Part 2

23 0 0
                                    

Aku masih disini. Di depan balkon kamar Amaya. Aku sudah mengeringkan rambutku dan memakai rapi pakaianku. Bila dilihat, penampilanku sudah mirip boyband kesukaannya. Tunggu sebentar, aku lupa menyemprotkan pewarna rambut yang sudah kusiapkan untuk menyempurnakan penampilanku. Kusisir terlebih dahulu ranbutku ke atas, kemudian pelan-pelan kusemprotkan pewarna rambut ini. Aku tertawa sendiri di depan cermin kecil yang kubawa, saat melihat sebagian rambutku berwarna kuning terang. Kurasa aku memang cukup tampan bergaya seperti ini.

Hujan lebat malam ini benar-benar menguntungkan bagiku. Segala aktivitas yang kulakukan tidak terdengar sedikit pun karena semuanya masih kalah dengan suara gemericik air hujan dan petir di atas sana. Aku selesai menyemprotkan semua pewarna ini di rambutku. Sentuhan terakhir adalah sepatu boots kesayanganku. Sepatu ini khusus diberikan oleh Amaya di hari ulang tahunku. Ia mengatakan, sepatu ini sama persis seperti sepatu yang digunakan oleh salah satu personel boyband kesukaannya. Entahlah, kurasa Amaya mempertaruhkan uang simpanannya untuk membeli hadiah ini untukku.

Aku agak memipir sedikit ke depan kaca jendela untuk memakai sepatuku, karena ujung balkon ini sudah mulai basah oleh cipratan air dari atas atap. Sepatu ini agak kesempitan di kakiku, tetapi aku harus memakainya karena aku tidak ingin mengecewakan Amaya. Setelah susah payah memasukan sepatu ini di kedua kakiku, aku segera bangkit dari tempatku.

Kupastikan lagi semua baju, celana, jaket dan aksesoris yang kupakai sudah melekat semua di badanku. Aku melihat bayanganku di kaca jendela kamar Amaya. Aku benar-benar sudah kehilangan akal malam ini. Bayangkan saja, aku susah payah berdandan seperti ini hanya untuk membuat orang yang aku cintai bahagia. Padahal belum tentu juga Amaya menyukai kejutanku ini. Kuharap dugaanku salah, kuharap Amaya menyukainya.

Aku mendengar suara petir semakin keras di atas sana. Aku segera mengeluarkan kue ulang tahun yang ada di plastik satunya. Syukurlah, Oreo Chesse Cake kesukaannya tidak berantakan di dalam sana. Aku menyusun lilin-lilin kecil di sepanjang bulatan kue yang ada dihadapanku. Setelah semua lilin tersusun rapi, aku menambahkan angka dua puluh di tengah kue yang bertuliskan 'Happy Birthday My Love'. Aku memang lelaki yang terang-terangan. Niatnya malam ini pun aku tidak hanya memberinya kejutan ulang tahun untuknya, tetapi aku akan melamarnya menjadi tunanganku. Semoga saja Amaya menerima lamaran gilaku ini.

Astaga. Lagi-lagi aku teringat kembali pada saat Amaya mencium pipiku untuk yang pertama kalinya. Kejadian itu terjadi pada saat malam prom night kelulusan kami. Tanpa ragu Amaya mengecup pipi kananku, waktu aku memberikan seikat bunga mawar merah padanya. Malam itu ia terlihat cantik dengan gaun berwarna peach selutut disertai High Heels sembilan senti-nya. Rambut curly-nya diikat tinggi ke atas, lalu ia biarkan poni rambutnya terurai bebas di depan wajahnya. Aku terdiam kaku dihadapan Amaya. Mulutku seakan terkunci rapat. Aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja aku terdiam setelah ia mendaratkan kecupan itu.

Aku senyum-senyum sambil memegang pipiku seakan-akan kecupan itu masih terasa hingga saat ini. Lagi-lagi aku terhanyut kembali di dalam pikiranku. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku agar aku kembali fokus pada kue ulang tahun Amaya yang ada di hadapanku ini. Kulihat jam tanganku, dua menit lagi tepat jam dua belas malam. Aku merapihkan semua barang-barang yang sudah tidak kugunakan. Aku meletakkan semua barang-barang itu di sudut balkon. Aku menarik nafas berulang-ulang untuk menghilangkan rasa gugup. Setelah memastikan jarum panjang tepat berada di angka dua belas, aku segera menghampiri pintu yang mengarah ke dalam kamarnya.

Pelan-pelan aku membuka engsel pintu ini. Sudah kuduga, Amaya tidak akan mengunci pintu balkonnya. Ia adalah salah satu kebiasaan buruknya. Aku segera membuka pintu. Kupastikan tidak ada suara pintu yang berdecit karena aku membukanya perlahan-lahan. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Ruangan ini sangat gelap, bahkan kurasa Amaya lupa menyalahkan lampu tidurnya. Aku masih mengendap-endap di dalam kamar sini. Aku merasakan ada sesutu yang tidak sengaja kutabrak. Seingatku, Amaya tidak pernah menaruh barang di tengah sini. Aku benar-benar tidak bisa melihat keadaan di ruangan ini. Cahaya lilin yang berasal dari kue dihadapanku belum cukup memperjelas penglihatanku. Aku merogoh saku celanaku untuk mencari ponselku. Setelah kudapatkan, aku segera menyalakan lampu di ponselku untuk mencari tombol lampu ruangan ini.

Aku berjalan ke arah lemari besar milik Amaya untuk menyalakan tombol lampu yang ada di samping lemari itu. Aku merasa ada sesuatu yang aneh disini. Tidak biasanya Amaya membiarkan kamarnya berantakan. Baju tergeletak dimana-mana, kursi meja rias tidak pada tempatnya, beberapa posternya berjatuhan dan sobek. Aku harus segera menyalakan lampunya agar aku bisa melihat jelas keadaan di dalam sini. Dengan sigap, kutekan tobol lampu yang ada di samping lemari.

Aku berbalik ke belakang untuk melihat Amaya yang tertidur di ranjangnya. Buluku bergedik, nafasku tercekat, pijakan kakiku lemah. Sontak aku menjatuhkan kue ulang tahun yang ada di tanganku saat melihat Amaya tertidur dengan selimut berlumuran darah di ranjangnya. Oreo Chesse Cake yang barusan ada di genggamanku berantakan di atas lantai. Lilin-lilin yang tadi menyala pun seketika padam. Aku berlari menghampiri Amaya di ranjangnya. Kulihat wajahnya sangat pucat. Aku mengguncang-guncang tubuh Amaya yang terkulai lemah di atas ranjang. Aku mencium aroma darah segar dari dalam selimutnya. Baju tidur Amaya kini sudah berlumuran darah. Kucari urat nadinya untuk memastikan detak jantungnya. Tubuhku merinding begitu menyadari sudah tidak ada nadi yang berdenyut di tubuhnya. Suhu tubuh Amaya sudah mulai dingin.

Aku tidak bisa menerima apa yang telah terjadi dihadapanku. Aku masih mengguncang-guncang tubuh Amaya sambil menyebut namanya. Aku masih berharap ini adalah salah satu kejahilannya lagi padaku. Aku tidak tahan. Air mataku sudah tumpah sedari tadi. Aku memeluk erat Amaya di dalam dekapanku. Semua ini tidak boleh terjadi. Aku rasa aku sedang bermimpi. Suara petir di atas sana seraya menyertai suara teriakanku di dalam sini.

AmayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang