"Selamat, Ra" gadis bermata hazel di hadapanku berkata, seraya merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Aku menyambut hangat pelukannya. Tersenyum bahagia, melupakan semua penat yang sebelumnya kurasakan.
Dan, ucapan selamat lainnya pun datang berturut-turut. Diiringi senyuman bangga, jabatan tangan, bahkan pelukan, yang kusambut dengan senang hati.
Namaku Aira. Aira Ayudya. Di Sabtu sore ini, aku baru saja berhasil menyelesaikan ujian kenaikan tingkat taekwondo dan mendapat sabuk terakhirku. Sabuk hitam. Sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya.
"Aira!" suara berat itu memanggil. Menyita perhatianku dari kerumunan orang-orang di sekelilingku. Itu sabeum---instruktur---Arief. Orang yang selama bertahun-tahun melatihku menjadi taekwondoin. Di antara semua orang di dojang---sanggar/tempat latihan taekwondo---ini, kulihat beliau lah yang paling bahagia hari ini, saat aku mendapat sabuk terakhirku.
"Selamat," ucapnya. "Aku tidak pernah menyangka kau akan sampai di tahap akhir secepat ini. Teman-temanmu bahkan masih sulit untuk kuakui sebagai taekwondoin."
Aku hanya tertawa sebagai bentuk penghargaan. Itu berlebihan. Teman-temanku tak sepayah itu.
"Kau berlebihan, Sabeum. Di luar sana banyak yang lebih hebat," balasku. Sabeum terus mengucapkan 'selamat' berulang kali sambil menepuk-nepuk pundakku.
"Ra, aku tunggu di luar," suara khas yang amat kukenal itu memanggil. Gadis bermata hazel itu, Nadine, sudah mengganti dobok (seragam taekwondo)-nya ketika aku masih mengobrol dengan sabeum dan teman-teman yang lain. Aku mengangguk, lalu segera pamit dari hadapan sabeum Arief dan melenggang ke ruang ganti.
Tahun 2030. Ini tahun kedua aku menggeluti dunia seni bela diri taekwondo. Jangan heran bila aku bisa menguasainya dalam waktu singkat, padahal pelatihan di dojang ini hanya dua kali seminggu. Ayahku selalu melatihku setiap hari. Mungkin lebih tepatnya 'menyiksa', bukan 'melatih'. Bekas-bekas luka di tubuhku terlalu banyak, membuatku masa bodoh akan hal itu.
Sama sekali tidak feminin.
Pikiranku berkelebat ke sana. Tepat saat ayahku pertama kali menyuruhku mempelajari dan menguasai taekwondo.
"Aira, Ayah sudah menemukan tempat pelatihan taekwondo terbaik untukmu," Ayah berkata seraya memperlihatkan hologram presentasi terkini yang muncul dari jam tangannya. Layar itu menampilkan video promosi les taekwondo oleh lembaga khusus, yang menyebut dirinya sebagai 'Dojang Taekwondo Terbaik'. Keningku berkerut heran.
"Aku? Taekwondo?" tanyaku heran, disambut anggukan mantap Ayah. "Memangnya sistem keamanan modern belum cukup melindungiku dari tindak kriminal?"
Ayah menggeleng, sedangkan kerutan di keningku bertambah dalam.
"Ini bukan hanya tentang self-defense, Aira. Suatu saat kau akan membutuhkannya," jawab Ayah. Aku hanya terdiam.
"Lalu untuk apa?" tanyaku lagi. Dan Ayah tidak berkutik. Yang kutahu setelahnya adalah Ayah mendaftarkanku di dojang itu, tanpa perlu kesepakatanku.
"A-apa?! Ayah, bahkan aku tidak tahu apa alasanmu memyuruhku belajar taekwondo!" Ujarku, terkejut dengan apa yang Ayah lakukan.
Ayah hanya tersenyum miring, lalu mengetukkan jarinya ke jam tangannya, mematikan layar hologram. Proses pendaftaran itu telah selesai.
"Selamat bertarung, Aira Ayudya. Kau akan menyukainya," ucap Ayah sambil menepuk-nepuk bahuku, kemudian pergi ke kamarnya. Meninggalkanku dengan seribu tanda tanya bersarang di kepala.
Itu dua tahun yang lalu. Sekarang aku malah jatuh cinta pada seni bela diri. Terutama taekwondo. Walaupun aku masih belum tahu apa tujuan Ayah memaksaku mempelajarinya.
Setelah berganti pakaian, aku segera menghampiri Nadine di parkiran.
"Maaf membuatmu menunggu," ucapku pada Nadine yang sudah duduk manis di mobilnya. Aku duduk di jok depan, di samping Nadine.
"Tidak terlalu," balasnya singkat. Ia menekan tombol berwarna merah di depannya, menghidupkan mobil. Beberapa detik kemudian, mesin mobil itu 'berbicara', menanyakan tempat tujuan kami kali ini. Nadine menyebutkan tempat tujuannya. Mobil pun berjalan secara otomatis, tanpa perlu kemudi. Cukup dengan sentuhan tombol dan sedikit percakapan.
Sekarang, mobil Nadine sudah meluncur di jalanan ibukota. Bersama kendaraan-kendaraan lain yang memadati lalu lintas, menuju destinasi masing-masing.
Ibukota sangat ramai sore ini. Akhir pekan. Lokasi pertunjukan 'cahaya-menari' di taman kota yang rutin diadakan setiap akhir pekan rupanya sudah dipadati pengunjung. Beberapa orang menerbangkan bola kamera mereka ke udara, berusaha mendapatkan spot foto terbaik di tengah keramaian. Bola kamera ini merupakan teknologi modern yang paling digemari remaja. Bentuknya seperti Snitch pada permainan Quidditch di cerita Harry Potter. Kecil dan memiliki sayap. Kamera ini akan terbang sesuai perintah pemiliknya, tak perlu semacam controller atau apapun itu.
"Kita makan di mana?" tanyaku.
"Tempat biasa," balasnya. Aku mengangguk mengerti. Tempat yang ia maksud adalah restoran milik pamannya yang terletak di tengah ibukota. Itu merupakan salah satu restoran terbaik di ibukota, yang tidak semua orang bisa makan di sana, dan pengunjungnya harus melakukan reservasi terlebih dahulu sebelum datang ke restoran. Biasanya reservasi dilakukan via online. Teknologi pada zaman ini memang serba cepat. Hal-hal konvensional tertinggal jauh di belakang.
Setibanya di restoran itu, Nadine memarkirkan mobilnya di tempat parkir khusus. Petugas keamanan di sana sudah mengenal Nadine, sehingga ia tak perlu akses dan prosedur apapun untuk parkir di sana.
"Halo, Markus," Nadine menyapa salah satu petugas.
"Hai, Nadine. Hai, Aira," petugas bernama Markus itu balas menyapa. Ia juga mengenalku, saking seringnya aku dan Nadine mengunjungi restoran ini.
Ah. Aku hampir lupa memperkenalkan Nadine. Namanya Nadine Elyssa. Kami satu sekolah, hanya saja aku mengambil kelas saintek, sedangkan dia kelas ekonomi. Sepertinya bakat keluarganya dalam berbisnis menurun padanya. Ayahnya yang merupakan CEO perusahaan otomotif dan teknologi kecerdasan buatan ternama, ibunya seorang desainer busana terkenal, pamannya yang memiliki restoran mewah. Mungkin suatu saat Nadine akan mewarisi itu semua, bahkan mengembangkannya.
Kami mengambil tempat di lantai dua restoran, tepat di balkonnya. Melihat pemandangan kota di sore hari, menunggu Sang Raja Siang tumbang di horizon barat.
Aku mengetukkan telunjukku ke permukaan meja makan, memunculkan layar tipis di meja. Kemudian menggeser layarnya, memilih-milih menu. Gambar berbagai makanan dan minuman muncul, disertai deskripsi singkat dalam berbagai bahasa. Tanpa berpikir lama---karena sudah sering mencoba berbagai menu di sini, kami langsung mengetukkan jari di menu yang kami pilih. Kemudian layar di meja menghitung mundur waktu datangnya pesanan. Akses khusus yang dimiliki Nadine membuat kami menunggu dua kali lebih cepat dari biasanya. Hanya 10 menit sampai makanan kami tersaji di meja.
"Jadi apa rencanamu akhir pekan ini, Aira?" Nadine membuka percakapan.
"Entahlah. Aku tidak punya rencana apapun," balasku singkat.
"Kupikir ayahmu akan memberimu kejutan karena kau sudah mendapat sabuk hitam taekwondo."
"Tidak sampai aku berhasil membuat Ayah kewalahan pada saat duel nanti," kataku. "Atau kalau aku berhasil meninggalkan bekas luka pukulan di wajahnya."
Nadine tertawa. "Anak macam apa kau?" katanya. Aku ikut tertawa.
Selang beberapa menit kemudian, denting bel tanda pesanan kami sudah siap berbunyi. Spontan kami menghentikan pembicaraan. Perlahan, permukaan meja makan berdesing terbuka. Tangan-tangan robot mengeluarkan makanan kami dari dalam meja. Kemudian meja kembali menutup. Restoran-restoran modern sekarang memang memiliki teknologi canggih ini. Makanan dimasak oleh koki di dapur, lalu sebuah alat memindahkannya ke tangan-tangan robot itu, yang terdapat di setiap meja. Tak perlu lagi pramusaji untuk mengantar makanan.
Nadine mengangkat tinggi-tinggi gelas berisi milkshake cokelat favoritnya.
"Cheers untuk sabuk hitammu," katanya. Aku tersenyum geli sambil mengangkat gelasku. Ada-ada saja anak ini.Kami baru selesai makan saat matahari sudah terbenam tanpa menyisakan sedikitpun cahayanya. Lampu-lampu kota menghidupkan suasana malam Minggu. Nadine sudah pulang terlebih dulu, sedangkan aku masih menunggu bis di halte dekat restoran. Rumah kami tidak satu arah, sehingga aku menolak saat Nadine menawarkan tumpangan.
Sambil menunggu bis, aku fokus membaca koran saat tiba-tiba suatu benda terjatuh, mengalihkan perhatianku. Sebuah gulungan tipis seperti plastik transparan terjatuh tepat di kakiku. Sepertinya itu alat presentasi modern, yang akan memunculkan layar hologram tipis---bisa dua atau tiga dimensi, tergantung penggunaannya---saat permukaannya diketuk.
Aku mendongak, penasaran siapa pemilik benda itu. Seorang laki-laki dengan ransel hitam berjalan dengan terburu-buru, tak menyadari barang miliknya terjatuh. Kulihat ranselnya memang sedikit terbuka.
"Kau!" aku memanggil pria itu, sebelum berlalu terlalu jauh. Namun pria itu tampaknya tidak mendengar.
"Hei, Kau! Ransel hitam!" panggilku lagi, kali ini ikut berjalan menyusulnya. Dan, ia menoleh.
"Milikmu, bukan?" aku menyodorkan gulungan itu.
"Ya," ujarnya singkat dan cepat. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu langsung menyambar gulungannya, lalu pergi dari hadapanku. Kali ini dengan berlari.
Aku mengutuk dalam hati. Dasar anak tidak tahu terima kasih!
Bis kota akhirnya tiba. Aku masih memandangi pria tidak tahu terima kasih itu sampai punggungnya menghilang ditelan keramaian. Kemudian kembali ke halte dan masuk ke dalam bis. Meninggalkan pusat ibukota dan segala kemegahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fighters
Science FictionHidup ini tak ubahnya sebuah teka-teki rumit. Yang setiap bagiannya kususun dari waktu ke waktu. Dan kau yang menyempurnakan bagian terakhirnya.