1

21.2K 656 10
                                    

Yang diperlukan hanya melihat birunya langit dan kehidupan membosankan

Padi – padi mulai menguning dan merunduk, suara kaleng berisi batu – batu terdengar keras bersamaan dengan teriakan petani yang mencoba mengusir burung. Aku tersenyum melihat pemandangan itu, rasanya rindu sekali setelah 6 bulan hanya melihat lahan beton. Disaat siap panen seperti ini, akan terlihat seorang petani sedang duduk di bale – bale sederhana menggenggam tali rafia yang menjadi ujung dari rangkaian tali rafia yang membentang, menyilang di sawahnya. Jika petani menarik tali rafia itu, maka kaleng disetiap sudut akan berbunyi sehingga burung yang hendak memakan padi mereka kabur.

Aku mengusap peluh yang menetes dari dahi sebelum masuk ke mata. Tubuhku mulai lelah karena berjalan hampir satu kilo dari jalan raya dan masih ada setengah kilo lagi sebelum sampai di rumah. Tidak ada angkot yang lewat dan aku tidak menemukan ojek ditempat aku berhenti jadi aku hanya bisa jalan kaki meskipun lelah tapi aku juga ingin melihat – lihat lagi desaku. Aku berhenti saat ada suara motor mendekat, suara kenalpotnya kasar khas motor bebek dua tak. Aku berhenti untuk menutupi wajahku karena motor itu pasti akan mengirimkan debu padaku.

“Mbak Arini?” tanya seorang lelaki padaku diantara suara motor.

Aku membuka mata dan melihat seorang lelaki berusia sekitar 30-an, memakai kaos usang produk pertanian penuh noda lumpur, dan kulit yang coklat gelap akibat terlalu banyak terkena sinar matahari.

“Mbak Arini pulang toh? Mau ke rumah?” tanyanya mematikan mesin.

Aku mengenal lelaki itu, dia adalah salah satu petani yang bekerja bersama kakak sulungku, “Iya Pak Min.”

“Ya udah, ayo bareng aja. Bapak juga mau ke rumah” katanya menawarkan.

“Makasih Pak”

Aku naik ke atas motor yang sudah tidak ada bodi-nya, tinggal kerangka dan jok-nya yang bolong ditambal dengan karet ban, tidak ada sandaran untuk kaki dan bannya penuh lumpur. Pak Min menggenjot motor untuk menghidupkannya dengan kakinya yang telanjang, tidak memakai sandal ataupun sepatu karena toh tidak akan berguna jika bekerja di sawah dan kaki – kaki petani seperti Pak Min dan mas-ku sudah kebal dengan panas ataupun kerikil.

Motor Pak Min berjalan perlahan menyusuri rumah – rumah kampung yang tidak memiliki pagar. Di kampungku ini, bahkan pintu saja jarang di kunci, kebanyakan dibiarkan terbuka lebar untuk mendapatkan angin. Lima menit kemudian motor pak Min sudah sampai di rumahku yang satu dari beberapa rumah yang memiliki pagar.

“Makasih Pak Min”

“Iyo Mbak”

Di area rumah keluargaku ini, ada empat bangunan. Satu rumah tinggal, satu toko kelontong kecil yang sedang sepi pembeli, satu gudang beras dan satu kandang sapi. Aku tidak masuk kedalam rumah tapi ke toko kecil karena biasanya ibuku masih ada di toko di jam seperti ini sampai nanti jam 8 malam.

“Assalamu’alaikum, Ibuuu” teriakku begitu masuk ke dalam. Aku mencari – cari sosok Ibu tapi tidak menemukannya.

“Wa’alaikumsalam” balas seorang wanita jauh di dalam sana, diarah gudang penyimpanan barang dagangan.

Aku setengah berlari kearah suara itu, begitu rindu memeluk wanita yang sudah melahirkanku. Ibu terlihat sedang memeriksa dagangan bersama dengan mbak Warsih.

“Lho, kamu pulang? Liburan toh?” tanya Ibu meletakkan sabun cuci 1 kilo-an dan menyodorkan tangannya padaku.

Aku menyambutnya dan memberi ciuman kilat, “Iya Bu.”

“Gimana IP-nya? Dapat berapa?” tanya Ibu penuh minat.

Aku menarik nafas tajam, rasa takut merasukiku saat membayangkan bagaimana reaksi Ibu saat melihat nilai yang tertera di KHS-ku (Kartu Hasil Studi) semester ini.

Anugrah TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang