"Hidup itu antara "B" birth dan "D" death, diantaranya ada "C" choice (pilihan) hidup yang kita jalani, keberhasilannya ditentukan oleh setiap pilihan kita."
- Anonymous -*REYNA POV
Lima tahun yang lalu
Aku terbangun saat mataku silau oleh sebuah cahaya menjantang dan menyempil diantara genteng rumah yang merambat lurus melewati jendela kayu berkaca dengan sekat-sekat kecil sehingga membentuk sebuah bentuk persegi, segi lima dan segi enam yang letaknya di sebelah kanan posisi tidurku.
Aku mengela napas tidak panjang, mungkin selama tiga detik. Kupandangi sekeliling, langit diluar sana juga tak ayal kupandangi. Terlihat dua sisi berbeda, yakni di sisi kanan cerah hingga menyajikan langit biru dengan awan seputih kapas disebelah kiri mendung diselimuti dengan awan kelabu yang kuperhatikan mulai berjalan menuju barat laut yang kemudian menujukan langit yang sangat cerah dengan cahaya matahari yang mulai berpendar ke arah barat.
Aku turun dari kasurku. Segera menata kembali baju-baju yang sedang ku bereskan. Hari ini adalah hari terakhirku disini. Besok aku akan menghadapi sesuatu yang 'baru' lagi.
Kulirik jam dinding di samping pintu rumah. Waktu menunjukan pukul 4 sore. Aku bergegas menata barang barangku lalu menuju ruang tengah. Kulihat Bapak dan Ibu pun sedang mengerjakan hal serupa. Mengepak barang. Aku hendak ke belakang rumah, mengambil handuk untuk mandi namun kemudian Bapak bertanya, "Jangan sedih nduk, tiap libur semester kamu boleh main kesini lagi. Main sama temen-temenmu dan saudaramu, Ara"
"Inggih pak" jawabku halus dan sedikit memaksakan senyum. Aku mungkin tak perlu melakukan ini, Bapak toh selalu menjadi orang yang paling tahu gerak-gerikku.
"Apa nda lebih baik kamu nda usah ikut nduk? Tinggal di tempat Ara?" Ibuku merasa melas melihat wajahku yang muram.
"Mboten napa buk" jawabku seraya berbalik dengan cepat menuju belakang rumah.Aku tak mengerti aku kenapa. Pindah bukan hal baru bagiku. Ini yang kedua kalinya. Jadi aku merasa tak apa. Hanya saja kenapa hatiku terasa berat? Apa karena aku sudah betah di kota ini? Ataukah bayangan masalalu ku saat aku menetap di kota itu penuh dengan beban?
Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 4 sore lebih tiga puluh menit. Aku telah bersiap. Memakai pakaian buatan Ibuku yang sampai selutut. Memakai bandana merah, bandana yang sama dengan milik Ara. Menggendong tas selempangan kecil. Kami bertiga bersiap menuju stasiun. Kami tidak membawa barang yang kami pak. Itu akan dikirim melalui jasa pengiriman yang akan diurus Om ku, Ayah Ara.
Pukul 14.15 aku dan keluargaku tiba di stasiun Yogya. Menunggu Malabar 99. Aku duduk di sebuah kursi panjang besi di ruang tunggu sembari membuka HP. Ada dua pesan disana. Dari Ara dan mas ali. Pesan permintaan maaf mereka karena tidak bisa ikut mengantarku di stasiun.
Mataku beralih pada gelang di kanan kiriku. Gelang persahabatan kami, mas ali, aku dan Ara yang kami beli di Malioboro setahun lalu. Saat aku sedang asyik mengenang persahabatan kami, aku mendengar seseorang yang berumur kira-kira sebaya denganku sedang berbicara pada ibunya dengan logat seperti orang jakarta atau bandung.
"Ma, kenapa si kita mesti pindah lagi. Aku gak mau pindah ma. Aku pengen balik lagi kesana kerumah kita" protes anak lelaki itu. Andai saja dia adalah aku pasti aku akan senang tinggal di jogja. Dia belum tahu enaknya tinggal di jogja.
"Rumah itu sudah di jual nak, sekarang kita tinggal disini"
"Tapi ma, aku gak suka di jogja. Kenapa juga papa harus pindah kesini? Kenapa juga kita pindah di saat aku mau masuk SMA ? Aku udah pengen masuk SMA favoritku ma, kenapa? Kenapa mesti pindah?" Ucapnya yang menurutku seperti sepur itu.
Dia sama sepertiku. Tak ingin pindah. Aku juga merasa membohongi diriku sendiri. Aku ingin sekali tetap disini. Ingin rasanya memelas meminta bapak-ibu untuk tidak pindah. Tapi setengah hatiku merasa tak enak untuk bersikap seperti itu. Itu egois. Tidak baik bersikap seperti itu. Aku hanya bisa berharap kehidupan keduaku di sana berjalan baik, berbeda dengan awal aku tinggal disana. Menerima sebuah penolakan. Penolakan mereka. Penolakan yang tak bisa kumengerti alasannya.
Ekor mataku berbalik ke kedua orang tadi. Anak itu masih terlihat dengan hawa rasa tidak sukanya. Sementara ibunya terlihat bingung harus berbuat apa.
"Kita tunggu sebentar, papa sedang ada di jalan untuk jemput kita" jelas ibu itu kepada anaknya.
"Hmmm" jawab anak yang tadi.Satu menit kemudian mereka bangkit menuju pintu keluar. Mungkin sudah di jemput oleh orang yang mereka tunggu. Aku melihat bangku mereka dan melihat dompet. Tanpa pikir panjang, aku segera mengambil dompet itu untuk ku berikan pada ibu tadi. Ku dengar ibuku berteriak memanggil namaku, namun aku mengabaikannya. Aku belari di antara kerumunan mencari ibu tadi. Aku ngos-ngosan dan berhenti mencari sosok ibu tadi. Celingak-celinguk ke arah pintu keluar. Di pojok kanan aku melihatnya. Sedang mencari sesuatu yang ku yakin adalah dompet yang ku pegang ini. Syukurlah. Aku bergegas menemui ketiga orang itu.
"Permisi bu" ucapku
"Iya ada apa nak?"
"Apa ibu mencari dompet ini?" Tunjukku "Tadi saya lihat ada di bangku yang ibu duduki." penjelasanku mengenai dompetnya.
"Oh iya ibu sedang terburu-buru. Jadi lupa. Terimakasih ya. Siapa namamu?"
"Nama saya Reyna bu. Reyna Ayu Handoko"
"Terimakasih ya Reyna. Ibu berterima kasih sekali padamu. Oh ya ini untukmu" ucap ibu itu dengan menjulurkan selembar uang berwarna biru.
"Tidak bu, terimakasih. Saya ikhlas menolong ibu" jawabku. Namun seketika aku merasa aneh karena ditatap anak laki-laki itu. Dia seperti melihatku lekat-lekat. Walau aku tidak melihatnya secara langsung aku bisa merasakannya. Aku buru-buru berpamitan karena aku harus kembali menemui ibu dan bapakku yang mungkin kebingungan mencariku.Aku kembali menemui ibuku yang ternyata sudah bersiap karena kereta kami sudah datang. Aku meminta maaf dan berjanji akan menceritakan alasanku tadi berlari. Kemudian kami bertiga memasuki kereta. Tidak beberapa lama kereta berjalan. Menjauhi jogja. Kota sejuta kenanganku.
~¤~
Terimakasih sudah membaca cerita ini. Saya berharap kalian dapat memberikan saran untuk saya. Baik secara langsung (pesan) maupun komen di cerita ini. Maaf jika masih sedikit dan ceritanya tidak sesuai harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Traveller Hati
Short StoryHati ini seakan seperti air. Terus mengalir dari hilir hingga muara. Tapi nyatanya hati ini terus mengalir, entah kapan. Entah kapan hatiku ini akan bermuara.