Faktor-X

6 2 0
                                    

Terhitung 100 hari sebelum Ujian Nasional digelar.

Milna, sahabatku. Ia menanyakan sesuatu yang membuatku terdiam seketika. Kamu jadi daftar kuliah dimana ? pertanyaan yang masih saja belum bisa kujawab. Karena jawaban hari ini mungkin akan berbeda dengan jawaban hari esok atau bahkan lusa.

Setiap hari selalu menawarkan pilihannya. Saat kumulai yakin dengan satu pilihan, saat itulah aku harus melepasnya perlahan. Membuang jauh-jauh keyakinan yang pernah ada.

Aku, yang selalu akrab dengan majalah bahasa Inggris sejak aku kecil. Tentu tau faktor “ex” apa yang aku miliki. Aku, yang selalu terbiasa bersahabat dengan buku diary. Tentu tau passionku itu dimana. Ya, aku memiliki impian besar untuk masa depanku kelak. Sudah terpampang jelas impian itu di dinding kamar, atas meja belajar. I want to write my own English novel.

Itu artinya aku harus melinierkan studi yang nantinya akan aku ambil selepas lulus. Jurusan Sastra Inggris akan menjadi pilihan yang tepat. Dan, Miss Caroline menyarankanku untuk melanjutkan studiku di Universitas Negeri Malang. Karena ia pun seorang alumni di Universitas tersebut. Malang; kota pendidikan yang banyak melahirkan orang-orang besar. Kota yang penuh dengan kesejukan dan keindahan. Air terjunnya, kebun buahnya, wahana bermainnya, semuanya mengagumkan. Ia pun tak terlalu jauh dari kampung halamanku berkat jembatan Suramadu. Sekitar 129 km. Namun itu artinya, aku harus menyewa kamar kos. Tidak bisa untuk pulang-pergi. Hal inilah yang membuat ayah dan ibuku khawatir. Karena dari kecil aku selalu bersama dengan keluarga. Tak rela membiarkan anaknya hidup di kota orang sendiri. Hingga akhirnya mematahkan impian-impian yang sudah kurajut nyaris sempurna. Aku tau itu bentuk kasih sayang mereka. Tapi andai mereka tau, hati ini sakit.

Om Zainal, kakak sulung Ibuku. Memberikan pilihannya padaku. Ia menawarkanku untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (UNIPDU) Jombang. Universitas yang berbasis pesantren. Orang tuaku setuju akan hal ini. Om Zainal menyarankanku untuk mengambil D3 Kebidanan. Tak masalah bagiku meski tak sesuai dengan keinginan awal yakni Sastra Inggris. Yang pasti, dalam buku diary yang aku miliki saat berusia 7 tahun, cita-cita yang tertera dalam biodataku adalah menjadi seorang bidan. Dan aku mulai membayangkan saat suatu waktu aku memeriksa kesehatan keluargaku secara gratis. Namun bayanganku tiba-tiba buyar saat mataku tertuju pada tulisan kecil berwarna kuning. Khusus calon mahasiswa jurusan Ilmu kesehatan, tinggi badan maksimal 150 cm (putri).
Aku terhenyak membacanya. Karena tinggi badanku hanya 149 cm. Nyaris sekali. 1 cm yang tak bisa berbuat apa-apa selain mencari pilihan lain. Dan pilihan terakhir adalah orang tuaku.

Sebenarnya aku tak rela meninggalkan pulau garam ini dan kembali ke kota Kain Tapis. Kota yang dahulu menghiasi masa kecilku. Kota dimana orang tuaku meraih kesuksesannya disana. Dan yang aku inginkan adalah meraih kesuksesanku sendiri.
Aku ingin membuktikan kepada keluargaku, bahwa aku bisa hidup sendiri. Aku ingin seperti mahasiswa pada umumnya. Mandiri. Tinggal di kosan, masak sendiri, pulang sebulan sekali dan terlebih, membuktikan kesuksesanku sendiri. Namun, orang tua terlampau khawatir dengan hal itu.

Apa boleh dikata. Yang kulakukan hanya belajar keras dan selalu meluangkan waktu di sepertiga malam untuk mengadukan segala keluh kesah dan kebimbangan hati pada Dia Sang Pemberi Skenario terbaik. Berharap aku bisa lulus Ujian Nasional dengan nilai yang terbaik dan diberikan kemantapan hati untuk memilih pilihan yang terbaik.

Just Call Me, Reina !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang