Tukang Pukul

5 1 0
                                    

    Pelajaran teori selalu menjadi membosankan ketika aku sedang dilanda banyak fikiran. Makello mensejajarkan langkahnya demi berceloteh tentang seberapa jauh jarak yang aku tempuh setiap hari. Dan tidak baik bagi perkembangan psikologinya yang melihat aku bersepeda.

"oke kalau kamu nggak mau dengerin." Makello pergi meninggalkan ku. Suatu kebetulan langka ketika Makello meninggalkan ku sendirian, kami telah bersahabat sejak kecil dan Makello tidak pernah membiarkan ku berjalan sendirian.

"Hallo Jane, aku sangaatt ingin memakanmu" sebuah ulat daun gemuk berwarna hijau mengeliut di tangan Makello memberontak ingin pergi. Aku menjerit sejadi jadi nya sambil berlari sekuat tenaga. Suara gelak tawa Makello mengikuti setiap langkahku.

    Makello menahan tangan ku dan mengoyang goyangkan ulat itu di dekat wajahku hingga sebuah tangan melayang ke wajah Makello dan membuat ulat itu terpental jauh ke angkasa. Aku menutup mulut ngeri karena Xavier duduk di atas perut Makello sambil memukulinya berkali kali. Aku menjerit dan menarik Xavier menjauh. Namun sia sia karena Xavier begitu kuat. "Hentikan! Apa apan kamu!" aku tidak putus asa dan masih menarik narik lengan Xavier. Dia berhenti lalu berdiri. Makello terkulai lemas di lantai dengan darah di hidungnya. Aku membantu Makello berdiri dan memberikan tatapan benci ke arah Xaveir. Sumpah. Dia memang stalker.

    Aku keluar dari ruang kesehatan dan mendapati Xavier duduk di ujung koridor sambil mengepalkan tangan nya. Bahkan dari kejauhan ketampanan nya tidak berkurang sedikitpun. Aku mengguncangkan kepala untuk sadar, lalu berjalan ke arahnya.

"aku minta maaf. Aku tidak tahu kalau kalian hanya bercanda" Xavier menatap ku cemas. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran pria ini sebenarnya. Kenal saja tidak. Tapi kenapa aku merasa kita sudah saling kenal.

"kamu sebenarnya keterlaluan! Untung saja leo tidak memperpanjang masalah ini karena aku bilang aku mengenal mu. Kenapa kamu selalu berada di sekitarku?" aku duduk di sebelah Xavier. Memberinya kesempatan untuk menjelaskan.

"aku tau, aku tau" Xavier menyisirkan tangan ke rambut coklat gelapnya. "Aku hanya emosi. Aku kira dia melecehkan mu atau sesuatu. Kamu tau saat di lampu merah, jadi aku fikir sejenis itu" dia mengosok kan tangan ke bibirnya, seperti menimang sesuatu.

"aku ingin mengenal mu lebih jauh." Akhirnya kalimat itu membuat jantung ku berdegup kencang. Aku terdiam. "kamu hanya perlu bilang berhenti untuk mendekati ku, dan detik itu juga aku akan menjauh. Tapi beri aku kesempatan" wajah nya penuh harap. Aku memalingkan wajah. Bukan karena tidak mau, tapi wajahku yang sekarang terasa amat panas. Tidak ada satu pria pun yang pernah seperti ini padaku. Aku menoleh ke arahnya lagi.

"baiklah" aku mengangguk pelan. Dia tersenyum, aku menoleh lagi. Bahkan senyuman nya saja membuat wajah ku terbakar. Dia mengeluarkan handphone nya "aku mau nomor mu" dia tersenyum kembali, kali ini dengan sedikit genit. Aku tidak bisa menyembunyikan wajah senang ku. Dan mengetik beberapa digit. Lalu mensave nya. Tiba tiba handphone nya bergetar dan sebuah nama muncul 'abraham' aku langsung menyerahkan handphone nya. Dia menjauh dan mengganguk sesekali dan mengatakan "Sebentar lagi". dia menyudahi telfon nya dan berjalan ke arah ku. "aku harus pergi" katanya. "kemana?" tanya ku iseng. "Ke kantor, aku harus mengurus sesuatu" aku sedikit kaget mengetahui dia sudah kerja. Aku fikir dia mahasiswa tingkat akhir. Dia menyadari keterkejutan ku. Lalu tersenyum "tenang saja, umur kita tidak beda jauh" dia mengedipkan matanya. "nanti aku hubungi lagi ya" dia melambai sambil berlari kecil meninggalkan ku.

"Kamu sudah bicara dengan si brengsek itu?" tanya Makello yang sering aku panggil Leo.

"sudah. Dan namanya Xavier" Leo memutar bola matanya sebal.

"ini hanya salah paham. Ayolah, nanti aku akan masak kesukaan mu" ekspresi Leo berubah jadi sedikit cerah.

Aku merebahkan diri di atas kasur yang empuk sambil mengusap kepala pelan. Hari ini begitu melelahkan, di tambah dengan memasak di apartement Leo agar dia merasa baikan. Apartement kami berhadap hadapan. Dan memasak untuk Leo adalah salah satu kebiasaan ku sejak dulu. Kring handphone ku berbunyi. Aku mengeceknya dan ada satu pesan.

+23112XXX :

Hai Jane, ini aku. Xavier :)

Aku tertawa melihat simbol di akhir pesannya. Aku menyimpan nomor nya segera.

Me :

Hai tukang pukul.

Xavier :

Hahah, lagi apa?

Me :

Memikirkan Makello yang kesakitan.

Xavier :

Aku tidak suka itu :(

Aku tertawa lagi melihat emoticon nya. Entah kenapa itu menjadi sesuatu yang lumayan lucu.

Xavier :

Besok kamu senggang? Ayo jalan jalan :)

Me :

Kemana?

Xavier :

Mungkin kita bisa pergi makan, atau kemanapun yang kamu mau. Kamu suka tempat seperti apa?

Me :

Kedengarannya asik. Aku selesai kuliah jam 12 siang.

Aku mengirim pesan. Sebuah simbol silang muncul, aku teringat pulsa ku tidak begitu banyak. Aku mengeluh dan melempar ponsel jauh jauh. Aku mencuci muka dan mengganti baju dengan baju kaos dan celana spandek longgar yang sangat pendek. Nyaris seperti celana dalam. Kenyamanan saat tidur adalah nomor satu.

Sebuah cahaya muncul dari pojok kasur ku. Aku meraih hp dan mendapati tiga pesan dan dua panggilan tak terjawab dari Xavier,

Xavier :

Bagaimana?

Xavier :

Tik-tok tik-tok

Xavier :

Aku di bawah.

Aku melompat dari kasur. Dia sudah di bawah? Bagaimana mungkin dia datang begitu cepat. Sebuah ketukan terdengar. Aku tergopoh gopoh berjalan ke pintu dan membuka kan pintu. Aku menutup mulut kaget. Dia benar benar di depan pintu ku sekarang. Berdiri. Sama mematung nya dengan ku. Tapi dia melihat ke bawah. Aku tersadar hanya memakai celana yang begitu pendek dan meraih mantel di belakang pintu untuk menutup kaki ku.

"kenapa kamu kesini?" aku berbisik sambil membuka pintu lebih besar agar dia segera masuk.

"Aku hanya mampir sebentar. Bagaimana dengan besok?" tanya nya sambil melirik ke sekeliling kamar ku yang tidak begitu banyak isi nya.

"Apa kamu gila?" Xavier berhenti dan menoleh ke arah ku. Keningnya berkerut tak suka di panggil gila mungkin.

"Ini sudah tengah malam. Dan kamu jauh jauh kesini hanya untuk bertanya apakah besok aku ada waktu?" volume suara ku semakin tinggi.

"iya. Karena kamu nggak balas pesan ku sih" jawbanya polos. Seperti anak kecil.

"ya ampun Xavier. Apa kamu tidak bisa sabar hingga besok pagi? Pulsa ku habis, makanya nggak bisa balas" aku menurunkan volume suara.

"nggak bisa. Jadi besok jam berapa?" tanya Xavier lagi dengan wajah polos. Aku menghembuskan nafas panjang.

"Aku selesai kuliah jam 12 siang" Xavier mengangguk senang. Mata nya terhenti pada sebuah bingkai kecil di pinggir meja belajar ku. Disana ada aku, Dad, Mom, Dustin, dan Craig. Kami tertawa bahagia di pinggir pantai sambil saling berpelukan.

"little Jane" bisiknya nyaris tidak terdengar. "baiklah, aku jemput besok jam 12. Sampai jumpa Jane" Xavier berjalan dan menutup pintu.





JANGAN LUPA VOTE AND COMENT MUAHHH

Traffict LightsWhere stories live. Discover now