9: True Colors

962 289 593
                                    

"Hoekk! Uhuk, uhuk... Hoekk!!"

"Din..." Reinar mengetuk pintu kamar mandi. "Udah belum muntahnya?"

Aku terkulai lemas di lantai kamar mandi. Gado-gado pedas yang baru saja kumakan telah membuatku sakit perut. Perutku mual seperti diombang-ambing kapal laut, keringat dingin mengucur deras membasahi wajahku, dan lidahku terasa terbakar sejak tadi walaupun aku sudah minum dua gelas es teh.

"Din, jawab dong. Gue khawa—"

"Hoeekk!!!" Aku muntah, lagi, entah untuk ke berapa kalinya. Kudengar Reinar menghela napas di balik pintu.

"Nadine, tolong bolehin gue masuk. Gue bakal bantuin lo. Gue bisa pijat leher lo, tepuk-tepuk punggung lo, atau bantu mencetin tombol flush. Apa aja yang lo mau bakal gue lakuin," mohon Reinar.

"Lo bahkan harusnya nggak boleh di sini. Ini kan toilet cewek." Aku mengelap mulutku dengan tisu. "Kalau ada ibu-ibu datang, pasti lo diusir."

"Bodo amat. Gue bakal nunggu di sini sampai lo mau keluar. Mau satu jam kek, atau dua jam. Nggak masalah, gue bakal setia nunggu lo di sini."

Tanpa membalas perkataan Reinar, aku bangkit berdiri dan menekan tombol flush.

Reinar sedang berdiri tepat di depan pintu kamar mandi saat aku membuka pintu. Raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran sekaligus lega saat melihatku keluar. "Gue bawa air mineral, barangkali lo mau kumur," katanya sambil menyodorkan sebotol air mineral.

Aku tersenyum kecil dan mengambil air mineral dari tangan Reinar. "Thanks." Aku berjalan menuju wastafel dan kumur dengan air mineral yang diberikan oleh Reinar.

Reinar menyandarkan badannya di panel pintu dengan tangan terlipat di dada. Matanya memerhatikanku dari pantulan cermin wastafel. "Gue minta maaf karena udah maksa lo makan gado-gado pedes. Gue nggak tahu lo bakal muntah-muntah separah ini. Mungkin gue harus mempertimbangkan kalau..." Reinar menggaruk tengkuknya. "Mungkin tradisi itu harus dihilangkan."

Aku memuntahkan air kumur dari mulutku. Perlu empat kali kumur untuk menghilangkan bau amis di mulutku. "No, it's okay. Seru kok tradisinya. Gue aja yang nggak tahan makanan pedas," jawabku. Aku menyalakan keran dan mencuci wajahku dengan air keran.

"Gue harap lo nggak marah ke gue. Tapi seandainya lo mau marah, nggak apa-apa, lo punya hak untuk itu," ucap Reinar dengan nada bersalah.

Aku mematikan keran air. Air menetes dari daguku selagi kepalaku tertunduk.  Tanganku merogoh tempat tisu yang tertempel di dinding, namun ternyata isinya kosong. Tak ada selembar tisu pun di sana. Sial, pikirku. Aku menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mataku. Nyesek rasanya kalau di PHP-in tempat tisu.

Akhirnya aku membalikkan badan dan menatap Reinar. "Lo punya tisu?"

"Bukannya di situ ada tisu?" Reinar balas bertanya sambil menunjuk tempat tisu dengan dagunya.

"Habis," jawabku. "Masa gue ngeringin muka pake hand-dryer."

Reinar mendesah pelan. Ia mengeluarkan sekantong tisu bergambar Hello Kitty dari saku celananya, kemudian mengambil langkah mendekatiku. "Jangan ketawa," ucapnya saat melihat ekspresi wajahku yang sedang menahan tawa.

"Ekhem," aku berdeham dan memasang wajah serius. "Gue bisa ngelap muka gue sendiri kok. Kasih gue tisu-nya aja."

"Percaya deh Din sama gue. Kalau gue yang ngelap, entar tisu-nya ada khasiatnya gitu, jadi bisa nyerap air lebih banyak. Apalagi kalau ngelapnya pake perasaan, bisa lebih maksimal lagi," balas Reinar sambil memasang wajah meyakinkan—mirip mbak-mbak yang lagi promosiin Tupperware. "Tau sendiri deh Din, tangan gue kan mahal."

Tentang ReinarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang