Shocking

7 0 0
                                    

Brooklyn, New York.

"Oh god, sampai kapan telingaku tahan mendengar dia selalu memuji wanita lain?
Kenapa selalu saja wanita itu yang di bicarakan?
Apa tidak ada orang lain? Aku misalnya." Gadis berambut ikal sepinggang itu berjalan sambil menghentakkan kakinya. Berbicara sendiri dengan kekesalan menggunung.

Rambut hitamnya bergerak seirama langkah kaki yang cepat mengetuk aspal dingin tengah malam.

Kemeja biru panjangnya di talikan pada pinggang ramping berlapis ripped jean's hitam.

Rami Andara menggaruk rambutnya yang tidak gatal,
"Apa yang kurang padaku? Crish bahkan tidak mau repot-repot memandangku jika dalam ruang yang sama. Apa aku terlalu jelek? Apa aku bau?" Tangannya mengangkat kaos hitam yang ia kenakan, di baui sebentar lalu mengendikan bahu, "tidak, aku yakin sudah memakai parfum lumayan banyak." Gadis itu memikirkan alasan lain, apa yang salah dengan dirinya.

Berbelok ke gang kecil temaram, langkahnya memelan seiring otaknya berpikir. Namun tidak ada satupun alasan yang masuk akal baginya. Ia percaya diri, menarik perhatian Crish dengan membantu di klinik tempat kerjanya. Menyiapkan alat dokternya ketika di butuhkan, membawa bekal makan untuk pria itu. Ia tidak habis pikir.

Meremas rambut tergerainya dengan kesal, kaleng bekas softdrink menjadi pelampiasan amarah, melayang karena tendangan keras tidak terarah gadis itu. Mendarat di kejauhan tanpa bisa ia lihat dalam pencahayaan minim.

"Arrgghh.."

Mia terperanjat, mulutnya refleks menganga terkejut, berhenti mendengar suara yang sepertinya seorang pria mengerang. Sial, ia tidak membawa senter atau semacamnya untuk memastikan asal suara itu.

Menoleh kanan-kiri dan belakang, tidak ada suara yang terdengar lagi. Gadis itu mempercepat langkah, nyalinya tiba-tiba menciut seketika. Meskipun hidup di lingkungan itu sudah dua tahun, ia tidak benar-benar mengerti seluk beluk jalan pintas yang ia lewati belum lama itu.

Kaki Mia tersandung sesuatu hingga membuat tersungkur. Rambutnya mengumpul di sisi kiri-kanan leher, angin malam membelai tengkuk membuat bulu kuduknya meremang. Tidak berani menoleh, ia diam dan berdoa dengan mata terpejam.Ketakutan menyelimuti hingga sangat sulit untuk lekas bangun dan berlari.

Lenguhan terdengar dari belakangnya. Mirip suara lenguhan orang sakit. Atau memang itu benar suara orang sakit.

Dengan sisa keberanian yang di punyai, ia menoleh perlahan. Matanya menyesuaikan keadaan yang remang, menemukan seseorang tergolek bersandar pada dinding memakai hoodie hitam.

Buru-buru ia mendekati pria malang itu. Menyentuh pundaknya dan memastikan.

Semoga saja pria ini bukan orang jahat, batinnya.

Mia menggoyang bahu pria di hadapannya, semula pelan lalu berubah guncangan kasar. Kepalanya menoleh kanan kiri ingin meminta bantuan sekitar. Tetapi gila saja, itu hampir tengah malam. Hanya akan ada gelandangan atau pemabuk di jam selarut itu. Lagi pula itu Brooklyn, bukan Jakarta darimana Mia berasal.

"Kau bisa mendengarku?" Mia bertanya pelan pada pria di depannya. Nafas yang di keluarkan tersengal dan putus-putus.

"Y-yahh" jawab pria itu serak.

"Kau masih mampu berjalan? Ayo, ku obati kau di rumah." Ujar Mia. Menempatkan sebelah tangan orang asing itu pada pundaknya.

Jujur saja, Mia merinding mendengar suara pria itu. Ia menebak jika pria di depannya belum genap tigapuluh tahun. Pikiran macam-macam ia tepis saat itu juga, toh dia hanya berniat menolong. Bukan urusannya juga.

Susah payah mengerahkan tenaganya, dengan ukuran tubuh yang lebih kecil, Mia memapah pria yang terus  menunduk itu ke rumahnya.
Terseok sepanjang jalan, sempoyongan hampir hingga terjatuh, Mia mengeratkan cengkeraman tangan kirinya pada tangan pria itu yang mengalungi lehernya, serta tangan kanan memengang pinggang dari arah belakang.

Mia tidak tahu, jika menolong orang asing itu semakin menyulitkan hidupnya.

....

Merasakan nyeri luar biasa pada tubuhnya, seorang pria beringsut duduk dari tidur pada kasur empuk beraroma vanilla.
Selimut tebal menutup sampai batas perut, membuatnya menyibak benda itu secara kasar.

Mengerjap malas, pupil matanya mulai menyesuaikan keadaan kamar yang remang.
Tidak terlalu luas dan dindingnya berwarna krem.

Postur tinggi gagah itu menggerakkan bagian tubuhnya di sertai meringis dan desisan akibat rasa nyeri. Berusaha berdiri, kakinya  berjalan terpincang keluar kamar. Tenaga sangat minim, membuat tubuh tegapnya kelelahan, lemas, sekaligus lapar.

Susah payah kakinya di jejakkan, onggokan kain di sofa kamar dekat jendela terlihat bergerak. Memastikan lebih dekat, pria itu melihat seorang gadis beralih posisi tidur. Tidak bisa ia lihat jelas, karena wajahnya menghadap punggung sofa dan hanya rambut bergelombang menjuntai.

Salah berbelok beberapa kali,  pria itu menemukan letak pantry sederhana milik penyelamatnya. Mata birunya menelisik setiap isi lemari pendingin mencari makanan sesuai selera. Apa daya, yang di temukan hanya air, telur, sayur dan beberapa apel. Ia tahu, sikapnya kurang ajar dan sangat tidak sopan. Tapi berhubungan dengan perut yang meronta, tidak bisa di tunda nanti lagi, apalagi jika harus menunggu sampai matahari muncul. Siksaan pelan yang benar-benar sangat menyiksa.

Sebotol air putih dan dua buah apel ia ambil dan bawa ke arah meja pantry. Duduk menatap ruang kosong, makan dalam ketenangan.

"Ya tuhan, jadi aku menyelamatkan pencuri dan memasukkan dalam flatku? Betapa bodohnya aku." Ujar Mia bersandar pada bingkai pintu, berjalan ke arah pria yang berekspresi terkejut kemudian tersedak atas kehadiran tiba-tiba gadis itu.

Secara sengaja Mia menyambar air putih di atas meja dan menenggak separuh membiarkan pria lancang itu tersiksa. Tatapan sinis terarah pada pria di seberang meja. Ekspresinya sangat biasa dan cuek sambil terus mengunyah, tidak merasa bersalah sedikitpun.

Mia tertawa pelan,
"Jadi tidak ada ucapan terima kasih atau semacamnya karena aku menolongmu?"

Selesai dengan kunyahan apel terakhir, pria itu meneguk air dari botol di hadapannya. Mia duduk tenang mengawasi pria di depannya, dengan tatapan tajam.

Menghela nafas panjang, pria itu menatap Mia lebih dekat.
"Well.. terima kasih untuk pertolonganmu. Dan makanan." Pria itu mengucap terima kasih terkesan meremehkan, jelas terlihat dari mimik muka dan sorot matanya.

Terdengar senyum mengejek dari Mia,
"Oh.. ku pikir kau tidak bisa bicara atau sulit bicara. Kau terlihat seperti... warga lokal." Mia menebak pria di depannya sebagai warga asli NY. Bukan turis atau backpacker yang tersesat. Lagipula pria itu tidak membawa apapun dalam insiden semalam. Tidak tas kecil atau barang lain.

Pria itu malah mengendikan bahunya.

"Okey, kalau kau sudah merasa baikan, kemasi barangmu. Akan lebih baik jika aku bergerak bebas di flatku tanpa di awasi siapapun." Mengibaskan tangan, usiran halus terlontar spontan, Mia beranjak menuju kamar meninggalkan orang di belakangnya yang tertegun.

Pria itu cepat-cepat menyusul  masuk, dan menemukan Mia tidur di kasur yang ia gunakan tadi.

Mia melenguh, posisinya tidur tengkurap tanpa menghadap pria itu masuk kamarnya,
"Ambil sendiri hoodie-mu. Kau tahu kan jalan keluarnya di sebelah mana?" Mia masih melakukan hal sama.

Pria itu berdehem,
"Aku akan tinggal di sini." Jawabnya singkat.

"Apa?" Bagai di sengat listrik, Mia langsung membuka mata dan terduduk menatap tidak percaya. Berpikir mungkin ia salah dengar.

"Aku tidak akan ke manapun."
Ucap si pria dengan santai, sambil menjatuhkan diri ke ranjang.

"What the f*ck?!"

----

Leave vote and comment please.

(un) TouchableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang