INTRODUCTION

155 9 0
                                    

"Nggak lagi mengutuk nasib karena kekalahan lo kan, Witch?"

Tara mendongak menatap Rei yang berdiri dihadapannya. Semenjak bertemu dengannya beberapa jam yang lalu, saat inilah dirinya berjarak paling dekat dengan Rei, hanya satu meter.

"I refuse to speak to you."

"Hahaha, come on, jangan childish gitu."

"Nggak, gue cuma lagi berusaha menahan diri dari ngomong kata-kata umpatan akhir-akhir ini. Dan lo bakal bikin gue susah nahan diri, for not swearing at you, that is." Tara mengangkat sebelah bahunya, mencoba bersikap kasual di hadapan laki-laki yang dulu pernah menjadi rivalnya ini.

"Seriously? You don't miss me? At all?" Rei memasukkan satu tangannya ke saku celana.

Setelah ini dia akan menekuk satu lututnya, batin Tara. Lalu tersenyum ketika Rei benar-benar menekuk satu lututnya.

"What? Lo barusan senyum."

"Emang kenapa kalo gue senyum. Terakhir gue ngecek senyum itu nggak dilarang."

"Kenapa lo selalu ngerubah percakapan kita ke sebuah pedebatan? Is it just me atau emang lo kayak gitu ke semua orang?"

"Siapa bilang kita punya 'percakapan'? Yang ada itu lo lagi ngajak gue ngomong dan gue terlalu males buat ngladenin." Tara bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan menuju pintu keluar. Dia bersyukur tidak ada orang lain selain dirinya dan Rei yang tersisa di ruangan debat ini.

Baru beberapa langkah dan Tara merasakan ada jari-jari yang melingkari lengannya, mencegahnya untuk berjalan menjauh.

"Gue bisa mikir beberapa alasan kenapa lo harus nglepasin tangan lo sekarang juga." Ucapnya dingin tanpa berbalik.

Dan tentu saja Rei tidak mendengarkannya. Laki-laki ini malah menariknya mundur, Tara bisa merasakan nafas Rei di tengkuknya.

"I'm sorry, OK? I'm sorry for leaving you like that three years ago." Bisik Rei.

Three years and a half, tapi memang siapa yang menghitung, Tara tetap tidak bergeming.

"Whatever. Gue nggak peduli, gue bahkan berharap nggak bakal ketemu lo lagi. Empat setengah tahun ini berasa damai tanpa ada lo." Dia menekankan kata setengah itu sebelum mencoba menarik tangannya, tapi tetap saja sia-sia.

"Gue bakal nganggap lo nggak ngomong itu karena lo masih marah."

"So what kalo gue marah? Gue nggak marah. Marah itu artinya gue buang-buang energi buat lo, yang nggak bakal gue lakuin selama gue masih waras."

"OK, fine!" Rei melepaskan tangan Tara sebelum melanjutkan "I just thought that we were friends so I owe you an apolology for leaving like that."

"You dont owe me anything." Ucap Tara lirih, caranya mengatakan kalau mereka bukan teman, dulu atau sekarang. Because you made me weak, made feel things I don't want to feel, batinnya sambil berlalu.

Meet Tara (F/20), our heroine. Gadis independen yang smart dan tangguh, dan tentu saja keras kepala. Tak ada hal yang paling ia sesali dalam hidupnya selain kebodohannya mempercayai seorang cowok bernama Rei Sanjaya, kakak kelasnya yang menghilang begitu saja di tahun terakhirnya di SMA. Rei menghilang tepat sehari setelah menyatakan perasaannya pada Tara. She learned her lesson the hard way. Jatuh cinta hanyalah sebuah kebodohan yang tak perlu.

Meet Rei (M/21), our hero. Tipikal lelaki yang punya segalanya tanpa harus bersusah payah. Smart, rich, and of course 'unfairly' good looking. Tak ada hal yang paling ia sesali dalam hidupnya selain kebodohannya meninggalkan Tara tanpa sepatahpun kata selamat tinggal tiga setengah tahun lalu. Saat Rei kembali, gadis keras kepala itu bertekad menjaga jarak sejauh mungkin darinya.
***
*hullo guys! Lagi coba bikin cerita baru. Moga-moga pada suka ya. critics and advises are welcomed ^_^

LABIRIN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang