3. Sandra

109 9 11
                                    

Loving you is pain, hurt me more than anyone. Do I need to stay or leave you?

Sekolah akhir – akhir ini terasa seperti sebuah neraka dunia, detik berlalu begitu cepat, bel berdering kencang, ujian menakuti seperti mengecam, teman – teman membicarakanku dari belakang.

Tapi lebih dari itu, aku berada di ambang kebingungan terbesar di dalam hidupku.

Lahir dan dibesarkan oleh keluarga pekerja keras, aku memiliki beban untuk menjadi seorang yang berhasil, dan kini semua yang aku pikirkan hanyalah lelaki sialan itu.

Tell me stupid, because I really am.

Sebut siapa saja yang sudah berbicara padaku untuk berhenti. Lisa, Vina, Theresia atau siapapun yang berada di kelas kami mengatakannya berjuta kali.

"Udah deh San, lo gak bisa ya putus aja sama dia?"

Kata temanku Vina, baru – baru ini saat melihat aku mengerjakan tugas Alif. Dan jawabanku sama seperti sebelumnya, tertawa kecil dan mengacuhkan ucapannya sekali lagi. Tentu saja aku memikirkannya, I'm still human.

Ini adalah hal kecil yang kulakukan untuknya. Sungguh.

Tapi putus dengannya? Aku tidak memiliki keyakinan appaun bisa melakukannya.

Mengenalnya adalah kesalahan terbesarku. Laki – laki yang mengenakan seragamnya berantakan itu, dengan malas – malasan masuk ke dalam kelasku hari itu. Ia bahkan mengenakan jaket panjang berwarna hitam tanpa memikirkan peraturan yang sudah ia langgar.

Siswa baru itu dengan seenaknya duduk di salah satu sudut bangku dan menyambungkan headset di telinganya. Benar – benar menjengkelkan. Sampai menarik perhatianku. Sangat salah, bukan?

Salah karena dirinya yang berbeda, sikapnya yang talk less do more dan rasa bebas yang ia berikan padaku membuatku terikat dengan hubungan percintaan remaja yang rumit dengannya.

Seperti siang ini di dalam kelas. Teman – temanku bersorak gembira karena tidak ada guru mata pelajaran yang mengisi. Dan aku duduk di bangku-ku, menatap lelaki yang egois ini.

"Kamu gak berhak ngatur kehidupan aku sampai seperti itu," Ucapku dengan kecewa. Kali ini ia benar – benar diluar batas, dan aku tidak tahan. Aku tertawa sarkatis mengingat caranya menarik tanganku didepan semua orang dengan kasar.

Ia berhasil membuatku malu setengah mati. Tak sedikit yang mencemooh kami sebagai drama queen di kelas ini.

"Aku gak suka kamu bantah ya, Sandra," Ia menekankan namaku dalam kalimatnya.

Aku menghela napas dengan hati yang berat. Menatap lelaki yang menghujamku dengan tatapan tajamnya, terlalu menusuk. Dia begitu keras, dan aku begitu lembut untuk membalasnya.

"Tolong, akan sangat sulit untuk aku jika kamu terus kayak gini,"

"Kalau kamu gak ngebantah aku, aku gak akan kayak gini, okay?"

"Kamu terlalu egois, kamu tau itu, kan?"

Semuanya dimulai dari sikapnya yang over protektif, mengunciku dari segala arah dalam berkomunikasi dengan orang lain. Hidupku seperti berada di ruangan isolasi dengan gambaran lelaki ini di sekelilingnya.

"Sandra," Katanya menyebutkan namaku seperti sebuah sabda. Aku memijat keningku yang pusing karena sikapnya, memejamkan mataku sebentar, menahan diriku yang ingin meledak.

"Aku capek,"

Ini melelahkan Alif. Aku merasakan mataku memanas, dan perlahan tanpa bisa kucegah, aku menangis untuk kesekian kalinya.

TSAADIST CLASS (discontinue)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang