Dengan satu tali tas punggungnya terpasang di bahu, Tara berjalan keluar sekolah, melewati sebuah lapangan basket yang terletak di samping ruang Osis. Masih ada beberapa anak lain yang bermain basket di lapangan, salah satunya cowok tinggi yang baru saja bersamanya. Tanpa menoleh ke arah mereka , Tara terus berlalu.
Rei sedang berteriak untuk dioperi bola ketika dari sudut matanya dia melihat cewek dengan bacpack coklat berjalan di samping lapangan tempat ia bermain basket. Cara cewek itu bergerak, berjalan, bahkan sudah sangat familiar untuk Rei dia tidak perlu menoleh untuk memastikan kalau itu Tara. Tapi tetap saja, dia tidak bisa menghentikan matanya untuk tidak mengikuti Tara yang berjalan menuju gerbang sampig sekolah. Sampai sebuah bola tepat mengenai pipinya dengan keras. Rasa sakit, panas, menjalar ke seluruh bagian wajahnya. Dia menghela nafas lega usai memeriksa semua giginya masih terpasang rapi di gusi.
“lo nggak papa Rei?” Rama dan yang lainnya berjalan ke arah Rei yang terlentang di tengah lapangan, memeriksa pipi merah Rei.
“Gue nggak papa.” Jawab Rei dengan rahang yang terkatup. Gengsi kalau harus mengakui bahwa dia berharap pipinya mati rasa aja.
Dia tidak tau apa yang membuatnya tertarik pada Tara. Mungkin karena duania mereka berbeda. Sebelumnya Rei bahkan belum pernah menyadari keberadaan makhluk macam Tara karena memang Tara bukan cewek yang biasanya bisa menarik perhatiannya. Dunia mereka terlalu berbeda. Dan bukan cuma kelas sosial mereka yang Rei maksud. Tara dan teman-temannya sering nongkrong di perpus, semenTara Rei dan teman-temannya sering bolos di kantin sekolah. Tara rajin ngiloin kertas sekolah buat nyari duit, sementara cewek-cewek di dekat Rei sibuk buang duit buat ke salon. Tara diam-diam pinjam komputer sekolah utnuk mengerjakan tugas, Rei baru saja beli macbook baru karena lupa naroh yang lama dimana.
Itu bedanya. Dunia mereka seakan dua planet yang punya orbit masing-masing. Dekat tapi nggak akan senggolan. Dan sekarang Rei bukan cuma ingin bersalaman dengan Tara, berkenalan. Tiba-tiba dia ingin membenturnya dengan kecepatan penuh walaupun dia tau itu tidak akan meninggalkan mereka dalam keadaan utuh.
Tapi kesadaran bahwa suatu saat dia akan menyakiti Tara, tidak peduli dia menginginkannya atau tidak, tidak mencegah Rei untuk tiba-tiba berlari ke arah pojok lapangan dan mengambil backpack kanvasnya.
“Woy Rei, lo mau kemana?” teriak Aditya.
“Gue pulang dulu, mau ngerjain PR!” teriak Rei balik. Tersenyum saat teman-temannya percaya Rei pulang karena ada PR. Dan besok mereka bisa dapat nilai ulangan fisika tuntas tanpa remidial. Yup, impossible.
Hanya satu temannya yang tidak ikut meneriakinya, tapi hanya tersenyum simpul padanya dari posisinya berdiri di belakang anak-anak yang lain. Lalu ketika Rei hampir menghilang, cowok itu berteriak. “Salam ya buat PR!”
Rei hanya tertawa sambil mengangkat tangan kanannya tanpa membalikkan badan. Satria memang tidak pernah melewatkan apapun. Bahkan Rei tadi curiga Satria lah yang sengaja melempar bola basket ke mukanya karena dia tidak konsentrasi ke permainan tapi malah sibuk memperhatikan adik kelas mereka. Begitulah sakralnya permainan bola basket untuk Satria.
Rei menyalakan mobilnya lalu keluar dari parkiran. Sebenarnya dia paling malas memakai mobil untuk pergi ke sekolah. Tapi akhir-akhir ini, karena dia malas langsung pulang setelah jam sekolah, biasanya dia akan kelayapan dulu, menghabiskan waktu di luar rumah selama yang dia bisa.
Tara terlihat tengah berdiri di halte dengan separuh wajahnya terbenam buku di tangan. Tipikal, decak Rei setengah kagum. Bagaimana cewek itu bisa berkonsentrasi di tengah hingar bingar jalanan merupakan sesuatu yang di luar nalarnya.
Lalu dia memelankan mobil dan berhenti tepat di hadapan halte yang berisi beberapa anak-anak dari sekolahnya dan juga sekolah sebelah. Sebagian dari mereka sedang berbisik mengenai dirinya walaupun dia tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan dari balik kaca jendela yang tertutup rapat. Rei dengan kalem menunggu reaksi Tara ketika cewek itu menyadari keberadaannya.
Tapi sayangnya sikap tenangnya lama-lama harus luntur ketika Tara tidak juga mengangkat wajahnya dari buku yang sedang dibacanya.
Anak-anak di halte semua menatapnya dengan heran, bertanya-tanya siapakah di antara mereka yang beruntung mendapat ajakan pulang bersama dari salah satu cowok tim basket yang tahun lalu menjuarai liga kota. Beberapa menyikut teman di samping mereka. Beberapa, dan ini yang membuat Rei semakin tidak nyaman terlalu lama memarkir mobilnya di tempat itu, mencoba menangkap mata Rei, berharap cowok itu berhenti untuknya.
Ketidaknyamana berubah menjadi tengsin ketika sebuah bis kota mengklaksonnya dengan keras dari belakang, menyuruhnya untuk pergi dari spot mereka menaikkan penumpang dari halte.
Dengan jengkel Rei menurunkan kaca jendela mobilnya, dan meneriakkan nama Tara. Tara terlonjak sebelum mengangkat kepalanya, terbelalak mendapati mobil Rei ada di hadapannya. Dan yang bikin Rei tambah keki adalah ketika Tara terlihat mempertimbangkan diri untuk naik bis umum itu saja. Mata cewek itu berpindah-pindah dari jeep Rei ke bis yang masih terus-terusan membunyikan klaksonnya pada Rei.
“Cepetan woy!” teriak Rei jengkel.
Tidak mau mendapat murka karena menunda anak-anak SMA yang kelaparan dari makan siang mereka, Tara buru-buru berlari ke arah pintu penumpang mobil Rei, membukanya dan melompat ke dalam.
Di dalam mobil, Tara tidak tau harus berkata apa. Dia bahkan tidak tau kenapa dia berada di sini. Anehnya, Rei terlihat jengkel padanya. Rahangnya terkatup rapat, cengkraman tangannya di kemudi sangat erat.
“Lo mau bawa gue pulang kan?” tanya Tara memastikan.
“Plis. Emang lo pikir gue mau bawa cewek kaya lo kemana?” karena masih jengkel, Rei menjawab pertanyaan itu dengan emosi.
Kini giliran Tara yang jengkel. “Kenapa lo yang marah? Gue nggak inget minta lo anterin gue pulang.” Katanya ketus.
Rei menghela nafas. “Sorry. Baru pernah gue dibikin malu kaya gitu. Lo tau nggak sih berapa lama gue berhenti di depan halte tadi.”
“Lo kan bisa panggil nama gue.”
Catet: nggak semua cewek menyadari eksistensi lo walaupun lo ada di deket mereka.
“Semua orang di halte tau gue mau nemuin lo.”
Tara hanya mengangkat kedua alisnya tidak percaya.
“Tau gue mau nemuin seseorang.” Koreksi Rei. “Semuanya. Kecuali lo.”
“Itu tetep bukan salah gue.” Tara menyilangkan tangan, keukeuh dengan pendiriannya. Lalu dia tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya. “Jadi lo malu sampe pipi lo merah gitu?”
Secepat kilat Rei menutup sebelah pipi yang tadi terkena bola dengan satu tangannya yang bebas. “Gue kena bola tadi.”
Tara tersenyum mengejek, “Iya, iya. Kena bola?” dia tau Rei mengatakan yang sebenarnya, lagipula ada sedikit debu di pipi kiri Rei yang memerah itu, tapi Tara tidak dapat menahan diri untuk tidak menjaili kakak kelasnya ini.
“Gue bahkan ga tau kenapa gue mau nganter lo pulang.” Gumam Rei.
“Perempatan depat belok kiri.” Ucap Tara sambil tersenyum. “Jadi, kenapa lo, yang taun lalu hampir jadi MVP kalo aja nggak ada Satria temen lo itu, bisa kena bola di muka?”
“Ceritanya panjang.” Jawab Rei asal. Daripada harus mengakui kalau Tara lah yang jadi alasan dia punya tato bola basket di pipi. Dan memberikan cewek itu amunisi untuk mengejeknya lagi? NO WAY.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
LABIRIN HATI
Romance"Sorry, gue ninggalin lo waktu itu. I'm sorry for leaving you like that three years ago." Bisik Rei. Three years and a half, tapi memang siapa yang menghitung, batin Tara. "Whatever. Gue nggak peduli, gue bahkan berharap nggak bakal ketemu lo lagi...