Back with Angie! Maaf ya updatenya slow banget ;;;; Angie usahain update sesering mungkin kok
Happy reading~
--------------------------------
Namanya Benaya. Kalau berjalan, ia selalu menunduk. Mungkin menyumpal telinganya dengan sepasang earphone. Hari ini pun, ia berjalan menunduk menuju toilet. Siapa yang ada di hadapannya, ia tidak peduli dan tidak pernah peduli. Mereka akan melemparkan makian dan hinaan dan bukan sesuatu yang ingin ia dengar. Yang menurutnya tidak layak didengar.
Dua orang menghadangnya. Benaya tidak mendongak, tetapi dua pasang kaki di hadapannya sedari tadi tidak bergerak. Tanpa berpikir, ia lewat di tengah-tengah kedua orang itu, menubruk bahu keduanya keras. Tentu saja dua orang tadi langsung mengumpat, tapi Benaya tidak mendengarkan. Ia terus berjalan.
Benaknya benar-benar ribut. Tidak bisa diam, sedetikpun tidak. Bertolak belakang dengan mulutnya yang hampir selalu terkatup rapat itu. Ia selalu membayangkan sebuah dunia yang diinginkannya, di mana penduduknya tidak sebodoh itu, dan orang itu hadir.
Ia terlalu sibuk dengan dunia miliknya itu, sehingga ia tidak sempat bereaksi ketika dunianya mendadak berputar cepat, terasa sensasi benturan, lalu rasa sakit yang tajam menyerang bagian bawah wajahnya. Ia mengumpat keras, tidak peduli akan pandangan-pandangan sinis yang mungkin akan langsung tertuju padanya. Setelah itu, ia menyadari dua hal. Pertama, seragam putih abu-abu yang tengah dipakainya terasa basah. Ia melihat ke bawah. Benar saja, seragamnya kotor dan basah. Rupanya ia telah dijegal oleh entah siapa--orang terkutuk yang tidak tahu akibatnya jika berurusan dengannya. Kedua, mulutnya terasa asin. Ia menyentuhkan ujung jarinya ke mulutnya, lalu meringis. Selapis tipis darah merah melapisi jarinya.
Lalu ia mendengar suara seseorang terkikik di belakangnya. Seharusnya aku sudah bisa menebaknya. Benaya memejamkan mata, menahan amarahnya. Ia mengenali suara itu. Kejadian ini juga bukan yang pertama kalinya. Tetap saja, orang itu tidak bosan-bosannya menindas Benaya. Atau, lebih tepatnya, mencoba menindas Benaya. Karena Benaya bukanlah orang yang sama seperti dulu. Benaya yang sekarang tidak akan berpikir dua kali sebelum membalas keburukan orang dengan sesuatu yang lebih buruk lagi.
"Hahaha, dasar sok kegatelan! Emang enak tuh, nyium lantai?"
Tidak salah lagi. Perlahan, Benaya melepas kedua earphone-nya, mematikan iPod nya, lalu memasukkan kedua benda itu dengan aman ke dalam kantongnya.
"Muka letek aja belagu!"
Dahi Benaya mengerut. Bukan karena ia marah atau tersinggung, melainkan ia sedang berkonsentrasi menentukan di mana tepatnya bajingan yang telah merusak harinya itu.
"Gue kasih tau ya, lo itu--"
Tidak ada waktu untuk bereaksi. Cewek berambut ombre biru yang tadi bersembunyi di balik salah satu bilik toilet perempuan dan menjegalnya lalu berusaha menghinanya itu kini menjerit, namun suaranya tidak keluar. Giliran dunianya yang berputar. Lebih buruknya lagi, matanya mulai berkunang-kunang dan udara tidak mau masuk ke dadanya. Ia menutup matanya dan meronta putus asa.
Ketika ia membuka matanya, ia menatap langsung ke mata Benaya yang dingin namun menusuk. Siku Benaya menghimpit pita suaranya. Kepalanya terasa sangat sakit, seperti ada yang baru meledakkan dinamit di dalamnya. Ia merasakan tubuhnya gemetar, namun dalam posisinya sekarang, ia tidak bisa melakukan apa-apa.
Kemudian Benaya meludah, membuat cewek tadi berjengit. Ia tahu bahwa Benaya terkenal galak, tetapi ia tidak menyangka bahwa anak kelas sepuluh itu semengerikan ini. Padahal dia 'kan cuma anak kemarin sore.
YOU ARE READING
Lemon Soda
Teen FictionKisah cinta yang segar, seperti lemon soda. Karena cinta itu nggak cuma tentang pacaran. Karena cinta itu lebih dalam dari kata-kata. Karena cinta hadir di saat yang tidak kita duga, dibawa oleh orang yang tidak kita duga pula. Cinta yang menyegarka...