THREE

119 10 2
                                    

"1 universe, 9 planets, 204 countries, 809 islands, 7 seas... And I had a privilege of   meeting you"
    
     Senin, pukul 06.18
     "Pagi, Sayang," satu kecupan di puncak kepala menyambutku saat aku tengah menyiapkan sarapan.
     "Pagi, Ayah," balasku tanpa menoleh. Setelah sarapanku siap, aku baru menoleh ke tempat di mana Ayah duduk sambil mengikat tali sepatunya.
     "Ada pasien?" tanyaku. Hal yang selalu aku tanyakan jika Ayah terlihat buru-buru.     Gerakan tangan Ayah terhenti sejenak, menatapku.
      "Ya, begitulah," balasnya. Ayah tampak keberatan mengatakannya, tapi ia selalu tahu kalau aku sudah terbiasa dengan kesibukannya. Dan kenyataannya memang begitu.
      "Well, aku tidak keberatan naik bis sendirian. Dan sepertinya Adam juga begitu," ujarku menenangkan. Ayah tampak lebih lega, walaupun aku tahu sedikit rasa bersalah itu masih menetap di relung hatinya.
      "Alright," Ayah mengangguk-angguk, sudah selesai dengan tali sepatunya. Kemudian berlalu dari hadapanku, kembali ke kesibukannya sebagai dokter.
      Tiga tahun terakhir ini, rumahku seperti kehilangan separuh nyawanya. Karena tiga tahun yang lalu, Ibu pergi meninggalkan kami semua. Kanker darah menggerogoti tubuhnya. Dan memang sudah takdir-Nya Ibu harus pergi lebih cepat. Hal itu pula yang membuat Ayah bekerja lebih keras dari sebelumnya. Aku tak tahu pasti apa alasan kuat di balik kesibukan Ayah. Entah untuk menggantikan bisnis Ibu yang terhenti sejak ia meninggal, atau semata-mata hanya berusaha lari dari segala kenangan tentang Ibu yang membuatnya sedih. Aku tak tahu.
     "Sarapannya sudah siap?" suara bocah itu menghentikan lamunanku.
     "Oh. Pagi, Adam. Sudah siap, tentu saja. Ayo makan," jawabku. Anak berusia 10 tahun itu mengangguk, lalu berlari menuju kursi favoritnya.
     "Ayah pasti sudah pergi," bibir kecilnya kembali berceloteh.
     "Ya. Baru saja pergi," balasku. "Kau tidak keberatan, bukan, kalau naik bis sendiri?"
      "Tidak sama sekali. Di bis juga banyak teman-temanku yang berangkat sekolah," jawabnya, membuatku lega.
      Aku dan Adam meninggalkan rumah setelah menghabiskan sarapan. Meninggalkan dua buah robot penjaga yang selalu setia menghuni rumah kami.

      Aku menggoreskan pulpen magnetikku ke permukaan tablet setipis kertas, menuliskan deretan rumus-rumus dan algoritma-algoritma komputer. Berpikir sejenak, mengira-ngira, lalu mencoretnya jika salah. Layar hologram yang berasal dari lubang kecil di permukaan meja terpampang tepat di hadapan wajahku, begitu pula murid lain. Layar itu menampilkan penjelasan Pak Andi tentang sel saraf, menerjemahkan setiap kata Pak Andi berikut gambar otak manusia yang digambarnya di layar di depan kelas. Kira-kira seperti itulah metode pembelajaran di masa ini. Murid hanya bertugas memperhatikan. Tak ada lagi tulis-menulis di kertas, cara konvensional yang dulu orang tua kami lakukan.
     Jujur, aku bukan orang yang selalu memperhatikan guru di sekolah. Bukan sikap yang baik, tentu saja. Tapi aku selalu bertanya di luar jam pelajaran tentang hal yang tidak kumengerti. Dan sepertinya guru-guru seantero sekolah tahu kebiasaanku ini.
     Aku fokus pada rumus dan algoritma yang kubuat untuk mengatur pemrograman pada robot baruku nanti,  sampai Pak Andi mengetuk layar pengontrol di mejanya, menghilangkan layar-layar di meja kami. Kebiasaan setiap guru saat meminta perhatian muridnya. Dan, otomatis kepalaku teralihkan dari rumus-rumusku.
     "Sekarang, saya akan memperkenalkan seseorang pada kalian. Mohon perhatiannya," ujar beliau. Jari telunjuknya sekali lagi mengetuk layar pengontrol, membuat pintu kelas terbuka dengan sendirinya. Saat itulah 'seseorang' itu muncul.
     "Namaku Reihan Arya Siregar, panggil saja Rei," anak itu angkat bicara. Dilihat dari caranya berbicara dan gaya berjalannya, sepertinya dia anak yang percaya diri dan biasa berbicara di depan umum. Tipe orang populer dan pencari popularitas.
      Hei, kenapa tiba-tiba aku terdengar seperti peramal?
      "Silakan duduk, Rei. Masih ada dua bangku yang kosong di belakang," Pak Andi mempersilakan. Anak yang dipanggil Rei itu memilih duduk di bangku kosong yang berada tepat di belakangku. Aku baru akan berkutat kembali dengan rumus-rumusku sampai tiba-tiba aku teringat sesuatu.
     Aku menoleh ke belakang.
     "Kau?" aku berbisik pelan, namun tampaknya pria itu mendengarku---tentu saja.
      "Oh," anak itu menampakkan ekspresi yang sama denganku. "Kau yang tempo hari menyelamatkan lembar presentasiku, bukan?"
      Aku mengangguk. Syukurlah anak ini masih ingat. Aku ingin mengingatkannya untuk---
      "By the way, terima kasih banyak. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kau tidak peduli."
      Nah. Belum selesai aku berpikir, pria ini sudah berterima kasih terlebih dulu. Aku lagi-lagi bersyukur. Dia bukan anak yang tidak tahu terima kasih.
     Aku tersenyum tipis. "Sama-sama."
     "Nona Ayudya, Tuan Siregar, kalian bisa melanjutkan perkenalan kalian di luar jam saya. Atau kalau mau, kalian bisa keluar sekarang," Pak Andi memberi ultimatum. Dan itu cukup untuk membuat kami terdiam tak berkutik, sedangkan seisi kelas tertawa kecil.
     Aku mendengus. Sama sekali tidak lucu.       
     "Vanny!" seruku pada seseorang. Ini jam makan siang. Aku sedang duduk sendiri di meja makan sekolah lantai dua. Tempat favoritku dan Nadine. Dan sekarang aku sedang menunggu anak itu---yang sampai sekarang tak kunjung datang.
     "Ya?" Vanny menghampiriku.
     "Kau lihat Nadine?" tanyaku. Aku bertanya pada Vanny karena ia teman sekelas Nadine.
     "Oh. Ia tidak masuk kelas. Katanya pagi ini ia pergi ke luar kota," jawab Vanny, sukses membuatku melongo.
      Aku terdiam. Dalam hati memaki anak itu. Apa-apaan ini? Kenapa ia tidak mengabariku terlebih dahulu?
      "Ra? Are you okay?" tanya Vanny heran melihat perubahan ekspresi yang---mungkin---sangat drastis di wajahku.
      "Ah, ya. I'm fine," balasku singkat. "Omong-omong, terima kasih."
      Gadis itu lalu berlalu, menghampiri temannya di tempat pengambilan makan.
      Baiklah. Good job, Nadine. Ketidakhadiranmu membuat selera makanku menguap dengan cepat.
      "Boleh aku duduk di sini?" suara itu mengalihkan perhatianku. Aku menoleh.
      Reihan Arya Siregar.
      "Ya, silakan," kataku setelah satu detik terdiam. Pria itu lalu duduk tepat di hadapanku, sambil meletakkan sepiring makanannya di meja.
       Mataku menyapu seluruh ruangan. Memperhatikan setiap meja. Hei, meja makan di sini masih banyak yang kosong, kenapa dia memilih duduk di sini?
      "Kau tidak makan?" tanya Rei.
      Aku menggeleng.
      "Diet?" anak itu lagi-lagi bertanya.
      Aku kembali menggeleng.
      Tanpa aba-aba, Rei berdiri. Lalu berjalan menuju tempat makanan. Aku memperhatikan gerak-geriknya dengan kening berkerut penasaran. Dalam waktu singkat, Rei sudah kembali ke hadapanku, meletakkan sepiring makanan dan segelas jus mangga.
      "Makanlah. Aku tahu kau lapar. Berkutat dengan rumus-rumus dan algoritma rumit selama empat jam penuh cukup menguras pikiran. Kau harus makan," ujar pria itu, berhasil membuat mataku membulat.
      "Dari mana kau tahu?" tanyaku.
      "Aku tahu kau tidak memperhatikan pelajaran sejak tadi, dan posisiku memungkinkan untuk mengintip layar di mejamu," jawabnya. Aku hanya terdiam.
      Dasar penguntit.
      "Maaf kalau itu mengganggumu," ucap Rei. Aku sedikit tertegun menyadari bahwa pria di depanku ini cukup sopan.
      "Ya, tidak masalah," balasku. Aku sebenarnya ingin bertanya kenapa Rei memilih duduk di sini, sementara meja kosong masih tersedia. Tapi niat itu kuurungkan, bingung pertanyaan macam apa yang harus kulontarkan agar tidak terdengar penasaran. Aku lebih memilih menikmati makan siang. Pria itu benar. Perutku butuh asupan makanan.
      "Boleh aku bertanya sesuatu?" Rei membuka percakapan baru, yang kubalas dengan anggukan singkat.
      "Kau sedang membuat projek? Maksudku---"
      "Ya," aku memotong. "Rumus-rumus dan algoritma-algoritma itu kubuat untuk mengatur pemrograman pada robot yang akan kubuat."
      Rei terdiam, lalu mengangguk-angguk.
      "Kebetulan aku juga sedang mengerjakan suatu projek besar. Malam Minggu kemarin, aku mengadakan konferensi dengan beberapa ahli di bidang saintek. Termasuk profesor di bidang fisika, matematika, dan para dokter. Kalau projek kita searah, kurasa kita bisa..." paparnya, cukup menarik perhatianku. "Bekerja sama dan sejenisnya, kau tahu maksudku."
     "Mm, mungkin," kataku. Tiba-tiba, aku teringat sesuatu. "Tunggu. Apakah peserta konferensi itu, salah satunya Dokter Ilham? Ilham Mahendra?"
     Rei mengangguk.
     "Kau mengenalnya?" tanya Rei. Dan menurutku itu pertanyaan paling bodoh sedunia.
     "Dia ayahku. Ayah kandungku," jawabku. Mata cokelat jernih Rei melebar.
     "Sempurna!" seru pria itu, cukup membuatku kaget.
     Kemudian, dengan suara pelan, pria itu mengatakan beberapa hal kepadaku. Hal yang membuatku lupa kalau aku sedang kehilangan selera makan. Hal yang membuatku lupa bahwa sahabat karibku meninggalkanku ke luar kota.
    
     
     

     
    
 

   
     

The FightersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang