"Bahkan jika pun kita diam, akan selalu ada orang yang menyalahkan ke-diam-an kita. Lalu masihkah kita akan tetap diam? diam atau bersuara? Semuanya kembali menjadi pilihan."
---
"Eshter bangun, kamu mau telat lagi!" Eshter terbangun dari mimpinya, ia menatap jam sambil mengerjap beberapa kali.
"Yaampun ma, aku telat!" Teriaknya ketika sadar jam menunjukan pukul 06.45, ia turun dari ranjang dan secepat kilat menarik handuk.
Krek..
"Ah, handukku" ia meratapi nasib handuknya yang sekarang terdapat lingkarang tembus pandang, tanpa membuang-buang waktu lagi Eshter mengambil handuk milik ibunya dan segera masuk kedalam kamar mandi.
...
"Bang turun disini aja" setelah Eshter membayar tukang ojek langganannya, ia berlari menuju gerbang sekolahnya yang telah dijaga oleh pak Anton, guru yang terkenal dengan kumisnya yang panjang.
"Eshter, lagi-lagi kamu telat. Mau jadi apa kamu kalau seperti ini terus?" Eshter menduduk, bukan karena ia takut. Ia hanya tidak sanggup melihat kumis gurunya itu.
"Kamu kenapa nunduk-nunduk gitu? Takut sama bapak?" Tanyanya dengan gaya sok galak yang dibuat-buat.
"Bukan pak, saya cuman geregetan liat kumis bapak. Rasanya mau saya potong pake gunting rumput!" Setelah membuat pak Anton tercengang. Eshter langsung berlari menuju kelasnya, sebelum mendengar amukan gurunya itu.
Brak..
Eshter membuka pintu kelas, dengan tampangnya yang angkuh ia berjalan menuju bangku kosong dibelakang. Bangku kosong itu telah dikhususkan untuknya, tidak ada satupun yang berani menempati tempat tersebut.
"Hei Eshter, bisakah kamu sopan sedikit? Gak langsung nyelonong kayak gitu" Eshter tidak menghiraukan ocehan gurunya itu. Menurutnya, diam adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah.
"Udah bu lanjutin aja, percuma nanggepin gadis angkuh kayak dia" sindiran ketua kelasnya membuat kuping Eshter panas, namun ia tetap diam dan memaki gadis itu dalam hati.
"Baiklah, hari ini kita kedatangan murid baru pindahan dari australia" seorang laki-laki berambut coklat dengan tubuh yang atletis masuk dengan senyum ramahnya.
"Halo, nama saya Kenzo Lyvonne. Kalian bisa panggil saya Kenzo. Saya harap kalian semua dapat berteman baik dengan saya" ucapnya dengan bahasa yang kaku. Eshter memandang laki-laki itu dengan tatapan merendah, sok ramah pikirnya.
"Kenzo, kamu boleh menempati tempat duduk yang kosong" Kenzo menatap seisi kelas terdapat tiga bangku yang kosong. Satu tepat di sebelah Eshter, dan yang lainnya berada dibarisan terdepan.
Ia berjalan menuju bangku yang berada disebelah gadis angkuh itu, namun saat ia menjatuhkan tas dibangkunya para murid lain berbisik ngeri.
"Hei murid baru, ngapain duduk samping gadis itu nanti ketularan angkuhnya loh" teriak laki-laki berkaca mata, yang duduk tepat dihadapannya. Kenzo menatap laki-laki itu bingung, lalu ia menatap gadis disebelahnya. Ia tersenyum dan mengulurkan tanggannya.
"Saya Kenzo, anda?" Karena merasa terusik kehadiran murid baru itu, Eshter memandangnya dengan tatapan tajam.
"Gak usah sok baik deh, munafik!" Kenzo tersentak, lalu kembali tersenyum. Gadis itu manis, pikirnya.
"Kenzo cepat duduk, mari kita lanjutkan pembahasan kemarin" ucap bu Pamela. Ia tidak kuat kalau harus berurusan dengan muridnya yang satu itu.
...
"Hai, boleh kenalan kan?"
"Kak, minta nomornya dong"
"Kenzo, temenin aku yuk ke kantin"
Eshter menutup buku novelnya dengan kasar, lalu menatap laki-laki disampingnya. Laki-laki itu tetap tersenyum, walaupun terdapat guratan tidak nyaman didahinya.
"Heh kalian, berisik tau gak! Ganggu orang banget" bentak Eshter terhadap gadis-gadis yang sedari tadi mendekati Kenzo.
"Ish, apaansih lu. Gak usah ikut-ikutan deh HAMA!" Eshter bangun dari tempat duduknya. Ia menatap gadis itu dengan tatapan mautnya.
"Tadi lu bilang apa? Hama? Bukannya lu ya yang hama?" Gadis itu terlihat ketakutan. Ia menarik lengan temannya dan langsung keluar kelas, disusuli dengan gadis-gadis lainnya.
"Terima kasih" ucap Kenzo sambil tersenyum manis. Eshter berdecak singkat, ia kembali duduk dan mencoba untuk fokus terhadap novelnya.
"Saya bingung sama orang seperti anda, apa anda sakit gigi makanya tidak bisa tersenyum?" Tanya Kenzo yang sekarang tepat disamping Eshter. Eshter menghela nafas singkat, ia menatap Kenzo sambil tersenyum paksa.
"Sudah puas?" Kenzo tertawa singkat, ia kembali menatap Eshter sambil tersenyum.
"Seulas senyum tidak akan mengusik harga dirimu, meremukkan wibawamu, atau mencoreng wajahmu. Senyum bekerja sebaliknya." Eshter terdiam, ia membalas menatap Kenzo. Jantungnya berdetak tak karuan, membuatnya salah tingkah.
"Senyum penuh kebohongan, hanya untuk menutupi luka dihatimu. Saya bukan orang munafik seperti itu!" Eshter beranjak dari bangkunya. Sejujurnya ia tidak sanggup harus berlama-lama dengan laki-laki itu.
"Hey, anda mau kemana?" Kenzo menarik tangan Eshter yang baru saja ingin beranjak pergi. Eshter menatap Kenzo dengan sinis, sambil menyentak tangannya.
Setelah cengkraman Kenzo terlepas, ia langsung pergi keluar kelas. Tujuannya hanya satu, yaitu lapangan sekolahnya.
Ia duduk di bawah ring bakset, bersama angin yang menerpa wajahnya. Bisik-bisik orang yang berlalu lalang membuat Eshter tidak nyaman, namun ia tetap berusaha untuk mengabaikannya.
Ia menutup matanya perlahan, senyum mengembang diwajahnya. Mengenang seseorang yang dulu pernah mengisi kekosongan dihatinya.
Alexandro Revan, dialah satu-satunya laki-laki yang dapat membuat seorang gadis yang ceria, menjadi terdiam. Seorang gadis yang murah senyum, menjadi gadis yang angkuh.
Sesunguhnya Eshter hanya menutupi ketakutannya, ia hanya takut bila kejadian itu terulang lagi. Kejadian yang membuatnya hampir gila.
"Saya benar, anda gadis yang manis, dan sekarang bertambah manis karena anda tersenyum" Eshter tersentak kaget. Memorinya buyar karena suara berat itu.
"Mau anda apa sih?" Tanya Eshter dengan tatapan tajamnya, senyum dibibirnyapun telah lenyap.
"Tidak apa-apa, saya hanya ingin berteman dengan anda" Kenzo mengulurkan tangannya.
"Maaf, saya sedang tidak berminat mencari teman" setelah menepis tangan Kenzo. Eshter pergi meningalkan laki-laki itu, dengan penuh pertanyaan dibenaknya.
Kenzo kembali tersenyum, gadis itu membuat rasa ingin tahunya muncul. Gadis itu juga telah menarik perhatiannya, mungkinkah ia jatuh cinta atau ini hanya perasaan iba semata, ia tidak tau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eshter
Teen FictionSeorang gadis angkuh yang dijauhi banyak orang, bertemu dengan laki-laki ramah yang disukai hampir semua gadis disekolahnya. Mampukah mereka bersatu dengan berbagai masalah yang datang?