Chapter 4 : Damn It!

702 148 71
                                    

⏰⏰⏰

Charlie’s POV

”Jangan panggil saya ibu, saya 21 tahun. Paham?!” dengan nada yang sangat menekan.

“Siap, laksanakan!” ucapku sambil hormat.

Dia pun melepaskan cengkramannya dari bajuku. Dia terlihat seperti memeriksa lututnya barangkali ada luka yang tergores disana.

"Kamu baik-baik aja kan?" ucapku dengan nada khawatir.

"Iyah, gapapa. Gak ada luka kok. Sama sekali gak ada. Kamu tenang aja. Cuma sedikit lecet dan sakit pada bagian lutut," ujar wanita itu sambil memegang bagian lututnya yang kesakitan.

Aku tahu dia sedang berbohong. Mana mungkin benturan yang sangat keras seperti itu tak ada luka sama sekali.

"Kalau kakimu gak kuat untuk berdiri, aku bisa antar kamu pulang. Aku hanya tinggal ngambil mobil ke rumahku. Tidak ja-" ucapanku terpotong olehnya.

"Terimakasih. Gak usah repot-repot. Aku bisa pulang sendiri kok. Rumah aku juga gak jauh dari sini. Kayaknya kita tetanggaan deh," ucapnya sambil tersenyum kepadaku.

"Baiklah. Sebelumnya, kita belum kenalan yah? Charlie Puth, kamu bisa memanggilku Charlie," sambil menjulurkan tanganku seraya mengajaknya bersalaman.

"Selena Gomez, panggil saja Selena," jawabnya dengan singkat sambil menjabat tanganku. Tangan wanita sangatlah lembut.

"Ohh Selena. Okaylah, akhirnya kita bisa saling kenal juga. Maafkan jika aku sedikit gugup, maafkan juga awal pertemuan kita sudah membuat kamu marah-marah. Hehe." sambil tersenyum kaku.

"Aku bisa memakluminya Charlie. Kita baru pertama kali bertemu. Masalah tentang panggilan ibu, itu bukan hanya kamu kok. Kayaknya kamu orang ke 729 yang memanggilku ibu," ujarnya membuat kegugupanku sedikit berkurang.

"Oh iya Charlie, ngomong-ngomong, kamu gak ingin cepet-cepet pulang? Maaf, bukan maksud aku buat mengusirmu. Tapi aku rasa, kamu pasti memiliki kesibukan diluar sana. Aku takut obrolan kita mengganggu waktumu." lanjutnya padaku.

Aku pun terdiam seketika. Aku mengerutkan dahiku, sambil mengingat semua rencana yang akan kulakukan hari ini.

Aku lupa bahwa siang ini aku akan pergi bersama Pharrel ke studio rekaman. Aku juga lupa, hari ini aku harus datang ke 4 stasiun radio karena aku diundang oleh mereka. Semua ini akan menyita banyak waktuku dan itu semua harus kupersiapkan mulai dari sekarang.

"Oh Tuhan, aku melupakan semuanya. Kayaknya waktu kita untuk mengobrol tinggal sedikit lagi. Baiklah, aku akan segera pulang. Tapi bolehkah aku menuliskan sesuatu di tanganmu?"

Selena terdiam mengerutkan dahinya sambil memiringkan sedikit kepala. Aku tahu dia bingung dengan perkataanku.

"Ya, hanya coretan nomor teleponku, barangkali kamu membutuhkannya," lanjutku secara lancar, tanpa gugup sama sekali.

'Oops! Charlie, dia belum tentu membutuhkan kamu lagi! Kenapa kamu berbicara seperti itu? Dasar terlalu percaya diri!'

Dia mengangguk iya dan menjulurkan tangannya kepadaku, aku harap dia tidak terpaksa melakukannya. Diriku sedikit gugup memegang tangan halusnya, ya entahlah mengapa. Takut saja jika genggaman tanganku ini membuatnya tak nyaman.

"Sudah, aku harap kau bisa menghubungiku nanti. Jangan khawatir oleh waktu, kamu bisa menghubungiku kapan saja," ucapku yang kini sudah mulai tak malu lagi.

Dia pun tersipu malu. Sepertinya aku baru saja menggodanya secara tak sadar.

Tunggu...

Dari ujung mataku, ada seberkas cahaya seperti... flash dari kamera handphone.

Aku tahu, itu paparazzi!

Payah, mereka pasti akan menyebarkan gossip bodoh ini! Aku segera menghadap ke arah cahaya itu datang, disertai tatapan kesal.

Ternyata hanya 1 paparazzi! Kukira akan ada 10 ataupun 20. Orang itu segera membalikkan badannya, sehingga aku susah melihatnya wajahnya.

Ya ampun, tanganku masih memegang tangan Selena! Herannya, dia tak segera menyadarkanku. Huft, dia sedang menatap wajahku. Tatapannya begitu dalam.

Argh, Selena! Kau membuatku tersipu malu sekarang!

"Selena, maaf! Aku harus segera pergi. Maafkan aku yah," sambil terburu-buru.

Wanita itu baru tersadar. Dia terlihat gugup, mungkin karena sikapnya itu terlalu berlebihan padaku. Aku pun segera melepaskan tangannya. Salam perpisahanku hanyalah sebuah senyum kecil dari wajahku. Itu pun sambil tergesa-gesa.

Aku mulai mendekati posisi paparazzi itu. Awalnya aku berlari-lari kecil ke arah dia yang herannya malah duduk santai di bangku taman itu. Paparazzi yang biasa kutemui langsung melarikan diri, namun yang satu ini tidak. Mungkin dia tak tahu bahwa aku akan segera menghampirinya.

Semakin dekat ke arah paparazzi itu, aku pun melambatkan langkahku. Ketika jarakku semakin dekat, dia berdiri dari bangku taman itu, sepertinya dia menyadari keberadaanku dan akan melarikan diri dari semua ini. Aku segera memegang pundaknya dengan keras, karena kutahu dia akan kabur.

"Hei!" ucapku sedikit menantang.

Kurasa dia mulai pasrah.

Dia terlihat sedikit menolehkan wajahnya. Tetap saja aku tak bisa mengetahui siapa nama paparazzi itu.

“Hei, sudah menyerah yah?” ucapku dengan tegas.

Tapi kemudian, ia kembali menoleh sedikit ke belakang. Apa hanya itu yang bisa dia lakukan? Terus saja menoleh kebelakang tanpa respon 1 kata pun.

Pada akhirnya, ia memberi respon dengan melepaskan genggaman tanganku di pundaknya. Dia terlihat tak nyaman dengan cengkramanku. Aku tetap mewaspadai dia untuk tidak melarikan diri dari semua masalah ini.

Ternyata dia mengepalkan tangannya lalu melayangkan 1 pukulan keras pada wajahku. Argh, pukulannya sangat keras.  Aku pun memejamkan mata dan ia pun sudah berlari menjauh dariku.

"Hei beraninya kau!" teriakku sambil berlari ke arahnya.

Ia berlari sangat kencang sedangkan aku masih meronta kesakitan.

Sorry (Charlie Puth)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang