2. Cia

99 12 20
                                    

Tuhan maha adil.

Tapi yang ku pertanyakan adalah alasan bagaimana semua ini adil untuk aku.

***

Aku berusaha keras mempertahankan senyum lebar di hadapan Vina, teman sekelasku yang sedang melakukan sesi curhat dadakan di dalam kelas.

Untung saja kelas hari ini sepi, guru - guru memiliki rapat setelah kepala sekolah yang baru datang. Menguntungkan sekali bagi siswa seperti kami yang sudah terlalu lelah belajar.

"Intinya, aku membencinya sampai aku ingin membunuhnya,"

Vina mengatakan kata - kata itu dengan keras, matanya begitu tajam dan tangannya mengepal kuat. Aku bisa melihat dengan jelas jika gadis ini memiliki masalah besar.

Aku mengusap pundaknya dan menenangkannya, Vina begitu keras, bukankah itu tidak baik?

Tidak ingin terlihat seperti anak alim, pada nyatanya Ibuku selalu mengingatkan untuk bersyukur dengan apa yang kita dapatkan. Pahit atau manis.

Tapi aku rasa, sebuah perkataan terlalu sulit untuk diwujudkan dalam dunia nyata ya. Sangat sulit.

Orang - orang ini begitu percaya padaku sebagai orang yang menerima cerita mereka, dan aku tidak yakin mereka ingin tau tentang aku.

Perkenalkan, aku Ciara, biasa dipanggil Cia, siswa kelas dua belas yang terkenal dengan sebutan kelas Tsaadist. Kelas paling kompak satu sekolah.

Kelas yang nyatanya menyimpan cerita mereka sendiri, tanpa disadari.

***

"Assalamualaikum Ma,"

Aku mengucap salam sembari melepaskan sepatu sekolahku. Setelah memberi salam dengan Ibuku yang sibuk bekerja, aku masuk ke dalam kamar dengan segera.

Menatap diriku di dalam cermin membuatku tersenyum kecil, jilbab baru yang dibelikan oleh Gio sebagai hadiah terlihat sangat cantik dan manis. Aku begitu menyukainya.

Setelah melepaskannya, aku membaringkan diri ke atas kasur kecil milikku. Sekolah hari ini sangat menyenangkan, selain tidak ada guru yang mengajar, Vina menceritakan kisah hidupnya padaku. Kisahnya sedih sekali.
Tak lama, sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Pesan dari Gio.

Ia menyapa dan menanyakan hariku. Aku membalasnya dengan cepat.

"Jangan lupa solat ya, Cia. Berdoa supaya Mama kamu ngerestui kita,"

Aku tersenyum sendiri melihat balasan pesan Gio, meskipun sudah terbiasa menerima pesan yang sama setiap hari.

Gio dulunya adalah kakak kelasku di masa SMP. Orang yang baik dan taat agama, cerdas dan memiliki ilmu.

The accument of him make me fall in, hard and deep.

(Kecerdasan dia yang membuat aku jatuh, keras dan dalam)

"Ini aku mau solat kok, aku doakan selalu,"

Balasku lalu menutup ponsel, mengambil wudhu dan melaksanakan kewajiban utama ku sebagai seorang muslimah.

Terkadang aku berpikir sendiri bagaimana bisa aku sampai di posisi ini, tapi dia selalu berkata, Allah itu maha adil. Maka ia tidak akan mengingkari janjinya untuk hambanya yang bersujud padanya.

Bertemu dengan Gio adalah salah satu hal terbaik yang aku percayai, dan aku harap akan selalu begitu.

***

Aku merapikan mainan yang berantakan, ulah keponakanku yang masih kecil. Kakak perempuanku yang sudah menikah tinggal di rumah ini bersama keluarga kecilnya. Sebenarnya aku selalu berharap ia pindah bersama keluarga kecilnya, agar aku bisa menghabiskan waktu dengan Mama.

TSAADIST CLASS (discontinue)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang