Satu: Kalah Tenar

17 0 0
                                    

[•]

"Oke!" teriak Mas Satrio--sang fotografer.

Sesi pemotretan selesai. Dua orang kru mulai sibuk merapikan ini-itu. Sementara satu orang sisanya, langsung menghampiri Aliehs sembari menyodorkan sekotak tisu dan membantu menghapus make up-nya yang lumayan berlebihan. Tak ada lagi dialog; semua sibuk dengan tugasnya masing-masing.

Aliehs yang lantas beranjak duduk di salah satu kursi properti pemotretan, segera mengambil sesuatu dari dalam tas pribadinya. Sebuah kipas langsung terkembang, lalu mondar-mandir di depan wajahnya yang tampak cukup kecapekan. Beruntung padat agendanya hari ini sudah sepenuhnya terurai.

"Udah selesai nih! Kamu jadi jemput aku kan?" ketiknya pada aplikasi Whatsapp dengan nama kontak Erick Lope tertera di bagian atas layar. Kirim!

Sambil menunggu pesan balasan dari lope-nya, Aliehs bergegas masuk ke dalam ruang ganti. Agaknya dia mulai risih dengan tatapan beberapa pasang mata yang mengendap-endap menghampiri tubuhnya. Memang, sesi pemotretan kali ini tidak ada hubungannya dengan produk ayam goreng siap saji, tetapi dada dan pahanya terkesan sedang dijajakan.

Setelah mengganti pakaian, dia rapikan kembali bedak di wajahnya yang tampak masih berantakan. Gerutuan dan umpatan ringan masih saja dia alamatkan pada ulah Mas Satrio dan rekan sejawatnya barusan. Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. "Langsung meluncur, Nyonya!" balas Erick. Dia tersenyum.

Sedikit terburu-buru, Aliehs keluar dari ruang ganti. Sudah dengan pakaian dan penampilan sewajarnya. "Aku duluan ya, Mas!" pamitnya kepada sang fotografer. Sekilas matanya mencari-cari tiga anggota kru lainnya. Mereka sudah tidak ada di lokasi pemotretan. Barangkali sudah pulang duluan, batinnya, kemudian berlari-lari kecil menuju pintu keluar.

Di lobi, beberapa orang jurnalis tampak langsung meninggalkan kegiatan mereka, kemudian mendekati Aliehs sembari mengajukan satu-dua pertanyaan. Seketika suasana menjadi riuh. Sementara Aliehs, dia hanya tersenyum seadanya tanpa ada niat untuk berhenti apalagi meladeni. "Sorry ya, sorry banget! Lagi buru-buru!" ujarnya seraya berlalu.

Erick sudah standby di halaman parkir bersama mobil sedan atap terbukanya. Tangan kanannya segera melambai memberikan kode mendapati Aliehs yang baru keluar dari pintu utama gedung. Dan, begitu mata keduanya bertemu, mesin mobil dinyalakan.

"Langsung pulang?" tanya Erick begitu Aliehs duduk di sampingnya.

"Ke apartemen kamu aja ya! Males mau pulang. Lagian besok free ini," tuturnya.

"Siap, Nyonya!"

***

Samar terdengar suara seorang lelaki membangunkanku. "Mbak Aliehs! Mbak!"

Perlahan, kubuka mataku. Silau. Sekeliling ruangan hanya tampak tumpukan boks bekas dan perabotan-perabotan tak terpakai. Dan, lelaki itu, Diman, begitu nama yang tertera di baju seragamnya; di wajahnya tersirat keheranan dan seribu tanda tanya. Dia lantas, dengan sangat hati-hati, membantu membukakan perban di mulutku; begitu juga ikatan tali di tanganku.

"Sebentar, Mbak, saya ambilkan minum," pamitnya.

Aku hanya mengangguk. Kucoba mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi. Pagi, sapu tangan membekapku dari belakang, seorang wanita yang tampak mirip denganku, dan berakhir di sini, di gudang. Apa-apaan ini? Sebuah perampokan? Penyanderaan? Tapi, apa yang sudah dia, atau mereka, ambil? Pikiranku buyar begitu Pak Diman kembali dengan segelas air putih di tangannya.

"Ini, Mbak! Diminum dulu."

"Makasih, Pak!"

Tiga-empat teguk cukup membasahi kerongkonganku yang terasa sangat tandus. Sementara Pak Diman, sejak kembali dengan segelas air putih, dia tidak berhenti memerhatikanku barang sebentar pun. Tatapannya tak pelak memaksaku untuk segera menghentikan kegiatan minum-minumku.

"Mbak Aliehs kenapa bisa ada di sini? Siapa yang...?" tanyanya terputus.

"Ceritanya panjang, Pak!" potongku, sekilas aku teringat satu orang yang terakhir kali kuhubungi, "Ngomong-ngomong, ini jam berapa, Pak?"

"Jam tujuh pagi," jawabnya kilat.

Jam tujuh pagi. Itu artinya hampir sehari semalam aku terkurung, atau dikurung, di dalam ruangan ini. Semestinya dia--orang itu--sudah kebingungan mencariku, atau minimal menghubungiku. Kulongok sekitar tempat tadi aku terbaring. Tas? Di mana tasku? Di mana ponselku? Sial! Pasti wanita itu yang mengambilnya!

Buru-buru kuserahkan kembali gelas berisi air putih itu ke tangan Pak Diman. "Maaf, Pak! Saya harus pergi! Nanti saya ceritakan kenapa saya bisa ada di sini," ujarku seraya memegangi tangan kanannya dengan kedua tanganku, berharap dia tidak tersinggung, "Oh, ya! Makasih banget, Bapak sudah nolongin saya!"

Aku langsung berdiri dan bergegas keluar. Di benakku, hanya ada orang itu; orang yang terakhir kali kuhubungi: Erick. Ya, aku harus segera menemuinya. Sontak kulambaikan tanganku begitu sampai di luar. Sebuah taksi yang tampak baru saja menurunkan penumpangnya di depan gedung maju perlahan, berhenti di depanku.

Beruntung apartemennya lumayan dekat dengan gedung tempat semestinya aku melangsungkan jumpa pers dan sesi pemotretan--kemarin. Tidak sampai sepuluh menit, taksi yang kutumpangi sudah sampai. Aku buru-buru keluar, tidak peduli sepatuku tertinggal apalagi teriakan minta ongkos sang sopir.

Entah karena aku berlari, tanpa alas kaki, atau penampilanku yang memang agak lusuh, semua mata tak lepas memandangiku mulai dari masuk pintu utama hingga aku masuk lift. Tapi, toh, aku tidak peduli. Tak ada waktu. Aku harus segera menemui Erick, dan menceritakan semuanya.

Pintu apartemennya tidak dikunci, seperti biasa. Salah satu kebiasaan buruk Erick yang sudah jenuh aku ceramahi ini ternyata ada baiknya juga. Minimal, aku tidak mesti berteriak atau menggedor-gedor pintu untuk membangunkannya yang pasti masih tidur, sehingga tidak mengganggu tetangganya. Tanpa basa-basi lagi, aku langsung masuk dan menyambangi kamar tidurnya.

"Erick!" teriakku.

Di atas tempat tidurnya, Erick dan seorang wanita yang tampak sangat identik denganku masih tergeletak pulas dalam satu selimut. Tidak salah lagi, dia adalah wanita yang sama yang telah membekapku kemarin pagi. Di antara rasa bingung dan cemburu yang mulai berkecamuk, kutarik selimut mereka hingga terjatuh ke lantai. Dan, betapa terkejutnya aku mendapati keduanya sedang dalam keadaan setengah telanjang. Erick dengan celana boxer-nya, sementara wanita itu hanya berbalutkan celana dalam. Apa yang telah mereka lakukan? Erick, apa yang telah kau lakukan? Keduanya pun terkejut begitu membuka mata.

"Aliehs?" sergah Erick antara bertanya dan memastikan. Matanya dengan kilat memejam-terbuka beberapa kali, bingung sekaligus 'jet lag' dari paksaan bangun tidurnya. Dia menatap ke arahku agak lama, kemudian menoleh ke arah wanita itu; penuh tanya.

Aku hanya diam memandangi Erick dan wanita itu bergantian. Entah ekspresi apa yang ditunjukkan mukaku saat ini. Luapan emosi hendak meledak, sekaligus rasa bingung yang memuncak. Mata kami--aku dan Erick--pun beralih, menginterogasi wanita itu dalam diam.

Cukup lama kami memandangi wanita itu. Cukup lama hingga semestinya dia bisa membaca sendiri pertanyaan-pertanyaan tersirat pada raut wajahku ataupun raut wajah Erick. Tapi, jangankan berontak atau memberikan penjelasan, dia tak bergeming. Bibirnya malah komat-kamit, kemudian lenyap.

***

Satu hari berselang setelah kejadian tak terduga itu, Sheila sudah mendapatkan ide untuk 'meralat' alur cerita dalam novel karangannya. Sepulang dari kantor tempat dia bekerja, Sheila langsung membuka laptopnya. Dia tuangkan segenap 'bahan' yang sedari tadi melayang-layang dalam pikirannya.

"...Aliehs dan Erick mendadak amnesia ringan. Mereka kemudian bergumul di atas tempat tidur, melakukan apa yang semestinya lelaki-wanita-ranjang lakukan." tulis Sheila pada satu bab lanjutan. Seringai menjamur di wajahnya. Dengan ini, masalah terpecahkan. Dia bisa masuk lagi ke dalam ceritanya, kapan saja.

[Cerita asli: KALAH TENAR - Sang penulis kerap menyamar sebagai tokoh fiksi dalam novelnya.]
https://twitter.com/fiksimini/status/575277407738834944

[•]

Fiksi NgembangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang