Bagian 2

433 58 5
                                    

            William menekuri lembar data mengenai hasil interogasi pertama terkait kasus kematian mahasiswa secara misterius. Keningnya berkerut dan telunjuknya mengetuk meja dengan ritme pelan. Kembali dibacanya barisan kalimat yang menjelaskan tidak ada indikasi kekerasan pada mahasiswa kematian tersebut. Kemungkinan kematian mahasiswa itu disebabkan racun, mengingat sebab itu lebih relevan.

William menarik napas panjang. "Jangan katakan aku berhubungan lagi dengan jenis racun," keluhnya mengingatkan pada kasus terdahulu yang juga melibatkan sahabatnya[Runaway Baby]. David, partner barunya selama satu tahun ini, terkekeh.

"Kalau memang disebabkan karena racun, kasus ini akan cepat selesai. Kau expertnya," kata David santai. William berdecak, namun tidak berkomentar. Kembali dia menekuri kertas itu.

Keheningan selama beberapa menit itu buyar ketika pintu ruangan William terbuka. Giselle masuk kemudian berdiri dihadapan William. "Salah satu teman korban ingin memberi kesaksian," lapor Giselle.

"Oke. Ayo." William berdiri dan mengajak David. Dibelakang mereka, Giselle mengikuti.

Saat hampir tiba, ponsel William berbunyi. Pesan dari Chloe. Dibukanya pesan itu, perempuan itu mengajaknya bertemu sekarang juga. William mendesah pelan, lalu berbalik memandang David dan Giselle.

"Kalian saja yang menemuinya. Aku harus pergi."

"Kemana?" tanya Giselle langsung. "Bertemu dengan perempuan itu?" katanya lagi ketika William diam. "Hanya karena perempuan itu, kau meninggalkan pekerjaan mu yang sangat penting ini." Giselle mengangguk-angguk sambil tersenyum sinis.

William menatap Giselle tak suka. "Dia kekasihku!" balas William tak terima.

"Ya! Dia kekasihmu yang akhirnya membuat pekerjaanmu terbengkalai!"

David berdeham. Berusaha menghentikan mereka yang saling menatap tajam. "Sudahlah, Giselle. Biarkan dia pergi. Aku masih bisa menghandlenya." David mengisyaratkan William untuk pergi.

"Thanks," gumam William lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun pada Giselle.

"Stupid!" maki Giselle mengikuti kepergian William dengan pandangan. David menyeringai. "Apa?" kata Giselle sinis.

"Melihat tingkahmu seperti ini, aku jadi merasa kau cemburu."

"Dalam mimpimu!" seru Giselle tak terima lalu pergi. David tersenyum, kemudian mengikuti Giselle.

***

Crystal menyandarkan punggungnya ke kursi. Kedua tangannya terlipat didepan dada dan kakinya menyilang saling tumpang tindih. Tatapannya tertuju pada laki-laki berusia sekitar 50 tahun.

"Jadi mereka akan mengadakan party?" kata Crystal tersenyum sinis. "Kalau begitu, aku ingin kau mendapatkan undangan itu. Bagaimanapun caranya. Kau mengerti, Gerald?"

"Aku mengerti."

Crystal mengangguk lalu menyuruh Gerald pergi. Begitu pintu ruangannya tertutup, Crystal beranjak ke balkon dan berdiri disana. Menatap pemandangan laut yang menghantam batu-batu besar dibibir pantai.

Pikirannya kembali melayang pada informasi yang dibawa Gerald. Mengadakan pesta? Dalam rangka apa? Merayakan kematian? Crystal tersenyum sinis dan tangannya seketika terkepal kuat.

Harusnya, manusia-manusia menjijikkan itu yang mati. Crystal membatin.

Bagaimanapun, dia akan membalas perbuatan manusia hina itu, lalu mengambil apa yang seharusnya miliknya. Pikiran itu sudah sejak lama menghantuinya. Sejak dia dibuang secara paksa. Pikirannya yang terkadang semakin menggila setiap mengikuti perkembangan kehidupan mereka yang didapatnya dari Gerald.

CrystalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang