Tiga

21 2 6
                                    

Sandra diseret ke dalam sebuah ruangan gelap dan berdebu. Banyak barang rumah sakit yang sudah usang. Sarang laba-laba menghiasi langit-langit.

Seorang laki-laki mencabut pisau miliknya dari betis Sandra, ia menyilet pipi Sandra membentuk angka 13. Aliran darah yang mengalir di sela angka 13 ia jilat dengan lahap. Suara teriakan Sandra tak dapat menembus sapu tangan putih yang membekap mulutnya. Lelaki pemilik mata tajam itu mengambil sapu tangannya, melipatnya, dan memasukan ke dalam kantong kemeja.

"Dokter Iko?" tanya Sandra memastikan ini tak nyata. Air mukanya menyiratkan banyak pertanyaan kepada dokter yang senyumnya sangat ramah itu.

“Sttttt," kata dokter Iko sambil menempelkan jari telunjuknya di depan bibir menandakan untuk diam, "Pake ini sebentar ya sayang, biar bibirmu gak nakal." Tangan dokter Iko memoleskan lem perekat ekstra seperti ia melukiskan lipstik di bibir istrinya.

Kedua bibir Sandra menyatu tanpa cela. Ia meronta-ronta ingin melepaskan diri dari tali tambang yang terlilit di tubuhnya. Ia memaksakan berteriak agar ada yang menolongnya dari seluruh kesakitan yang dialami di sekujur tubuhnya itu, meski hanya sia-sia. Dengan tenang lelaki kejam berstatus dokter ahli bedah itu meninggalkan korbannya yang mengeluarkan air mata di gudang.

***

Dikter Iko melangkahkan pantofelnya ke arah lift. Sekali tekan tombol ke bawah pintu lift yang bertulisan maaf sedang dalam perbaikan itu terbuka lebar. Ada Citra yang tersungkur lemas di pojok. Air mata dan keringatnya bercampur karna rasa ketakutan bila bertemu pelaku yang menancapkan pisau di betis temannya.

"Wah syukurlah bisa terbuka pintunya, kau tidak baca kalau lift ini sedang dalam perbaikan? Mari saya bantu berdiri," kata dokter Iko sambil menarik tangan Citra pelan.

"Enggak, Dok saya tadi buru-buru lari karna ketakutan. Nomer emergency tidak bisa saya hubungi. Untung ada dokter, kalau tidak saya akan meninggal di dalam lift mati ini." Citra dituntun berjalan

"Ketakutan karna apa? Hantu?" sang dokter terseyum menahan tawa, "tidak ada hantu di sini. Oh iya, sudah jam dua belas malam lebih kok kau sendirian aja? Mana temanmu yang tadi naik lift bareng?" Tanya dokter Iko dengan tenang menyembunyikan wajah aslinya.

"Bukan hantu tapi pembunuh Dok, dia berkeliaran dan mengenakan baju serba hitam. Oh iya dia juga pakai kacamata dan topi bertulisan angka 13, teman saya diculiknya, lalu saya berhasil kabur. Niatnya saya ingin melapor polisi tapi lift-nya mati dan tak ada sinyal," bisik Citra sambil duduk di bangku pengunjung dengan gelagapan menahan tangis.

"Hahhh? Ikuti saya, dan ceritakan lebih lanjut. Ini gawat dan berbahaya." Dokter Iko menuntun kembali Citra denfan tenang ke ruang kerjanya di lantai yang sama, lantai 13. Dekat kamar mayat tadi.

Citra memasuki ruangan yang sangat bersih dan wangi. Ia duduk di sofa beludru. Sang dokter memberikan segelas air berwarna oren.

"Silakan diminum agar ketakutanmu bisa mereda, lalu mulailah bercerita," Ia tersenyum memperlihatkan deretan gigi putih dan bersih.

“Jadi gini Dok, tadi saat saya dan Sandra sedang berjalan hendak pulang, tiba-tiba pisau tipis kecil tapi tajam menancap di betis Sandra. Saking tajamnya darahnya Sandra muncrat. Pas kami berteriak tiba-tiba lelaki misterius datang dan Sandra di jambaknya sambil diseret sama si psikopat itu, sedangkan saya lari untuk mencari petolongan, kita harus segera lapor polisi, Dok. Sebelum teman saya mati!" kata Citra antusias sembari menekan tombol  911 di ponselnya, tubuhnya gemetar, dan suaranya nyaris tak terdengar.

“Kau ingat sepatunya apa?" tanya dokter sambil berjalan ke mejanya mengambil sesuatu barang

Citra memperhatikan langkah kaki lelaki lulusan universitas terbaik di Singapura itu, "Sepatunya mirip yang dipake dokter, sama persis malah." Citra antusias sekali.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 18, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

13Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang