Di dalam gedung tua yang tidak terpakai lagi, jendela besar tanpa gorden yang membiarkan cahaya bulan mengintip kedalam misterinya. Menerangi panca indra lelaki muda itu, lelaki muda dengan ekspresi ketakutan dan tubuh penuh luka.
Lelaki itu berlari dengan kaki telanjangnya, deru nafasnya mengiringi setiap langkahnya.
"Hhh!"
"Huff-ah!"
"Hahh! Hhh"
'Apa ia mengejarku?' Pikir lelaki muda itu dengan terus memacu langkahnya, memaksa paru-parunya meraup oksigen sebanyak-banyaknya.
Lantai koridor gedung tua yang sunyi menerbangkan debunya ketika lelaki itu melesat, udara dingin semakin mencekik suasana hatinya. Semakin jauh ia berlari, ia pun menemukan pintu. Pintu yang sama tuanya dan terdapat bercak-bercak tangan manusia.
"Sial! Kenapa tidak bisa di buka?!", jeritnya parau.
Ia pun berlari lagi mencari jalan keluar, Kakinya gemetar. Tubuhnya sudah terlalu banyak kehilangan darah, namun matanya masih memancarkan harapan. Rambut cepak coklatnya semakin berantakan dan basah oleh keringat, tanpa memakai atasan, celana katunnya di penuhi bercak darah yang menghitam.
Berhenti sejenak untuk mengistirahatkan kakinya, ia sesekali menengok kebelakang jika saja ada sosok yang harus ia hindari itu muncul.
Dalam hening yang ditemani deru nafas dan suara tetesan darah dari tubuhnya, ia tidak dapat mengingat bagaimana ia dapat berada digedung ini, ia juga tidak ingat akan namanya sendiri.
Deru nafasnya menjadi tidak karuan, suhu udara semakin turun. Ia pun memeluk dirinya sendiri, berpikir itu dapat menghangatkan. Namun tidak berhasil sama sekali, tapi ia tetap melakukannya.
Suara langkahnya menggema dilorong remang-remang itu, ia yakin lorong panjang yang tidak diketahui ujungnya ini tidak mungkin menghasilkan suara menggema. Ia mempercepat langkahnya, seakan semakin yakin kalau ada yang mengikutinya. Tebakannya tepat, suara langkah yang menggema tadi menjadi suara langkah 2 orang yang berbeda.
Ketika ia akan melewati suatu ruangan dengan pintu yang terbuka, terdengar suara melodi dari piano.
Tiba-tiba Ia limbung, lelaki muda itu kehilangan keseimbangannya. 'Jatuh begitu saja setelah mendengarkan hantu memainkan piano?' Lelaki muda itu menertawakan dirinya sendiri karena pemikiran konyolnya di situasi hidup dan mati seperti ini.
Namun, senyumnya hilang ketika ia tidak dapat menggerakkan salah satu kakinya dan melihat darah serta potongan kaki tergeletak beberapa meter di depannya.
Suaranya yang parau menjerit nyaring, terseok-seok di atas genangan darahnya sendiri. Mencoba kabur dari sesuatu yang baru saja memisahkan bagian tubuhnya.
"Kakak!"
Gema suara imut anak kecil mengejutkannya, membuatnya semakin gencar mencoba bangun dengan salah satu kakinya. Seakan tidak peduli dengan sosok di belakangnya, yang memegang sebilah pedang panjang yang mengkilat dan memantulkan cahaya bulan. Menyilaukan mata, namun sangat cantik.
"Ayo kita bermain! Kamu mau bermain denganku?", sosok bersuara imut itu mendekat dan berjongkok di hadapan lelaki sekarat itu, ia memakai kostum kelinci berbulu imut... yang di selimuti darah.
Lelaki muda itu terpaku, wajah pucatnya di penuhi buliran keringat dingin. Ia mundur, berteriak lirih meminta tolong. Berharap ada yang mendengarkannya, berharap ada yang membangunkannya dari mimpi buruknya.
'Tolong aku! Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati!'
Ia terus mengulangi kata itu di pikirannya seperti kaset rusak, ia merangkak dan merangkak. Berharap dapat meninggalkan sosok kelinci penuh darah itu, namun sayang... Ada kelinci lain menunggu didepannya sambil berjongkok dan memegang kamera.
"Adikku? Mau sampai kapan kamu bermain dengan kancil ini?", kata kelinci yang memegang kamera itu. Lelaki itu menatap horor kearahnya. Lebih tepatnya, kearah kamera yang ia pegang.
'Ah, aku mengingatnya.' Pikir lelaki bersimbah darah itu, potongan ingatan berhamburan muncul. Ia ingat, ia sedang bersama temannya membuat film dokumenter tentang gedung rumah sakit tua yang sudah lama di tinggalkan. Masih diselimuti kebahagiaan dengan temannya, tapi tahu-tahu ia sudah terbangun di atas meja bedah bersama temannya... yang sudah mati.
Dia ingat dengan jelas kondisi tubuh temannya itu, siapapun yang melihatnya pasti merasa mual. Bagian atas kepalanya menganga dan otaknya hilang, namun diisi dengan organ dalam yang hancur. Sedangkan dada dan perutnya terbuka dengan paku-paku yang menarik kulitnya, memperlihatkan rongga kosong yang hanya di isi otak. Jari jemarinya tidak mempunyai kuku lagi, kaki kanannya di kuliti dan kaki kirinya dibakar.
Sembari menyambungkan potongan ingatannya, matanya perlahan-lahan menitikkan air mata. Seakan menyalahkan dirinya sendiri, lelaki muda itu tidak sadar kalau pedang mengkilat yang cantik tadi telah menempel dilehernya.
"Hai, kak! Ada kata-kata terakhir? Asal kamu tahu, kamu bintangnya malam ini", kata kelinci yang memegang kamera dan merekam bagian wajah pemuda babak belur itu. Pemuda itu hanya menjawab dengan deru nafas tak karuannya, ia sudah terlalu lemah untuk mengencangkan pita suaranya.
"Kakak, ayo katakan sesuatu pada para pemirsa! Teman mu sama sekali tidak ingin berkomentar untuk acara variety show ini, apa acara kami seburuk ini?"
Tambah kelinci yang memegang kamera itu, kemudian ia berdiri. Ternyata kelinci itu lebih besar dari pada kelinci yang memegang pedang tadi.
Lelaki itu menarik nafas dalam dan meraih kaki kelinci raksasa di depannya, kelinci itu hanya memiringkan kepalanya dan tetap merekam kearahnya.
"JANGAN BERCANDA, KEPARAT! VARIETY SHOW? KAU BILANG INI BOHONGAN? DENGARKAN AKU PEMIRSA, SIALAN! KALIAN TELAH DI TIPU! CEPAT LAPORKAN ORANG-ORANG ANEH INI DAN SELAMATKAN AKU! AKU TIDAK MAU MATI DI SINI!", teriak lelaki muda itu sambil mencekram kuat kostum kelincinya.
Kedua kelinci itu terdiam, kelinci mungil yang memegang pedang menjauhkan pedangnya dan berdiri di samping kelinci besar yang memegang kamera. Hening sesaat.
"Pu-hahahaha!", tawa kelinci besar meledak, ia menyodorkan kamera pada kelinci mungil yang terdiam.
Kelinci mungil melepaskan pedangnya, mengambil alih kamera dengan kedua tangan berbulunya. Kemudian mendekati lelaki itu dan menyodorkan kamera. Lelaki itu terdiam, wajahnya yang pucat semakin pucat.
Kamera itu mati, dari awal kamera itu tidak merekam apapun. Kamera itu juga tidak berisi data film, melainkan berisi gumpalan-gumpalan merah yang beraroma amis dan meneteskan darah.
"Aku harap kamu menikmati acara kami, kak", suara imut dari kelinci mungil membuatnya semakin ketakutan. "Its, reality show."
Tak lama berselang kesadarannya hilang, pandangannya perlahan-lahan menjadi gelap. Ia berpikir ia kehilangan kesadaran karena kehilangan darah, jadi ia pun merasa tenang seakan ingin tidur. Berpikir kalau yang baru saja terjadi hanya mimpi buruknya.
Glundung. Glundung. Glundung.
Kepala lelaki muda itu menggelinding begitu di tebas kelinci besar, darahnya mengotori kostum dan lantai berdebu itu. Kelinci mungil masih terpaku di depan tubuh tanpa kepala itu, kemudian mendongak kearah kelinci besar.
"Ayo pulang, akan ku buatkan makan malam yang enak untukmu", kata kelinci besar sambil menepuk lembut kepala kelinci mungil. Kelinci mungil berdiri, melempar kamera dengan isi organ manusia begitu saja dan membiarkan organ manusia didalamnya tumpah berserakan.
Mereka bergandengan tangan, menyanyikan lagu bernada riang yang indah seraya melompat-lompat. Kelinci mungil mengayunkan kepala lelaki muda itu dengan riangnya, kelinci besar mengayun-ayunkan pedang panjang berlumuran darah dengan riangnya juga.
Mereka menghilang di ujung lorong yang gelap, meninggalkan tubuh bersimbah darah itu dalam kesunyian. Bahkan cahaya bulan yang terang perlahan-lahan meninggalkan tubuh tak bernyawa itu, membiarkannya dalam kegelapan abadi.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Zombie's Syndrome
Mystery / ThrillerApa kau pernah tidak dapat memiliki emosi? Apa kau pernah tidak dapat merasakan yang seharusnya kau rasakan? Apa kau tahu rasanya tidak dapat merasakan apapun? Aku rasa kau juga mengidapnya, sama denganku. ...