BAB 3 -WISHING STAR-

120 3 0
                                    

Aku nggak boleh menangis, aku nggak boleh menangis!

Widi menyeka hidungnya dengan kasar, kemudian mengangkat wajahnya, memasang sebuah senyum palsu yang selama ini selalu sukses mengelabui orang-orang asing yang ia temui. Pak. Hari menatap nona mudanya dengan heran ketika Widi berjalan melewati pos penjagaannya. Ia selalu tidak bisa melakukan apapun, ia menyayangi semua putri majikannya. Dan meski terkadang ia tidak menyukai sikap Riantika yang selalu semena-mena, namun ia tidak pernah bisa menyalahkan gadis itu, ia tau betul bagaimana tangis Riantika kecil pecah ketika mendengar penghiatan ayahnya dengan seorang wanita yang dikenalnya di lapangan golf.

Widi mengangguk pelan ketika pandangannya bertemu dengan pandangan sang satpam. Mereka memiliki kepedihan masing-masing, jadi Widi tidak perlu menambahkannya lagi. Ia mengencangkan jaket abu-abu yang sudah memudarnya, kemudian berjalan sambil menunduk keluar dari gerbang rumah mewah itu. Sebuah taksi berhenti tepat di sampingnya, menawarkan jasa, namun Widi menggeleng, uang hasilnya berjualan design di online shop tidak memungkinkan untuknya membayar ongkos taksi. Lagi pula Widi sudah sering berjalan sendiri, kakinya sudah sangat kuat, ia tidak akan pingsan hanya karena berjalan dari rumahnya ke kosannya. Hanya setengah jam menggunakan kendaraan, kalau ia berjalan cukup cepat dan melewati gang-gang tikus, mungkin ia bisa sampai ke kosannya 1.5 jam lagi.

Langit kala itu cukup terang, berhiaskan bulan dan bintang yang berkerlip indah. Widi mengadahkan wajahnya untuk sejenak menatap langit. Ketika kecil ia selalu ingin menghitung bintang, meski mustahil ibunya selalu membantunya, menyemangatinya seakan yang ia lakukan bukanlah menghitung bintang yang ribuan banyaknya, namun hanya menghitung kaki kucing angora kesukaannya.

Widi menghela nafas panjang untuk menghalau kegalauannya. Ia merindukan ibunya, tapi ia lebih merindukan ayahnya. Bukan ayah biologisnya tentu saja, melainkan ayah yang sejak ia kecil selalu menjaganya dari kedua saudarinya, yang ketika fajar menyingsing pagi nanti, dan mendapati kamarnya kosong, akan langsung meneleponinya ratusan kali. Ayah terbaik yang tidak berhak ia dapatkan.

Ciiiiit…

Mata Widi sontak terbelalak ketika sebuah motor berhenti di sampingnya. Ia mencengkram tasnya erat-erat. Di tengah malam seperti ini, sendirian, tentu akan menjadi sasaran empuk setiap penjahat. Dengan gugup Widi melangkah mundur.

Pengguna motor itu mematikan mesinnya, kemudian membuka kaca helmnya, menunjukan sepasang mata yang kini menatap tajam kearahnya. Sebuah kemarahan terlihat jelas di balik sorotan matanya.

Widi mengangkat bahu tak acuh, kemudian memalingkan wajahnya, “Lo nggak usah repot-repot ngejemput gue buat minta pin Shandy, gue udah kirim kok tadi sore.” Ujar Widi dengan suara bergetar. Fathan menghentakan kakinya ketika turun dari motornya, kemudian menghampiri gadis itu. Ia mengencangkan resleting jaket Widi, mengambil tasnya kemudian menarik lengannya.

“Naik!” ujarnya dengan tegas. “NAIK!” bentaknya geram ketika melihat Widi masih mematung di samping motornya. “WIDI NAIK!” Fathan menarik lengan Widi dengan kasar, membuat gadis itu meringis pelan. Namun akhirnya ia mengikuti apa yang dikatakan pemuda itu.

Fathan menarik kedua tangan Widi melingkari pinggangnya. Ia menyeka hidungnya sekilas, sebelum akhirnya menyalakan motornya dan melaju kencang membelah malam, meninggalkan seorang satpam tua yang tengah menghela nafas lega jauh di belakang mereka.

Kecepatan itu membuat telinga Widi berdengung, ia merapatkan tubuhnya ke punggung Fathan, mencoba menghindari angin yang semakin menderu di sekeliling mereka. Ia tidak tau Fathan membawanya ke mana, jalanan sudah sangat lenggang. Toko-toko sudah banyak tutup, hanya satu dua yang masih dipenuhi pengunjung dengan lampu remang-remang yang membuat semuanya semakin kabur di mata Widi.

Cengkraman tangan Fathan semakin keras ketika merasakan punggungnya sedikit bergetar, suara isak tangis gadis itu membuat dadanya mendadak sesak. Namun bibirnya tetap menyunggingkan senyum tipis. Akhirnya luka itu tumpah juga.

***

“Enak banget!!” seru Fathan sambil menyeruput pop mie yang masih mengepul. Pemuda itu membuka mulutnya lebar-lebar karena suhu panas yang menjalar dari mie itu.

“Lebay, biasa aja kali! Ini kan pop mie biasa.” Cibir Widi Sarkastis. Fathan tidak memperdulikan komentar gadis itu, ia masih terus sibuk menyeruput pop mienya. Berpura-pura tidak memperdulikan Widi yang kini tengah menatapnya dengan senyuman geli di wajah mungilnya.

“Cepet makan!! Sumpah enak bangett!!” ujarnya tambah menggebu-gebu. Widi terkikik pelan kemudian mengambil mangkuk pop mie miliknya.

Itu pop mie biasa, yang dimasak dengan air panas biasa pula, rasa pun sama sekali tidak memiliki perubahan apapun, tapi ketika ia menyuapkan satu sendok penuh mie itu ke dalam mulutnya, matanya hampir saja berkaca-kaca karena rasa nikmat dan hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

“Iya enak banget, kok bisa yah?” ujarnya tak percaya. Kini giliran Fathan yang menatap sedih gadis itu, ia menatap langit yang menunjukan awan-awan kelabu, menyembunyikan semua bintang yang lima menit sebelumnya masih berkerlip indah di atas mereka. “Thanks yah,” bisik Widi pelan. Fathan mengangguk pelan namun sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari langit.

Kemudian mereka hanya terdiam. Widi meletakan pop mienya yang masih berisi setengah ke sampingnya, kemudian mengikuti arah pandang Fathan, menatap kelamnya langit. Seakan tengah menunjukan sebuah pertunjukan spektakuler, dengan perlahan awan-awan kelabu di atas kepala mereka menghilang, menampilkan hamparan bintang yang semakin terlihat berkilau indah di langit.

“Wid… kalau ada bintang jatuh, lo mau ngepain?” tanya Fathan. Widi tersenyum tipis, matanya menerawang jauh ke lampiran-lampiran kenangan dan impiannya.

“Bikin Wishing List, siapa tau impian gue akhirnya terkabul.” Ujarnya sambil tersenyum.

“Emang apa impian terbesar lo?”

“Kepo ih…” Widi mendorong bahu Fathan dengan bahunya sendiri. “Pergi ke luar negeri, Paris mungkin… dan dapet suami orang luar negeri deh.”

Fathan melirik sinis kearah sahabatnya, bibirnya membentuk sebuah garis tipis penuh cibiran.

“Lo sendiri? kalau ada bintang jatuh, lo mau ngepain?”

“Gue…” Fathan menimbang kembali kata-katanya, “Ya gue ambil lah Wid, gila lo yah… sayang banget, bisa buat koleksi atau gue jual, pasti mahal!”

“FATHAAN!!!!” Widi melempar sebungkus roti yang dibelikan Fathan dengan kesal. Sosok tampan itu sontak tertawa keras melihat respon sahabatnya.

“Hahaha sorry sorry… ya gue juga akan buat sebuah permohonan lah,” katanya setelah lelah tertawa.

“Sebuah? Maksud lo satu doang?” Widi menyipitkan matanya penuh selidik. Fathan mengangguk mantap, telunjuknya terangkat membentuk angka satu.

“Cukup satu.” Ujarnya tegas.

“Apa?”

“Gue mau punya pacar…”

“Itu doang?”

“Lo bisa diem dulu nggak sih?!” gerutu Fathan gemas, Widi menyeringai lebar seraya mengangkat telunjuk dan jari tengahnya, membentuk simbul V dan membungkam mulutnya.

“Iya. Impian terbesar gue, gue mau punya pacar yang cantik, tinggi, bersih, baik, pintar dan…”

“Yeh!!!! Iya mimpinya sih satu, tapi anak mimpinya yang banyak!” cibir Widi kesal. Fathan kembali tertawa.

“Tapi intinya Cuma satu Wid… gue mau punya cewek yang sesuai kriteria gue! Sekelas Asmirandah gitu lah…”

Widi mendengus, namun tidak menimpali kata-kata sahabatnya. Matanya menerawang jauh menatap kelamnya malam dari atas loteng kampus mereka.

“Kriteria yah…” gumamnya tanpa suara.

***

Broken CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang