Dua: Ketahuan

8 0 0
                                    

Hai, Mantan! Lihat, sapaanmu aku kapitalkan. Tapi, itu juga bukan berarti kita masih bisa balikan, ngomong-ngomong.

Ini update-annya. Selamat menempuh hidup baru!

[•]

Pukul tiga. Sebentar lagi ibu pulang. Kuhentikan sejenak aktivitasku; memikirkan setiap detail yang mungkin saja terlewat. Seragam sekolah, sudah; tas, sudah; cuci pisau, sudah; ganti seprai, sudah; ngepel lantai, sudah. Sekiranya semuanya sudah. Kuperhatikan lagi sekeliling kamarnya, seolah sedang memainkan game "Hidden Object". Kuperhatikan pula sekujur ranjangnya, kemudian duduk di sana sembari mencoba menenangkan diri. Dan, "Ah, handphone-nya!" teriakku dalam hati.

Sesampainya di kamar, langsung kubuka bagian bawah lemariku. Kubongkar lagi tumpukan pakaian dan benda-benda jarang terpakai lainnya. "Uwih!" aku terkejut. Samar tercium anyir darah. Beberapa pakaian paling dekat dan lebih dari separuh bagian seprai bahkan telah berubah merah. Tapi, aku juga tengah diburu. Tak ada lagi waktu untuk jijik-jijikan seperti tadi--ketika kugulung tubuhnya dengan seprai dan menyeretnya ke kamarku. Segera kuambil benda keras persegi dari dalam saku celananya, lantas me-nonaktifkan-nya. Lalu, segera pula, kutata semuanya seperti semula. "Kini semuanya sudah," batinku lega.

***

"......"

"Tapi, dia ngintip Sarah mandi, Yah!" ujarku membela diri.

"Ayah ndak peduli! Sekali lagi Ayah lihat kamu main tangan sama adikmu, Ayah kembalikan kam-..." kata-katanya terputus. Ibu yang dari tadi mencoba memberi pengertian kepada adikku, tiba-tiba memegang tangannya dari belakang.

Entah apa yang mata mereka perbincangkan. Yang jelas, ayah langsung berhenti memarahiku. Aku pun lantas berlari ke dalam kamar, melakukan yang seharusnya perempuan seusiaku lakukan. Bagaimanapun, ini pertama kalinya ayah marah.

Aku bahkan belum mengenakan pakaian. Kata "kembalikan" yang terlontar dari bibir 'polos' ayah tadi tak ayal membuatku mulai berpraduga. "Jadi, aku bukan anak kandung mereka? Jadi, selama ini, aku hanya anak pungut? Anak panti asuhan?" batinku meledak-ledak, "Pantas saja Ayah mulai berubah! Pantas saja Ayah tak sehangat dulu, sebelum Dimas lahir!"

***

Ayah pulang. Alasan menginap dan belajar kelompok yang kusampaikan kepada ibu sepertinya sudah kedaluwarsa. Ia pun tergesa menghampiri ibu yang tadi pagi meneleponnya. Mereka kemudian berdialog.

Urung usai ibu bercerita, ayah melirik ke arahku; ke kamarku, lebih tepatnya. Ia lantas berjalan ke arahku; ke kamarku, lebih tepatnya. Matanya begitu menyayat saat kami berpapasan. Dan, tanpa basa-basi, ia nyelonong masuk ke dalam kamar dan segera membuka lemariku. "Apa-apaan ini?! Bagaimana ia tahu?!"

"Tu-tunggu, Yah! Sarah bisa jelasin semuanya!" sergahku berusaha menghentikan langkahnya yang menghampiri.

Ia tak menggubris. Matanya, jelas sekali ini bukan ayah. Paling tidak, buka ayah yang dulu kukenal. Aku pun mulai panik. Di belakang, tanganku mulai meraba benda apa pun di atas meja. Pensil, buku, jam waker... Dan, ah, sebilah gunting!

***

Tanpa kusadari, ibu tengah berdiri di depan pintu kamarku. Entah sudah berapa lama ia di sana. Hanya raut wajahnya yang bercerita; sepertinya ia menyaksikan semuanya. Kini tinggal aku dan ibu, dalam situasi sedemikian canggung. Ia pasti tidak pernah menyangka gadis--pungut--manjanya ini punya sisi kejam serigala. Jangankan ia, bahkan aku sendiri tidak.

Ia menatapku: gadis yang selama ini ia besarkan sepenuh hati walau tak berasal dari rahimnya sendiri. Sementara aku yang merasa 'kotor' buru-buru menunduk, dan menangis. Entah apa yang tengah ia rasakan. Barangkali ngeri, iba, takut, atau malah kombinasi ketiganya. Di antara semua terka kosongku itu, samar kudengar suara langkah yang terkembang. Perlahan, ia berlayar ke arahku, lalu memelukku.

Aku pun memeluknya. Sebentar, kunikmati hangat kasih seorang ibu. Ya, se-o-rang i-bu. Sebentar, kemudian pelukannya merenggang, seiring makin banyaknya darah yang mengalir dari rusuknya; membasahi sekujur gunting, dan tanganku.

[Cerita asli: KETAHUAN - Tidak kusangka, ayah sudah hafal aroma darah adik.]
https://twitter.com/fiksimini/status/576634472717664257

[•]

Fiksi NgembangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang