tangannya sibuk mencorat-coret berlembar naskah, entah proyek yang mana. "Duduk sana." Tangannya menunjuk ke arah kursi kayu yang ada di dekat pintu, meski matanya tetap tak berpaling.
"Jadi.. Sebenarnya aku sudah memikirkan saranmu untuk meneruskan sedikit kisahnya setelah dua pemeran utama itu bertemu kembali.. Hanya saja, aku merasa ada yang ganjil karena aku tak bisa membayangkan mereka berdua hidup bahagia bersama. Tapi aku juga tak mau menceritakan bahwa setelah itu mereka berpisah. Bagiku setelah kejadian itu mereka hidup bahagia sendiri-sendiri, tapi hati mereka saling bertautan.. Sulit untuk menjelaskan situasi seperti itu dengan adegan," ungkapku tanpa basa-basi.
"Hoo, intinya kau tetap ingin membuat akhir yang terbuka, yang bebas ditafsir oleh penontonnya?"
"Benar. Aku rasa lebih baik seperti itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
About That Hisui-kun We Haven't Known Yet [BL]
Mystery / Thriller[ON-GOING/PG15] Musim Dingin 1989. Publik Jepang gegar. Perempuan-perempuan muda mengalami trauma massal. Seorang bintang idola muda ditemukan tewas tercekik di tengah hutan, dengan jasad yang habis dikoyak oleh birahi binatang buas. Tiada satu pun...