Beberapa hari ini, perasaan Dito semakin tak menentu. Sejak pertemuannya dengan Vian seminggu yang lalu, Dito tak lepas merasakan kegelisahan dalam dirinya.
Setelah hari itu, Dito dan Vian tak pernah lagi bertemu. Hal tersebut membuat Dito lumayan gelisah. Sering dia tidak fokus pada pekerjaannya karena memikirkan Vian. Bayangan laki-laki itu pun terus mengusik pikirannya. Dan hingga hari ini, Dito tidak tahu di mana keberadaan Vian dan ke mana dia harus mencari laki-laki itu.
Dito tak pernah menjumpainya lagi di gedung yang sama, seperti saat mereka tak sengaja bertemu untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Padahal, dia sangat berharap bisa bertemu dengan Vian lagi seperti waktu itu.
Sayangnya, sampai saat ini harapan Dito itu belum terwujud. Untuk bertanya pada Ines pun Dito tak memiliki keberanian. Karena ada banyak hal yang menjadi kekhawatirannya jika dia menanyakan hal itu pada istrinya.
Hari ini pun, Dito kembali tidak dapat memusatkan pikirannya hanya pada pekerjaannya saja. Sejak tadi, yang dia lihat di dalam layar laptop dan lembaran-lembaran dokumen di mejanya, hanyalah bayangan Vian seorang.
Dito menjadi sangat emosi karena rasa rindu di hatinya semakin membuatnya terbakar. Satu-satunya tempat yang menjadi sasaran kekesalannya adalah kantor dan seluruh pegawainya.
Bisa dihitung dengan jari, berapa kali dia memarahi office boy-nya, hanya karena secangkir kopi yang katanya terlalu manis. Padahal, takaran kopi yang disajikan oleh office boy itu sudah sesuai dengan instruksi yang dia berikan selama ini.
Kemarahan Dito tak hanya dia lampiaskan pada office boy-nya saja, melainkan juga pada Davin yang sudah hampir lima kali mendapatkan amukan yang bukan sepenuhnya kesalahan laki-laki itu.
Seperti misalnya siang ini. Davin dipaksa memeriksa berkas-berkas penagihan milik proyek pengembang terdahulu yang menggunakan jasa konstruksinya. Padahal, itu semua adalah tugas manajer keuangan dan bukan tugasnya yang seorang asisten atau sekretaris Dito.
"Davin!!"
"Ya Tuhan, apaan lagi sih? Apa nggak bisa manggilnya nanti aja? Kerjaan satu belum beres, ada lagi kerjaan lainnya. Apa dia nggak bisa pakai interkom? Teriak-teriak kayak di hutan aja. Lama-lama kuping gue budheg denger teriakannya terus?!" gerutu Davin saat mendengar teriakan Dito untuk kesekian kalinya.
"Daviiiiiin!!"
Suara teriakan Dito semakin menggelegar karena si empunya nama tak kunjung menemuinya. Davin yang mendengar teriakan dua kali itu, buru-buru masuk ke dalam ruangan Dito dan mendorong pintunya dengan tenaga penuh, hingga menjeblak terbuka.
"Iya, Pak. Ada apa?" tanya Davin dengan wajah masam ketika sudah menghadap Dito.
"Telepon Ghazali Associates sekarang dan atur meeting besok pagi. Saya mau lihat hasil kerja mereka. Sekalian minta mereka menyiapkan presentasinya!" ucap Dito tanpa memandang Davin.
"Oke, Pak. Ada lagi?" tanya Davin sembari memutar bola matanya tanpa sepengetahuan Dito.
"Itu aja! Setelah itu, saya mau kamu siapkan berkas kerja sama kita dengan PT. Wiguna Arthari Prima. Saya mau pelajari dulu proposalnya!" ucap Dito kemudian.
"Baik, Pak. Ada lagi?"
Kali ini Dito menengadahkan kepalanya yang semula fokus mengetik sesuatu di layar laptop-nya untuk melihat Davin. Sementara itu, ekspresi Davin yang awalnya terlihat malas, kini langsung berubah ramah dengan senyum terkembang.
"Nggak ada. Kamu boleh pergi!" perintah Dito dengan wajah datar.
Davin mengulas senyum tipis lalu menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
![](https://img.wattpad.com/cover/66840716-288-k129417.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN YOU & US
General Fiction[COMPLETED] __________________________ Altavian Danish, tak pernah membayangkan jika ia akan dipertemukan lagi pada satu kesempatan dengan sosok laki-laki tampan yang dicintainya itu setelah sekian tahun. Anindito Mahawira, c...