Tiga jam telah berlalu, aku masih disibukan pada sebuah novel teenlit di sebuah cafe yang berjarak 15 kilometer dari apartement-ku. Cafe ini tidak terlalu ramai. Desain industrialisnya benar-benar gayaku, live music akustik yang pemainnya benar-benar gayaku, serta caramel machiato yang menjadi sisi paling favorit bagiku dari tempat ini. Seperti inilah caraku menghabiskan waktu setiap akhir pekan. Tanpa kawan, tanpa pertanyaan yang mengusik fokusku, dan tanpa perbincangan tak perlu.
"Nadine?" sebuah seruan menghentikan kesibukanku.
"Loh, Anjani? Tinggi kamu tetep segini aja, ya. Apa kabar?"
Aku segera berdiri dari dudukku lalu memeluknya erat. Sepuluh tahun berlalu dan Anjani masih dengan tubuhnya yang mungil dan rambut hitam panjangnya yang indah.
"Perfect, dong! Aku udah merhatiin kamu dari tadi tau, tapi gak yakin gitu habisnya duh makin kece aja kamu." ujarnya seraya memukul bahuku cukup keras hingga bersuara. Ciri khas Anjani.
"Eh duduk, duduk!"
"Masih suka novel remaja ya? Udah tua juga."
"Cuma buat ngisi sepi doang. Ini minjem punya ponakanku," ucapku seraya memasukan buku tersebut ke dalam tas.
"Gimana nih sama Dirga? Abis pamer mau kawinan di kebun bunga, eh malah gak ada kabarnya," lanjutku. Bukan bermaksud menyindir, tapi ia benar-benar seolah memutus kontak dari seluruh temannya. Kabarnya tidak terdengar sejak 4 tahun lalu, media sosialnya hilang, bahkan teman dekatnya juga mencari-mencari.
"Apaan sih, Nad," ucapnya lalu terkekeh singkat. Namun, terlihat jelas raut wajahnya berubah. Ntah kesal, sedih, atau marah aku tidak bisa mendefinisikannya.
"Aku sama Dirga udah gak bareng. Married-nya failed," ucapnya sambil tertawa kecil.
"Eh, sorry. Aku belum denger-"
"No problem."
"Jani..." ntah apa yang harus aku katakan. Aku masih belum mampu memberi tanggapan yang tepat untuk atmosfer ini. Aku yakin ini bukan sesuatu yang ingin ia ungkit. Aku salah memulai percakapan.
"Emm...yah, penantian sejak SMA harus dibayar dengan gagal menikah sepuluh hari sebelum tanggal pernikahan. Aku yang ambil keputusan ini kok. Berdasarkan pertimbangan yang matang. "
Aku selalu tidak mampu memahami ekspresi Jani saat berbicara hal-hal menyedihkan. Kami teman sebangku saat SMA, tetapi entah bisa disebut sahabat atau bukan. Pastinya, kami pernah berteman cukup dekat. Saat itu, aku ingat betul bagaimana Anjani menyukai Dirga dan sebesar apa perjuangan untuk mendapatkannya. Dirga adalah cinta pertamanya. Anjani jatuh cinta padanya sejak masa orientasi, setelah Dirga memberi tumpangan saat ia menanti ayahnya menjemput hingga pukul setengah 7 malam pada hari penutupan.
Anjani dengan tingkah pecicilannya, akan menjadi pendiam dan manis saat Dirga berada di sekitarnya. Suatu hari, secara kebetulan Dirga duduk di sebelahnya saat menonton pertandingan futsal antar kelas. Anjani yang biasanya berteriak menyemangati dengan suara ala kaleng rombengnya menjadi pendiam dan sok manis. Selain itu, saat Jani makan permen karet bersamaku, ia memberikannya satu pada Dirga dengan kepala menunduk dan suara lembut malu-malu. Menjijikan bagi orang yang mengenalnya baik, tetapi mungkin imut bagi orang asing lainnya.
Anjani tubuhnya kecil dan kulitnya putih bersih terawat. Hal yang paling dibencinya adalah panas matahari yang dapat membakar kulitnya. Namun, berkat Dirga yang luar biasa mencintai gunung dan bentang alam sejenisnya, Anjani dan aku bergabung dalam organisasi pencinta alam. Alhasil, setiap ada kegiatan, Anjani berkali-kali mengoleskan sunblock dan sialnya ia pernah hipotermia di tengah malam saat pelantikan anggota baru. Belum lagi pingsan, jatuh, menangis, dan drama lainnya yang ia buat selama kegiatan organiasi tersebut berlangsung. Menyusahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lepas
Short StorySebanyak itu aku berusaha mempertahankan kamu. Sebanyak itu pula kamu menyakiti aku.