Jika cinta memang ada untukku, tolong beritahu aku.
Gadis itu kurus kering, dengan mata yang seakan melesak ke dalam ceruknya, menatap orang-orang dengan kosong. Sekujur tubuhnya dipenuhi garis-garis memar dan luka.
Di sore yang indah cerah, biasanya anak-anak seusianya akan bermain di pekarangan. Dengan tubuh berlapis lumpur dan keringat, mereka terlihat begitu ceria, begitu bahagia. Biasanya gadis kurus kering itu hanya akan menatap mereka dengan pandangan kosong dari balik jeruji pagar rumahnya. Ia bahkan tidak dapat menangis ketika anak-anak di kampungnya mengejeknya kejam, melempar batu dan kaleng bekas minuman padanya.
Sering, terdengar suara sabetan dan pukulan diikuti jeritan melengking dari rumah gadis itu. Jika sudah begitu, para ibu-ibu pasti akan bercerita kepada anaknya tentang ibu dari gadis itu, yang setiap hari menyabet anaknya dengan batang rotan, seringkali sampai patah jika gadis itu berbuat salah. Betapa anak mereka harus bersyukur mereka tidak akan memukuli anak-anak mereka sekejam ibu gadis itu.
Mungkin pertama kali gadis kecil itu mengenal cinta adalah saat ia berdiri di depan pintu berwarna abu-abu pucat di sebuah rumah sakit. Di balik pintu itu adalah sosok yang sangat dirindukannya meski tak pernah ditemuinya. Bagian dari keluarga yang tidak dikenalnya.
Gadis kecil itu menunggu dan menunggu selama lima belas menit yang terasa abadi. Sampai pada akhirnya, pintu itu terbuka, dan seorang anak laki-laki yang kurus dan pucat menatap gadis itu.
Lama mereka saling bertatapan.
"Halo," anak laki-laki itu memecah keheningan yang kaku, tersenyum cerah. "Siapa namamu?"
"Kamu..." tidak tahu namaku? Bahkan kamu, yang belum lagi mengenalku, apakah kau telah belajar untuk membenciku? "... Benaya. Namaku Benaya,"
"Namaku Randy," bocah itu tersenyum lagi dan mengulurkan tangannya. "Salam kenal,"
Randy setahun lebih tua dari Benaya, namun ia hanya setinggi garis mata adiknya. Benaya memang kurus dan pucat, namun Randy lebih kurus dan lebih pucat lagi daripada Benaya. Membuat Benaya bertanya-tanya, bagaimana mungkin anak laki-laki yang nyawanya di ujung tanduk itu adalah kakaknya. Namun dari sifat Randy yang dewasa dan selalu ceria, Benaya banyak belajar.
Sesuatu menarik perhatian Benaya. Yaitu sesuatu yang sedari tadi digenggam oleh Randy.
Bukannya Randy tidak menyadarinya. Bocah itu membuka tangannya, lalu menunjukkan apa yang ia genggam. Sebungkus permen. Wajah Benaya bersinar melihatnya.
"Wuah... kakak punya permen! Kakak sangat beruntung!" Benaya bertepuk tangan girang. Seumur hidupnya, Benaya tidak pernah memakan permen, namun ia tahu pasti permen rasanya enak. Buktinya semua anak-anak menyukainya. Memang, melihat anak-anak lain mendapatkan permen dari orangtuanya membuat hati Benaya panas, namun entah kenapa, saat melihat Randy mendapatkan permen itu, Benaya tidak merasa iri sedikitpun.
"Kamu mau?" tanya Randy. Benaya langsung mengangguk dengan begitu semangatnya sampai-sampai rambutnya jatuh. Randy kemudian memberikan permen itu padanya, yang langsung dilahap oleh adiknya itu.
"Tapi, tunggu dulu," dahi Benaya berkerut, seperti baru saja mengingat sesuatu. "Kau punya berapa permen?"
"Tinggal satu. Yang tadi," jawab Randy enteng. Namun, muka Benaya berubah menjadi kaget.
"Apa... tidak apa-apa?" tanya Benaya perlahan. Tanpa diinginkannya, ia merasa menyesal. Merasa bahwa ia telah merampas milik saudaranya itu.
Randy menggeleng. "Permen itu berharga, apalagi karena permennya tinggal satu. Tapi beberapa hal lebih berharga dari permen,"
Benaya saat itu tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Randy. "Kalau begitu... terima kasih!"
"Sama-sama," Randy tersenyum manis.
Tidak lama kemudian, terdengar suara Mama memanggil Benaya. Dengan wajah takut, Benaya pamit kepada Randy.
"Kak, aku pulang dulu ya. Udah dicari mamah tuh,"
Randy menepuk kepala Benaya, "Iya. Kapan-kapan main sini lagi ya,"
Tapi entah mengapa, jauh di dalam hati, seseorang seakan memberitahunya bahwa ia tidak akan pernah bertemu lagi dengan Randy.
------------------
Ia membetulkan kerah baju Randy, lalu mengecup keningnya.
"Selamat tidur, kak," bisiknya.
Sebuah pemakaman. Hari ini, baju Benaya berwarna hitam. Semuanya ikut bersedih atas Randy, yang kini terbujur kaku di dalam peti.
Benaya hanya menatapnya hampa. Seseorang yang telah mengajarinya tentang cinta kini hanya tinggal kenangan.
Apakah bagiku... kini cinta juga hanya tinggal kenangan?
Gadis kecil itu masih menatap wajah Randy yang damai, tersenyum lembut seperti kali pertama dan terakhir ia melihatnya dalam keadaan masih bernapas. Bahagiakah Randy sekarang? Apakah karena ia tahu, bahwa ia telah membawa kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya, dan ia puas akan hal itu?
Mungkin aku mengerti. Yang lebih berharga daripada permen, yaitu...
Kebahagiaan seseorang yang kaucintai.
Api itu menari-nari. Membakar semua yang tersisa dari sesosok malaikat yang bernama Randy. Pasti Tuhan sangat tidak sabar ingin bertemu dengannya lagi, malaikat favoritnya.
-------------------
Hari ini pun, lagi-lagi, Benaya terbalut dalam busana serbahitam. Lagi-lagi, yang terbaring di peti di hadapannya adalah seorang lelaki yang telah mengajarinya tentang cinta.
Sama dengan sepuluh tahun lalu, Benaya membetulkan kerah Tama. Lalu mengecup keningnya, pipinya, dan setelah ragu sejenak, bibirnya. Ia menatap wajah yang damai dan tenang itu. Di balik kelopak matanya yang tertutup, ada sepasang mata berwarna hijau yang indah. Yang selalu menatap Benaya dengan perasaan yang lebih dalam dari kata-kata.
Keheningan itu. Keheningan yang mereka bagi bersama. Rasanya sulit dipercaya bahwa segalanya telah berakhir, padahal baru saja dimulai.
"Tama, tidurlah dengan nyenyak. Jika kau berada di surga sekarang, tunggulah aku,"
Mampukah ia untuk mencintai orang lain lagi? Rasanya tidak. Rani juga tidak. Gadis yang sebaya dengan Benaya itu sedari tadi tidak berkata apa-apa. Benaya bertanya pada Rani apakah gadis itu masih mampu menyaksikan prosesi pemakaman Tama, dan ia mengangguk.
"Benaya, justru harusnya aku yang nanya gitu ke kamu. Soalnya kamu pucat banget. Lagian, aku nggak sesedih itu, kok. Rasanya aneh aja sih, kehilangan orang yang nggak kamu kenal,"
Kasihan Tama. Yang meninggalkan dunia ini sebelum benar-benar mengecap apa yang dinamakan dengan kebahagiaan.
Kasihan Rani. Yang tidak mengenal seseorang semenakjubkan Tama, padahal ia adalah saudara kandungnya.
Kenyataan memang mengerikan.
YOU ARE READING
Lemon Soda
Teen FictionKisah cinta yang segar, seperti lemon soda. Karena cinta itu nggak cuma tentang pacaran. Karena cinta itu lebih dalam dari kata-kata. Karena cinta hadir di saat yang tidak kita duga, dibawa oleh orang yang tidak kita duga pula. Cinta yang menyegarka...