Rasa kehilangan muncul karena adanya kebiasaan. Sesuatu yang sering terjadi, kehadiran yang berulang kali, dan rasa nyaman yang menyertai. Lalu perasaan ingin kembali di masa itu pun menyembul bernama rindu.
Pernah suatu malam di saat aku masih anak TK, aku menemani ayahku yang memainkan sebuah gitar di teras rumah. Dengan gaya sok tahu dan sok bisanya aku ikut bernyanyi, namun sayang, melencengnya nada suaraku justru menghancurkan melodi yang dimainkan ayahku. Suaraku dan melodi gitar tidak harmonis, tapi saling mengejar bagai peserta lomba lari karung di acara tahunan peringatan ulang tahun Indonesia.
“Nadanya bukan di situ. Tapi begini,” ucap ayahku sambil mengeluarkan suara yang beriringan dengan petikan gitar.
“Oh, begitu? Iya. Aku mulai,” balasku sok paham.
Aku kembali bernyanyi dengan yakin sambil melenggok-lenggokkan kepalaku.
“Suara kamu cempreng. Coba dengarkan nada ini,” sahut ayahku lagi, seolah aku akan paham yang mana nada cempreng dan tidak.
Aku kembali bernyanyi. Sepertinya nadaku sudah tidak cempreng lagi, karena ayahku melanjutkan petikan gitar menuju chorus.
“Duh! Kamu ikuti tempo, dong. Belum waktunya kamu nyanyi.”
Aku gigit jari. Cemberut dan diam. Sudah keburu ngambek.
Waktu itu aku sangat membenci gitar. Sangat benci. Aku pikir gitar hanyalah sebuah alat musik yang tidak elit. Tidak romantis.
Sampai di suatu hari aku melihat Sherina bermain piano dengan lihai dalam film Petualangan Sherina. Wah, aku jadi takjub melihat jari-jarinya yang bergerak lincah di atas tuts hitam-putih. Di saat itu juga aku meminta ayahku membeli sebuah piano, agar kekecewaanku kepada gitar dapat terobati.
Namun rupanya aku harus kecewa lagi, karena sampai ketertarikanku hilang, piano itu tidak pernah datang kepadaku. Hari demi hari pun berlalu. Aku sudah tidak pernah lagi meminta ayahku bermain gitar mau pun menyinggung piano.
Tepat aku duduk di bangku kelas tiga SD, ayahku tiba-tiba menyinggung alat musik itu lagi.
“Eh, ada keyboard lucu di kantor Ayah.” Ayahku memulai.
“Keyboard itu apa, Yah?”
“Uhm, semacam piano, tapi bentuknya lebih sederhana dan bisa dibawa kemana-mana.”
“Ooohhh... lalu kenapa? Ayah mau beli?”
“Tidaklah. Kan kamu juga tidak pengen lagi main piano.”
Rasa antusias yang membuncah tadi kembali surut. Ayahku begitu kurang kerjaan, membahas sesuatu tanpa poin.
Besoknya, tepat di saat aku sedang berleha-leha di kamar, bunyi motor ayahku terdengar. Aku jadi bangkit dan mengintip melewati jendela. Ternyata ayahku membawa sebuah benda berbentuk balok di tangan kanannya. Aku bertanya-tanya sambil mengamati benda itu, dan sekilas mataku menangkap gambar di bagian depan kardusnya. Piano! Eh, keyboard, maksudku. Yes. Aku dapat keyboard!
Aku segera berlari kembali ke kamarku, berpura-pura tidak mengetahui kedatangan ayahku. Sayang, ayahku ternyata tahu aksi pura-pura tidurku itu. Dia sampai menggodaku ingin mengembalikan keyboard itu jika aku masih melanjutkan aksiku.
Semenjak hari itu, aku jadi akrab sama si keyboard. Setiap hari aku memainkan lagu kebangsaan yang aku contek notnya di buku laguku. Aku jadi leluasa bereksperimen nada, dari nada yang masuk akal sampai ke nada yang agak ngeyel. Hihihihi.
Aku tidak pernah mengabaikan benda kesayanganku itu. Aku bahkan selalu membersihkannya di setiap ada debu yang menempel. Ingin kubuktikan kepada ayahku bahwa keyboard itu sangat berharga untukku. Ingin kubuat ayahku senang karena telah menghadiahkan sesuatu yang istimewa bagiku.
Keyboard itu lumayan awet. Sangat membantu ketika pelajaran seni di kelas delapan SMP, meskipun aku mulai tertarik kepada gitar juga, tapi tetap keyboardku itu adalah benda berhargaku. Benda yang menemaniku melewati kelas seni hingga aku di bangku SMA.
Sayang, semenjak aku berada di kelas sebelas, benda itu tidak pernah kusentuh lagi. Ini karena pelajaran seni untuk kelas IPA tidak mengarah ke musik, melainkan ke seni rupa tiga dimensi. Ugh! Menyebalkan. Aku jadi terpisah dengannya dan tidak memiliki waktu untuk memainkannya lagi karena jadwal pelajaran yang padat tidak mendukungku untuk melakukannya.
Di tahun 2011, di saat aku fokus untuk kuliah, keyboard-ku telah rusak. Beberapa tuts-nya mulai terlepas, dan nada yang keluar mulai terdengar agak error. Jangan ditanya, waktu itu hatiku begitu pilu. Benda kesayanganku sebentar lagi akan jadi rongsokan. Akan menjadi benda mati yang benar-benar mati. Tapi sebelum itu terjadi, sebelum aku meninggalkannya untuk waktu yang lama, aku menyimpannya di tempat yang aman, aku tidak peduli kepada omelan ibuku yang ingin membuangnya.
Ternyata omelan ibuku tidak sebatas omelan. Keyboard-ku disingkirkan ketika aku tidak berada di sisinya. Keyboard yang menemani masa kecilku pergi meninggalkanku. Meninggalkan rasa bersalah karena aku tidak bisa menjaganya hingga sekarang. Tidak bisa menemaniku hingga usia tua.
Sampai sekarang, ketika aku mengingatnya, aku jadi mengingat masa kecilku. Apalagi hampir di setiap sore, bocah tetangga selalu menekan-nekan tuts keyboard yang sama persis punyaku. Mau tidak mau benda itu membuatku bernostalgia. Membuatku menginginkan keyboard-ku kembali. Saking rindunya, tanpa sadar aku mengetuk-ngetukkan jari-jariku di bibir meja, bersenandung seolah sambil memainkan keyboard-ku.
Baru sekarang aku menyadari bahwa benda yang meninggalkan kesan dalam untukku bukan hanya karena aku menginginkannya sedari kecil, tapi juga berisi kenangan kecilku bersama ayahku. Saat-saat yang tidak bisa diulang dan dialami lagi.
Ternyata kehilangan sebuah benda mati bisa membuat kita rindu, bisa membuat kita mellow, dan bisa membuat kita merana.
Sampai kapan pun, aku tidak akan melupakan keyboard-ku. Benda yang membuatku berhasil mendapat nilai A di ujian kelas Seni di masa SMP-ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Hari Tantangan Menulis
Non-FictionKampus Fiksi bekerja sama dengan Basabasi Store mengadakan tantangan menulis satu minggu penuh.