Surat Untuk Ayah : 1

29 0 0
                                    

Nabila berlari dengan semangat menuju kotak surat yang berada di tikungan lampu merah dekat rumahnya. Dia memegang surat. Tidak ada yang spesial di dalam surat itu, hanya saja, dia menulis surat itu dengan sepenuh hati.

Anak kecil yang baru berumur 6 tahun itu tejerembab, mengaduh pelan sembari mengusap pelan dahinya yang sakit akibat terjatuh. Dia tak memikirkan kakinya yang lecet atau dahinya yang benjol akibat berbenturan dengan trotoar, yang penting, dia harus mengirimkan surat itu.

Tiba di tikungan lampu merah, terlihat gagah kotak surat berwarna merah agak pudar di ujung tikungan. Benda itu terlihat menantikan kehadiran sang gadis, walaupun tak hidup dan tak berbicara, dia tahu apa yang akan dilakukan oleh gadis itu. Dari kejauhan, Nabila sudah melajukan derap kakinya. Ia tersenyum senang saat berhadapan dengan kotak surat, kemudian meronggoh tas ranselnya, mencari surat yang sudah diitulisnya rapi kemarin malam. Dia memasukkan surat itu melalui lubang lebar seperti mulut di kotak surat.

"Semoga ayah membalas suratku. Aamiin!" Dia mengusap mukanya dengan kedua tangan, tanda dia selesai berdoa. Ia kemudian berlari lagi menuju sekolahnya yang tak jauh dari kotak surat itu seraya menyinggungkan senyum dan menaruh harapan di dalam hati agar ayahnya membalas suratnya.

                          ***

"Sudah yang keberapa kali ini bu, anak ibu harus diberi peringatan yang keras." Seorang laki-laki dengan dengan topi berwarna sepadan dengan baju yabg di kenakan terlihat berseru tertahan ke wanita yang berusaha sabar meladeninya.

"Maaf pak, dia memang begitu, anak kecil, mohon maklum." Wanita itu tersenyum lembut kearahnya. Laki-laki itu hanya mendengus sebal, melempar dengan keras secarik surat ke tanah.

"Ini peringatan terakhir, jika sampai terulang lagi, maka aku tak segan melaporkan ke polisi!" laki-laki itu berbalik badan, berjalan menjauhi rumah sederhana itu menggunakanan motor bebeknya. Wanita itu memungut surat yang dilemparkan tadi, menatap iba.

"Maafkan ibu, nak." Kata itulah yang terlontar dari mulutnya dengan mata yang berkaca-kaca.

Di kejauhan, tampak seorang anak kecil berlarian dengan riang menuju halaman rumahnya, mendorong pagar kayu, kemudian menutupnya kembali saat di dalam. Dia mengetuk dengan semangat pintu rumah, tanpa memperdulikan suara ketukannya itu ternyata menganggu tetangga yang tengah terlelap.

"Ibu! Ibu!" Anak itu berhenti mengetuk, memilih menunggu di luar. Tak lama kemudian, pintu itu dibuka oleh seorang wanita dengan paras yang lembut dan matanya yang teduh. Anak itu tersenyum senang, menghamburkan pelukannya ke wanita itu.

"Eh eh... Jangan disini, ayo masuk dulu. Kamu pasti kecapean sehabis sekolah." Wanita yang di panggil ibu itu membawakan tas ransel anaknya, anaknya menangguk riang sembari berjalan duluan masuk ke dalam.

"Coba tebak bu, hari ini aku dipilih sebagai duta sekolah!" Nabila, anak itu duduk di kursi makan sembari matanya berkilat senang saat ingin mulai bercerita.

Ibunya duduk di sebelah kursinya setelah menaruh tas ransel anaknya di kamar tidur, "Benarkah? Wah... Senangnya."

"Heeh! Satu kelas bilang selamat sama Nabila. Senaaang sekali! Guru-guru juga bilang begitu. Waktu Nabila bertanya kenapa enggak yang lain aja yang dipilih, kata Bu Sekar, Nabila itu orangnya bersemangat sama bisa diajak kerjasama. Senang hati Nabila dipuji sama guru kesayangan Nabila." Nabila tertawa lepas, kemudian menatap ibunya dengan penuh harap. "Nabila harap, ayah juga disini mendengarkan Nabila bercerita."

Ratih, ibunya terkejut. Matanya menatap gadis kecil berkucir kuda yang sedang tertunduk menatap meja makan. Ia pun mengelus pucuk kepala Nabila. "Ibu yakin, ayah nanti kembali dan mendengarkan cerita Nabika setiap hari." Ratih tersenyum menguatkan, Nabila hanya menatapnya sekilas.

"Benarkah?" Nabila menatap Ratih penuh harap. Ratih pun menganggukkan kepalanya, mantap.

"Benar-benar-benarkah?"

"Iya, sayangku." Ratih menatapnya geli, tak tahu apakah anaknya sedang bergurau dengannya atau tidak.

"Yey!!" Nabila bangkit dari duduknya, mengempalkan tangannya ke langit. "Kita harus membuat pesta buat ayah nanti! Bolehkan bu, bolehlah bolehlah?" Matanya berubah memelas kearah Ratih. Ratih tertawa melihat tingkah anaknya itu, ia mengangguk mengiyakan.

"Asyik!! Makasih ibu, saaayang ibu!" Nabila menghamburkan ciumnya ke pipi Ratih, dan memeluknya dengan erat. Ratih membalas pelukannya, berkata lirih dalam hati.

"Semoga saja ia kembali, semoga saja."

"Oh iya bu," Ratih menatap Nabila, tersadar dari lamunannya, "minggu depan Nabila disuruh tampil di perpisahan kaka kelas. Ibu datang ya, biar lihat kalau Nabila itu hebat!" Nabila mengacungkan jempolnya, diiringi senyum penuh percaya dirinya. Ratih hanya menggelengkan kepala, tertawa melihat kelakuan putrinya.

"Hahaha... Anak ibu banyak yang suka ya, ini itu pasti datangnya ke Nabila, " Ratih mengelus kepalanya lagi. "Berarti Nabila hebat! Bisa melakukan apa saja." Ratih tersenyum, kemudian bangkit dari duduknya.

"Ya kan, sudah Nabila bilang, Nabila itu HEBAT!" kini anak yang berkucir kuda itu tertawa penuh kemenangan. Ratih hanya menanggapinya dengan senyuman geli.

"Siang ini, mau makan apa?" Ratih melipat lengan bajunya hingga ke siku. Nabila tampak berpikir sebentar, kemudian matanya mengkilat tanda ada ide baru datang dari kepalanya.

"Aha! Kita makan nugget aja! Kemarin-kemarin, Nabila minta sama ibu gorengkan, ibu bilang belum beli. Nah, kemarin kan kita sudah belanja, pasti ibu beli nugget-nya. Ya kan, ya kan?" Ratih tertawa sekali lagi, sembari mengangguk meng-iya-kan.

                          ***

"Ibu," suara pelan itu memanggil Ratih.

"Ya, kenapa sayang?" Ratih tetap fokus membaca buku tutorial berkebun hidroponik.

"Aku mengantuk." Nabila mengucek matanya, kemudian menguap lebar. Ratih menatap anaknya yang sudah kehabisan baterai itu, menutup bukunya.

"Ayo kita tidur." Ia menghampiri anaknya, menjulurkan tangan. Ukurannya pun disambut lemah oleh sang anak. Ratih mendekap bahu Nabila sambil berjalan beriringan menuju kamar tidur.

"Hoam..., " Nabila menguap lebar, ia tetap memaksakan matang untuk berjaga walaupun tubuhnya sudah berbalut selimut hangat.

"Ibu,"

"Ya, sayangku?" Ratih menutup tirai jendela, membuat kamar itu remang akibat lampu tidur yang menyala redup.

"Ayah bakalan datang gak, waktu Nabila tampil nanti?" Ratih menatap anaknya, menghampiri anaknya yang setengah terjaga. Ia duduk di pinggir ranjang kayu.

"Banyak berdoa saja ya nak, semoga Tuhan nanti mempertemukan Nabila sama ayah." Ratih mengelus pucuk kepala Nabila. Ia menatapnya sedih, Mohon tolong aku ,Tuhan.

Nabila tak menjawab. Matanya mulai tertutup perlahan. Mulai merajut mimpinya di bawah angan-angan bertemu sang ayah. Ratih mengecup keningnya, menggigit bibirnya agar tak menangis.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 04, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Surat Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang