Lana masih terdiam, masih memandangi wajah Dito. Dari Dito, dia belajar tentang bagaimana menjadi teman yang baik, bagaimana cara menghadapi masalah, dan yang terpenting dari Dito dia tahu bagaimana rasanya jatuh cinta, lagi.
Tidak, Lana masih tidak mau berharap banyak tentang yang akan Dito katakan pagi ini.
Dito terlihat gelisah ditempat duduknya, diusap wajahnya yang penuh keringat. Masih tetap terdiam dengan segala pikiran di otaknya, dia kembali menatap Lana, yang sudah keringat dingin karena ucapan Dito yang akan membahas 'kita'.
"Astaga, Lana gue bingung harus mulai darimana" ucap Dito terdengar frustasi.
Berkali-kali digaruk belakang kepalanya, yang Lana yakin tidak gatal. Dalam hati Lana terkikik melihat sisi lain dari Dito yang belum pernah di lihatnya.
"Oke, Lana lo tau? Lo udah menyakiti harga diri gue sebagai cowok." Ucapan Dito yang tersengal-sengal itu membuat Lana menyerngit.
Apa-apaan, batin Lana.
"Lo menyatakan perasaan lo ke gue duluan, itu udah menyakiti harga diri gue. Dan gue dengan bodohnya cuma diem dan nggak berkutik."
Lana masih terdiam mencerna kata-kata yang dikeluarkan oleh Dito. Menunggu Dito menyelesaikan apa yang ingin disampaikan dan apa yang ingin dia dengar.
"Semaleman gue memikirkan pernyataan lo sore itu—oke nggak semaleman, tapi beberapa malam belakangan ini, sampai akhirnya malem kemarin gue berani nemuin lo saat lo baru balik, entah darimana gue juga masih penasaran." Jelasnya.
Benar, semenjak pernyataan Lana sore itu, Dito juga belum menemui Lana sampai akhirnya malam kemarin tiba.
"Dan sialnya yang terucap dari mulut gue adalah kekhawatiran bunda lo. Gue mengutuk diri gue karena gue yang khawatir dan bunda lo nggak ngomong apa-apa ke gue." Lanjutnya masih dengan wajah yang sama gelisahnya seperti Lana.
Lana tersenyum tipis mendengar penuturan yang dikatakan Dito. Dia sudah tahu kemana arah pembicaraannya bersama Dito ini.
Dia tenang. Dia lega.
"Maafin gue ya, gue shock denger pernyataan lo." Suara Dito melembut, tangan yang tadinya berada diatas bangku menjalar, meraih salah satu tangan Lana.
Lana terkesiap, tidak menyangka dengan gerakan yang Dito lakukan. Namun tidak juga menolak perlakuan yang Dito lakukan. Dia menatap tangannya yang sudah digenggam oleh Dito. Manis sekali, batinnya berteriak.
"Lana, gue tau, gue bersikap pengecut kemarin. Tapi lo harus tau, kalau lelaki pengecut ini sangat menyayangi lo. Jauh sebelum lo merasakan cinta pertama lo dengan anak komplek sebelah." Tutur Dito dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan.
Senyumannya penuh pertanyaan bagi Lana. Namun pernyataannya tatkala membuat Lana tersenyum haru. Dito sudah membalas perasaannya sejak ia masih menangisi cinta pertamanya saat SMP.
Lana mendongak menatap mata Dito dalam, mencari kesungguhan yang sudah terlihat jelas dimatanya. Lana menghela nafas lega, yang membuat Dito tersenyum hangat dan menggenggam tangannya lebih erat lagi. Mereka tidak bisa mengeluarkan suaranya, hanya kekehan yang keluar dari mulutnya.
Mata Lana berkaca-kaca, ditundukan kepalanya berharap Dito tidak melihat kalau dia baru saja meneteskan air matanya, lalu menghapusnya cepat.
Dito menghentikan gerakan tangan Lana, lalu mendongakan kepalanya agar melihat kearahnya.
Dihapusnya jejak bekas air mata Lana yang masih tersisa, "Jangan nangis," ucap Dito dengan tersenyum, Lana menyukai lelaki ini ketika tersenyum.
Mereka sama-sama tertawa bahagia, entah sudah tidak tahu apa yang akan mereka bicarakan lagi setelahnya. Mereka tidak sadar kalau saja banyak yang melihatnya dengan pandangan penasaran.
"Lalu apa?" Lana bertanya disela-sela tertawanya bersama Dito, yang membuat mereka berdua semakin geli dengan tingkah mereka masing-masing.
Untuk mengetahui perasaan seseorang memang harus ditanya kan? Memastikan bukan hanya lewat perlakukan, terkadang pertanyaan juga sangat di perlukan.
[END]

KAMU SEDANG MEMBACA
Spekulasi Remaja
Short StorySatu dari sembilan anak remaja, selalu memiliki pemikiran yang matang, dan berani. Namun, apa seseorang yang menjadi tujuan pemikirannya cukup siap menerimanya? But, who knows?