Mengapa sampai detik ini kamu masih bertahan hidup?
Saat aku masih anak-anak, aku tidak pernah memikirkan untuk apa aku hidup, untuk apa aku ada di dunia dan kenapa aku masih betah menantikan hari berganti. Saat itu aku hanya memikirkan, besok aku akan bermain, besoknya akan bermain, besoknya lagi akan bermain dan begitu seterusnya.
Menginjak usia remaja, pikiranku agak terbuka, mungkin karena beberapa pengaruh dari orangtua. Yang tadinya hanya memikirkan main, jadi berganti mulai merencanakan apa yang aku mau, apa yang kuinginkan, kuimpikan. Kalau kata KBBI sih namanya cita-cita.
Cita-cita membuat orang berharap, membuat orang mau bertahan hidup, sekalipun cita-cita hari ini seringkali berbeda dengan cita-cita di minggu depan. Wajar, banyak faktor yang mendukung akan hal itu.
Kalau aku pribadi yang ditanya seperti kalimat pembuka di atas, maka aku akan mengatakan bahwa yang membuatku bertahan sampai sekarang adalah karena cita-cita, sebuah asa, keinginan, ambisi.
Setiap orang memiliki keinginan yang berbeda. Seorang dokter setiap hari menginginkan kesembuhan pasiennya, seorang anak sekolah menginginkan sebuah prestasi, atau seorang ibu bertahan untuk anaknya. Jika keinginan itu sudah tercapai, tidak masalah kita mencari keinginan yang lain dengan tetap mempertahankan keinginan yang telah terjadi, karena seperti itulah manusia bertahan hidup. Tanpa asa, manusia bukanlah apa-apa.
Beberapa orang memilih untuk mengakhiri hidupnya, mungkin karena rasa kecewanya terhadap dunia terlalu dalam. Besarnya cita-cita hidup terkalahkan oleh kekecewaannya sendiri, masalah yang menekan pundaknya terlalu kuat hingga tidak bisa membuatnya bangkit.
Aku pun pernah merasakan seperti itu. Meskipun tidak pernah berniat untuk bunuh diri segala, tapi aku pernah menyerah dan memasrahkan kemana hidup akan membawaku. Yang membuatku semangat kembali adalah karena banyaknya cita-cita yang kumiliki, ada sebuah visi misi hidup yang harus kujalani.
Belakangan baru kusadari, bahwa ternyata sebuah ujian hidup bisa memberi banyak pelajaran. Tidak ada manusia yang tidak pernah jatuh, bahkan aku yakin ada yang sampai jatuhnya berguling-guling, menyebabkan cidera, keseleo, lumpuh dan lain-lainnya. Di titik itulah pilihan ada pada manusianya, ingin tetap bangkit, atau justru pasrah dengan keadaan.
Manusia belum bisa tahu di mana titik terendah dalam hidupnya, kecuali setelah mengalami pengalaman yang begitu menyakitkan, yang ingin membuatnya menyerah kepada hidup. Namun jika manusia bisa melewatinya, bisa memetik pelajaran dan memperbaiki hidupnya, maka dia akan berbeda dalam memandang dunia, kalau aku bilang sih istilahnya adalah naik level. Jiwa manusianya sudah naik kasta.
Seseorang pernah mengatakan seperti ini kepadaku, “Kalau kamu merasa akan menyerah pada hidup, maka lihatlah ke bawah. Jika kamu berhasil melihat, maka di saat itu kamu akan mensyukuri keadaanmu sekarang.”
Kalimat itu sungguh ampuh. Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki tangan bisa membuat lukisan yang begitu indah, sedangkan kita yang memiliki anggota badan masih lengkap hanya mengeluh dan menunggu datangnya keajaiban? Jawabannya adalah orang yang memiliki keterbatasan tadi bertahan dengan cita-cita mereka. Bertahan dengan impian dan harapan. Seperti itulah hebatnya sebuah cita-cita.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Hari Tantangan Menulis
Non-FictionKampus Fiksi bekerja sama dengan Basabasi Store mengadakan tantangan menulis satu minggu penuh.