10. Pengakuan

5.2K 348 324
                                        

"Hai, udah bangun?" tanya Kemal saat masuk ke kamar Vian keesokan harinya pukul setengah sepuluh pagi.

Vian mengerjapkan matanya perlahan dan sedikit tertegun melihat Kemal masuk ke dalam kamarnya sambil membawa nampan berisi makanan. Vian refleks memijat pelipisnya seraya mendesis lirih karena rasa pusing yang menderanya.

"Kè, kamu di sini?" tanya Vian dengan suara berat khas orang bangun tidur. "Sekarang jam berapa?" tanyanya lagi.

"Iya, dari semalem gue nginep di sini," kata Kemal. "Udah, nggak usah dipaksa bangun. Lu 'kan masih sakit! Ini juga baru setengah sepuluh," katanya lagi saat melihat Vian hendak bangun.

Laki-laki itu meletakkan nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih ke atas nakas, lalu melangkah ke arah jendela untuk membuka tirainya agar cahaya matahari bisa masuk untuk menerangi kamar Vian.

"Kepalaku kenapa pusing begini?" gumam Vian yang tetap memaksa bangun dari tidurnya.

"Udah dibilangin nggak usah bangun! Ngeyel, sih?"

Kemal mendecakkan lidahnya, tapi tetap membantu Vian bangun dari tidurnya lalu menegakkan posisi bantalnya di atas kepala ranjang agar Vian bisa bersandar di sana.

"Apa ada bagian lain yang sakit? Kita ke rumah sakit aja kalau lu ngerasa sakit," kata Kemal penuh perhatian.

"Nggak usah, Kè. Aku nggak papa, kok. Cuma pusing aja. Kepalaku rasanya muter dan mataku berkunang-kunang," jawab Vian lirih.

"Ya udah. Lu sarapan dulu, ya. Habis itu minum obat, terus istirahat lagi. Nih, minum dulu airnya!" ujar Kemal lalu menyerahkan segelas air minum pada Vian dan membantunya meminum air tersebut dengan memegangi gelasnya.

"Nggak usah, Kè. Biar aku minum sendiri," ujar Vian menolak. Kemal pun mengangguk dan membiarkan Vian minum sendiri.

"Makasih," ucap Vian setelah air dalam gelas di tangannya tersisa setengah dan menyerahkannya kembali pada Kemal. Kemal menerima gelas itu lalu meletakkannya ke atas nakas.

"Memang, semalam aku kenapa?" tanya Vian lagi dengan kening mengerut dan mencoba mengingat kejadian semalam. "Terus, siapa yang gantiin bajuku?" tanyanya lagi saat menyadari jika kini dia mengenakan piyama tidur.

Yang terlintas di kepalanya, semalam dia menangis di sofa. Lalu setelah itu, dia tidak ingat apa-apa lagi.

"Lu pingsan, Yan. Dan entah udah berapa lama lu nggak sadarin diri. Badan lu juga panas banget. Untung, gue sama Bang Robin bisa masuk ke sini. Kalau nggak, gue nggak tahu gimana keadaan lu tadi malam," kata Kemal dengan tatapan prihatin. "Soal baju, lu tenang aja. Bang Robin kok yang gantiin," katanya lagi.

Vian mengembuskan napas lega, karena ternyata bukan Kemal yang menggantikan bajunya. Setidaknya, dia tidak akan merasa malu pada Kemal sekarang.

Kalau dengan Robin, Vian merasa aman karena laki-laki itu sama sekali tak pernah menunjukkan nafsu berlebihan padanya. Padahal, bisa saja Robin memperkosanya kalau dia mau. Tapi nyatanya tidak. Robin selama ini sudah menganggapnya seperti adik. Dan itu bukan hanya lewat kata-kata, tapi dia buktikan lewat sikap dan juga perbuatannya.

"Berarti, Bang Robin tahu juga kalau aku pingsan?" tanya Vian sedikit ketar-ketir.

"Ya tahu, 'kan gue yang telpon dia buat minta tolong bukain pintu kamar lu," jawab Kemal. "Untung, Bang Robin otaknya canggih, dia bisa tahu keypass pintu apartemen lu. Kita berdua jadi bisa masuk buat lihat keadaan lu," ucapnya lagi.

Vian menarik napas panjang. Dia yakin sekali jika Robin pasti tahu bagaimana kondisinya semalam dan apa penyebab dirinya menjadi seperti itu. Tidak lama lagi, Robin pasti akan menginterogasinya.

Between You and UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang