"Pak," pria tinggi besar dengan jas hitam menawan itu berjalan ke arah atasannya, dengan sebuah tablet canggih di tangan kanannya. Kakinya lalu berhenti tepat di hadapan orang nomor satu di negaranya itu.
"Ya?" Si Bapak Nomor Satu itu ikut berhenti. Menatap pria di hadapannya.
"Ini proposal projek mesin waktu itu. Saya rasa Bapak perlu melihatnya," ia menyodorkan tablet yang layarnya sedang menampilkan sebuah berkas.
Si Bapak Nomor Satu menerimanya, mendekatkan bagian bawah pergelangan tangannya ke layar. Sesuatu di tangannya itu menyala, memberi tanda bahwa ia sedang memproses sesuatu.
"Baiklah. Saya salin terlebih dahulu berkas ini. Saya hubungi Anda nanti," ujarnya. Implanted chip di tangannya telah selesai bekerja.
Pria berjas hitam itu mengangguk, kemudian menggeser posisinya dari hadapan atasannya, memberinya jalan untuk lewat. Sang Atasan kemudian berlalu bersama beberapa stafnya, menuju kesibukan istana kepresidenan lainnya.
Pria berjas hitam pun melenggang pergi. Langkah kakinya begitu gesit, khas orang-orang dengan kesibukan yang menumpuk di setiap harinya. Begitu pun semua orang di dalam bangunan megah itu. Istana Sang Pemimpin Negara. Semua sibuk, melayani dan mengabdikan dirinya untuk rakyat dan negara. Atau mungkin demi uang dan bisnis menggiurkan yang siklusnya tak pernah terputus? Entahlah. Hati manusia tak akan ada yang bisa menerka. Meski teknologi termutakhir sekali pun.
* * *
Ada agenda jam istirahat nanti?
Sebuah tulisan muncul di layar hologram di permukaan mejaku. Itu Rei.
Tidak.
Balasku singkat. Aku masih sibuk memperbaiki desain mesin robotku. Sambil sesekali mengalihkan pandanganku ke depan kelas, memperhatikan ceramah panjang Profesor Hamzah, guru fisikaku. Guru privat robotikku. Seisi kelas tahu kalau aku anak kesayangannya. Mungkin sekarang Rei akan menjadi anak kesayangan selanjutnya.
Kau mau menemaniku ke laboratorium fisika?
Tulisan itu muncul lagi. Dan saat itu, senyum idiotku terbit. Ini semacam, ajakan berkencan versi jenius kah? Atau apa?
Ah, tidak. Aira Ayudya sudah gila.
Oke. Jika setelah itu kau mau mentraktirku waffle.
Aku membalas, dan senyum idiot itu masih belum bilang.
Dengan senang hati.
Rei menjawab. Bodohnya, aku masih tersenyum.
"Nona Ayudya, ada yang lucu di kelas saya?" suara rendah itu menyahut. Aku membeku di tempat. Profesor Hamzah memergoki senyum idiotku.
Aku menggeleng.
"Bagus. Semuanya, kembali ke layar di depan kalian. Bukan layar di meja." Profesor Hamzah menginstruksi. Aku mendesah. Lalu menoleh ke belakangku, di mana Reihan duduk. Dan bocah itu menertawakanku.
Andai aku punya tongkat sihir, aku pasti sudah mengeluarkan mantra kutukan pada anak itu. Mungkin kutukan cruciatus akan efektif."Ayo," Rei berdiri di samping mejaku. Ia sudah siap dengan sebuah gulungan tipis di tangannya. Lembar presentasi. Aku menatapnya sinis.
Dan tawanya meledak seketika.
"That's not funny. At all," sergahku. Aku berdiri, lalu berjalan mendahuluinya.
Rei masih saja tertawa. Aku memilih untuk tidak peduli. Atau tepatnya berpura-pura tidak peduli.
"Omong-omong, kau sudah diberi izin untuk masuk ke laboratorium?" tanyaku.
"Tentu," ujarnya. "Profesor Hamzah memberi tahuku kata kuncinya."
Aku hanya ber-oh-ria. Bicara tentang kata kunci, semua ruangan yang bersifat umum di sekolah ini memang memiliki sistem keamanan berupa kata kunci atau password untuk membukanya. Dan tidak sembarang orang mengetahui kata kunci tersebut.
Setibanya di pintu laboratorium fisika, Rei membisikkan kata kuncinya di sebelah kanan pintu, di mana sebuah hologram berwarna biru muda menyala---semacam efek fluor. Warna biru itu kemudian menghilang sebentar, berganti warna hijau menyala. Pintu laboratorium perlahan bergeser terbuka. Membiarkan kami masuk ke dalamnya, sebelum akhirnya kembali terkunci.
"Aku heran mengapa Profesor Hamzah dengan mudahnya memberi tahumu kata kunci ruangan ini," ujarku.
"Karena aku memberi tahunya tentang projek ini. Lalu beliau bilang padaku, aku boleh menggunakan ruangan ini kapan pun aku mau. Itu artinya, kau juga boleh kemari kapan pun kau mau," jelasnya tanpa menoleh. Ia sibuk membuka lembar presentasinya di meja lab.
"Ini rancangan mesinku," Rei mengetuk permukaan lembar presentasinya. Seketika, gambar mesin waktunya 'melayang' di udara, berotasi perlahan untuk menunjukkan semua sisi luarnya.
Terlihat jauh lebih sederhana dan modern dibanding apa yang aku pikirkan sebelumnya. Sekilas, hanya tampak seperti kapsul tidur vertikal yang modern.Bip. Bip. Bip.
Jam tangan Rei berbunyi, membuyarkan konsentrasi kami selama sesaat. Pria itu mengetuk permukaannya.
"Profesor?" Rei menyapa wajah pria berkacamata di seberang sana.
"Halo, Rei. Halo... "
"Aira. Aira Ayudya," aku menyahut, sadar bahwa pria itu hendak bertanya siapa namaku.
"Ah! Anak perempuan Dokter Ilham, tentu saja. Halo, Aira. Aku Davin, guru privat Rei," ucapnya ramah.
"Halo, Profesor Davin," balasku seraya tersenyum.
"Dengar, kalian berdua. Aku sengaja keluar dari kelasku, setelah memberikan sedikit tugas tentang gravitasi dan semacamnya. Aku ingin memberi tahu kalian dua kabar mengejutkan. Yang satu kabar baik, dan yang lain sebaliknya. Yang mana yang ingin kalian dengar pertama?" papar pria berkacamata tebal itu. Keningku berkerut. Spontan, aku menoleh ke arah Rei, begitupun dengannya.
"Yang lebih penting," Rei menjawab.
"Ah, itu tidak ada di pilihan, tapi, baiklah. Kita mulai dari yang baik. Pertama, Rei, projekmu sudah mendapatkan beberapa dukungan dari perusahaan-perusahaan besar. Namun jangan senang dulu. Kita masih membutuhkan banyak dukungan. Dan yang kedua... " jelas Profesor Davin, menggantungkan kalimatnya. Firasatku mengatakan bahwa ini hal yang tidak menyenangkan.
"Pak Presiden menolak projek ini."
* * *Hello! ^^ Finally I came back with this new chapter. Maaf telat banget. Dan jangan lupa pencet gambar bintang ya kalo udah selese baca. :D Bye!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fighters
Khoa học viễn tưởngHidup ini tak ubahnya sebuah teka-teki rumit. Yang setiap bagiannya kususun dari waktu ke waktu. Dan kau yang menyempurnakan bagian terakhirnya.