Aku menerobos halaman belakang kediaman sahabat kecilku. Amaya. Perempuan yang tidak terlalu cantik, tetapi mampu membuatku lupa dengan perempuan lainnya. Tepat jam dua belas malam nanti, Amaya genap berusia dua puluh tahun. Dan disinilah aku, di tengah hujan lebat, berusaha menerobos tembok tinggi berkawat yang di sampingnya di jaga ketat oleh Reis-Golden Retriever kesayangan Amaya.
Aku pelan-pelan melewati Reis yang sedang tertidur pulas di dalam kandangnya. Hujan lebat malam ini sangat menguntungkan bagiku karena aku bisa mengelabui Reis dengan mudah. Tubuhku sudah setengah basah. Payung besar yang kubawa tidak cukup untuk menampik angin kencang malam ini. Aku membawa dua kantung plastik besar di tangan kananku, sementara tangan kiriku masih memegang payung besar ini.
Aku membawa langkahku menuju teras belakang rumah. Kulihat semua ruangan sudah gelap. Namun, ada juga beberapa ruangan yang diterangi dengan lampu temaram. Aku meletakkan kantung plastik yang ada di genggamanku ini di atas lantai, kemudian aku mengambil tangga kayu yang tergeletak di halaman sebagai perantara agar aku bisa naik ke atas balkon kamar Amaya.
Kubawa tangga itu dengan kedua tanganku, sementara payung yang tadi kugenggam segera kuselipkan diantara leher dan pundakku. Kusandarkan tangga kayu ini di tembok yang terhubung ke balkon kamar Amaya yang ada di lantai atas. Setelah memastikan tangga ini sudah kokoh di pijakannya, aku segera mengambil dua kantung plastik besar yang tergeletak di lantai untuk kubawa naik ke atas.
Aku agak kelimpungan membawa kantung plastik berisi kue ulang tahun dan properti yang ada di tanganku ini. Aku harus menyeimbangkan tubuhku agar tidak terjatuh di pijakan tangga yang licin ini. Payungku pun masih terselip di leherku karena tanganku yang satunya, kugunakan untuk memegang erat pinggiran tangga agar tubuhku tetap seimbang.
Aku mempercepat langkahku sebelum hujan bertambah deras. Aku tidak ingin merusak kue ulang tahun yang sudah kupesan khusus untuk Amaya. Dengan sigap kuletakkan kantung plastik besar di atas lantai begitu aku sudah berhasil berpijak di depan balkon kamar Amaya. Kulihat lampu kamarnya sudah gelap. Kuyakin Amaya pasti sudah bermain-main di alam mimpinya.
Aku tersenyum bangga karena telah berhasil lolos dari Reis yang sangat galak itu. Biasanya ia akan menggonggong keras bila mendengar suara-suara mencurigakan. Beruntungnya, suara gemericik hujan membuatnya enggan keluar dari sangkarnya.
Aku pelan-pelan mengeluarkan semua properti dari salah satu kantung plastik besar yang kubawa. Baju, sepatu, aksesoris serta semprotan pewarna rambut. Aneh rasanya bagiku harus menggunakan semua properti ini, tetapi Amaya pasti sangat menyukainya. Ia sangat tergila-gila dengan K-Pop. Mulai dari koleksi kaset, artikel bahkan poster beberapa boyband dan girlband terpajang rapi di dinding kamarnya. Tidak hanya itu, cara berpakaian dan gaya rambutnya pun mirip dengan salah satu girlband korea. Entahlah aku tidak ingat nama artis korea itu.
Aku jadi teringat sesutu tentang Amaya. Tepatnya kejadian satu tahun lalu di hari ulang tahunku. Saat itu aku dibuat panik olehnya. Tiba-tiba saja ada seseorang yang meneleponku kemudian memberi kabar bahwa Amaya telah diculik. Aku mendengar suara Amaya lirih dari balik telepon itu. Disela-sela percakapan kami, aku mendengar lelaki dengan suara berat menyela percakapanku dengan Amaya. Lelaki itu mengancamku untuk tidak melaporkan kejadian ini kepada pihak berwajib dan apabila aku tetap melakukan itu, nyawa Amaya taruhannya.
Mau tidak mau aku mengikuti interupsinya. Dengan perasaan panik dan khawatir, aku menyusul Amaya yang sedang disekap di salah satu gedung kosong yang tidak jauh dari rumah kami. Saat itu yang ada dipikiranku hanyalah keselamatan Amaya. Aku tidak ingin kehilangannya. Aku mencintainya. Sahabat kecilku yang berhasil membuatku jatuh cinta padanya. Gadis mungil bermata cokelat, berwajah oval, berambut panjang berwarna putih ala girlband korea - Amaya Reinhard. Ia telah mencuri hatiku sejak kami berusia sepuluh tahun, tepatnya pertemuan pertama kami. Aku melihatnya menangis sendiri di tengah hujan lebat. Wajahnya pucat kedinginan. Saat itu aku menghampirinya untuk memberikan mantel tebal yang kugunakan. Ternyata ia kehilangan arah jalan pulang karena baru hari itu ia pindah rumah yang kebetulan bersebelahan dengan rumahku. Untuk pertama kalinya aku merasa jantungku berdebar kencang begitu melihat mata indahnya.
Begitulah kira-kira kenangan pertamaku dengn Amaya. Baiklah, aku akan lanjutkan cerita tentang penculikan itu. Aku berlari sepanjang jalan menuju gedung itu. Tubuhku mulai mengeluarkan keringat dingin. Pikiranku kacau. Disatu sisi aku takut penculik itu mencelakakan Amaya, tetapi disisi lain aku juga takut penculik itu melukaiku. Aku memejamkan mata kemudian menghembuskan nafas kencang. Tanganku sudah mengepal sejak tadi, darahku pun sudah mulai naik. Saat itu aku tidak berfikir untuk meminta bantuan oleh siapapun. Aku masuk ke dalam gedung kosong itu sendirian.
Aku sudah masuk ke dalam. Tempat itu sangat gelap dan bau. Aku mencari anak tangga untuk membawaku ke atas atap gedung ini. Penculik itu mengatakan bahwa ia menyekap Amaya di atas sana. Aku segera melangkah menaiki anak tangga begitu sudah menemukannya. Setelah tiba di anak tangga terakhir, aku mengendap-endap menuju pintu yang akan membawaku ke luar atap sana. Kubuka pelan-pelan pintu itu. Kulihat di luar sana sangat sunyi. Tidak ada satupun orang di luar sana. Kutelusuri bola mataku ke seluruh penjuru. Hingga akhirnya aku menemukan Amaya sedang duduk bertumpu dengan tangan diikat kebelakang dan mulut tertutup sapu tangan.
Jantungku bergedik melihatnya. Wajahnya penuh darah dan memar biru. Baju yang ia kenakan sudah basah oleh keringat dan air matanya. Tanpa berfikir lagi, aku segera menghampirinya.
"Amaya." Aku memanggilnya agar ia melihat ke arahku.
Kulihat tatapan penuh pengharapan dari matanya. Aku berhasil tiba dihadapannya. Kubuka ikatan pada mulutnya, kemudian aku membuka ikatan tangannya. Aku tidak perduli bila penculik itu tiba-tiba muncul lalu menghajarku.
"Maafkan aku Amaya, aku terlambat menyelamatkanmu. Apa yang sudah mereka lakukan padamu? Kenapa bisa terjadi seperti ini?" Aku melontarkan pertanyaan bertubi-tubi.
Amaya diam saja sambil menatapku. Aku tidak tahan melihat wajahnya yang membiru dihadapanku. Dengan sigap kubawa tubuhnya ke dalam pelukanku. Sungguh aku menyesal tidak bisa menjaganya dengan baik. Aku sangat panik karena ia sama sekali tidak bersuara. Pikiran burukku mulai merajalela. Aku semakin memeluk erat tubuhnya untuk menghilangkan pikiran buruk yang ada di kepalaku. Baru saja aku hendak membawanya pergi dari tempat itu, suara ledakan confetti terdengar nyaring di telingaku. Saat itu juga Amaya tertawa terbahak-bahak di depan wajahku.
"Happy birthday, Jun." teriak Amaya di depan wajahku.
Aku terperangah melihat sudah banyak orang yang mengelilingi kami. Satu lagi, kue ulang tahun besar juga ikut serta dalam rencana Amaya.
Kira-kira seperti itulah kejahilan Amaya yang tidak pernah kulupakan. Aku selalu kalah bila berurusan dengannya. Bagaimana tidak, ia sudah tahu bahwa aku akan melakukan apapun untuknya. Apalagi sudah berkali-kali aku mengatakan cinta padanya, walaupun ia selalu meresponnya dengan candaan. "Kamu tidak akan pernah bisa mendapatkan hatiku, Jun." Amaya mengatakan itu sambil merangkulku dengan manja saat aku lagi-lagi mengatakan cinta padanya. Ia tertawa puas melihat wajahku yang memelas.
Aku mendengar suara petir menggelegar di atas langit sana. Aku tersadar dari lamunanku tentang Amaya. Kini aku masih berada di balkon di depan kamar Amaya untuk memberikan kejutan ulang tahunnya yang ke dua puluh. Aku senyum-senyum sendiri setelah mengingat-ingat tentang kenanganku yang berhubungan dengan Amaya. Kulihat jam tanganku, waktuku tinggal sepuluh menit lagi. Aku segera mengambil handuk yang ada di dalam plastik untuk mengeringkan rambutku yang sedikit basah oleh terpaan angin yang membawa air malam ini. Rambutku harus benar-benar kering agar semprotan pewarna rambut yang kubawa bisa menempel sempurna di rambutku.
Aku masih mengusap-usap rambutku sambil melangkah mendekati jendela besar kamar Amaya. Kuletakan telingaku di kaca ini. Aku ingin memastikan kegiatanku ini tidak mengganggu tidurnya. Lebih tepatnya aku tidak ingin ia menyadari kehadiranku disini. Karena bila itu terjadi, semua rencanaku bisa berantakan. Aku memejamkan mataku seraya fokus dengan indera pendengaranku. Berhasil, aku tidak mendengar apa-apa di dalam. Amaya pasti masih terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaya
Short StoryJunior Gilbert jatuh cinta kepada sahabatnya bernama Amaya Reinhard. Malam itu, Jun sengaja membuat pesta kejutan kecil-kecilan untuk Amaya di hari ulang tahunnya yang ke dua puluh. Tidak ada yang menyangka, di tengah-tengah hujan lebat, tepat jam d...