1: Kebangkitan yang Ala Kadarnya

16.3K 1.9K 176
                                    

Surrey, 15 Februari 2017

Ketika kubuka mataku untuk pertama kalinya sejak dua ratus tiga puluh lima tahun, aku sedikit berharap ada perayaan kecil-kecilan yang akan kusaksikan dalam rangka menyambut kebangkitanku. Tidak perlu meriah: hanya karpet merah yang tergelar di depan petiku, lilin-lilin aroma terapi di sudut ruangan, karangan bunga lavender, sepiring ayam panggang saus madu serta sebotol anggur merah, gaun bertabur emas untuk mengganti piyama hitamku yang sekarang, papan bertuliskan 'Selamat Bangkit Kembali, Alamanda' dan—akan lebih menggembirakan—sedikit taburan konfeti. Sebelum menyaksikan itu semua, aku berharap setidaknya Mogwa akan membukakan pintu peti untukku dengan kaki hitamnya yang berbulu.

Namun, nyatanya, tidak ada sambutan sama sekali. Hanya kesunyian dan kegelapan yang menyapaku.

Alih-alih kemeriahan gemerlap, aku kini menatap langit-langit petiku yang berlubang di berbagai tempat karena dimakan rayap.

Badanku masih belum bisa digerakkan. Terlalu lemas. Saraf motorikku belum siap. Aku pun berbaring diam selama beberapa menit usai kesadaranku terkumpul, menunggu saraf-saraf di otakku aktif sepenuhnya. Sembari menunggu, aku memikirkan tentang sesuatu yang terang untuk membantuku. Aku memvisualisasikannya dalam benakku, memperkuat bentuk imajinya, memikirkan strukturnya, lalu menginstruksikan 'sesuatu' itu untuk muncul di hadapanku.

Namun, tidak ada perubahan apa pun.

Ayolah, seharusnya ini semudah dulu! Seharusnya aku sudah bisa memunculkan cahaya sekarang.

Kucoba untuk berkonsentrasi lagi. Kupejamkan mata dan memusatkan fokusku pada sekujur tubuh. Perlahan, kugerak-gerakkan jari telunjukku. Kendati sambil bergetar, jariku kini sudah bisa terangkat. Menit berikutnya, pergerakan sendi jari-jari tanganku sudah mampu kuatur.

Aku pun melakukannya lagi: membayangkan cahaya dari ketiadaan. Konsentrasi, konsentrasi. Tampaknya, untuk pemanasan, mulutku harus turut berpartisipasi.

"Cahaya," ucapku, sembari menjentikkan jari-jariku untuk pertama kalinya.

Tidak ada suara, tetapi kurasakan sudut mataku yang terpejam berkedut sebagai refleks terhadap sesuatu yang menyilaukan. Lekas aku membuka mata. Sebersit cahaya temaram muncul di atas hidungku. Ingin aku tersenyum puas, tetapi saraf motorik di wajahku masihlah kaku.

Sekarang, saatnya mengeluarkanku dari sini.

Dengan bantuan cahaya kecil di atasku, kuangkat kedua lenganku perlahan, menatap telapak tanganku yang masih utuh kendati pucat. Kugerakkan sendi-sendi pada jemari tanganku, juga kugerakkan kakiku sedikit untuk memastikan keduanya masih berfungsi secara normal. Kuembuskan napas lega ketika mendapati mereka bergerak sesuai kehendakku.

Celah di dalam peti masih memberiku ruang untuk bergerak. Kumanfaatkan untuk mengangkat kerah gaun piyamaku dan mengintip ke dalam, ke arah bagian-bagian tubuhku yang lain. Masih utuh juga, untung saja.  Tubuhku  tidak tergerogoti rayap-rayap sialan itu—bukan karena sihir 'Tidur Panjang' yang kuberlakukan, tetapi karena mereka tidak doyan melahap manusia jadi-jadian sepertiku.

Layaknya beruang kutub yang baru bangun dari hibernasi, setelah kesadaranku sudah pulih sepenuhnya, suasana hatiku tumbuh menjadi sangat buruk. Mogwa seharusnya sudah membukakan petiku detik ini juga. Aku butuh sambutan. Dan aku sangat lapar.

Dengan sekali hentakan, kudorong pintu peti hingga terangkat.

Sembari memegang tepian peti yang terselubung debu tebal dan sarang laba-laba, aku lekas beranjak. Sekilas kusapukan pandangan pada ruangan katakomba berbentuk persegi ini, di mana petiku menghuni bagian tengahnya. Hampir pasti sekarang adalah malam hari karena tidak ada sinar matahari yang menembus celah ventilasi pada atap katakomba. Masih dibantu oleh secercah cahaya kecil yang kumunculkan,  kulihat jalur tangga berada pada posisinya di ujung kanan ruangan—persis seperti yang kuingat. Kemudian, aku mengamati satu-satunya perabot di dalam katakomba ini, yakni meja batu yang menempel pada dinding. Benda tersebut menopang kandelir kosong dengan sisa batang lilin yang telah mengerak. Selain itu, tidak ada apa-apa selain debu dan sarang laba-laba yang memenuhi seluruh penjuru. Bau apak menyesaki hidungku; berani bertaruh setengah volume  paru-paruku sudah tertimbun debu. Bisa kupastikan Mogwa tidak pernah mengurus tempat ini dan keasyikan mengelilingi dunia. Tidak mengherankan, pendiriannya sangat teguh untuk ukuran seekor kucing.

Alamanda (dan Sihir yang Berujung Salah) (Novel - Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang