Kelopak mata pemuda itu bergerak, mengerjap beberapa kali lalu mengedarkan pandang menyusuri ruangan. Sesaat kemudian ia mengambil posisi duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk, mencoba mengumpulkan kesadarannya sebelum bangkit berdiri dan melangkah ke depan jendela. Setelah menyibak tirai coklat yang warnanya telah memudar, lantas dibukanya pengunci jendela yang telah berkarat itu.
Terdengar deritan kusen kayu ketika ia mendorong daun jendela tersebut dan memasang kaitan penahannya. Seketika terendus petrichor yang kuat, paduan aroma tanah basah yang khas sehabis hujan. Tiba-tiba angin berhawa dingin berhembus menusuk kulit, bersamaan dengan itu terdengar denting-denting besi yang berbenturan layaknya bunyi tuts-tuts piano di hamparan kanan.
Berniat segera membasuh diri, ia pun berjalan menuju lemari tempat tasnya berada. Ketika pintu lemari itu terbuka, tubuhnya menegang seketika. Pupilnya meluas dan nafasnya tertahan tanpa sadar, di balik pintu itu tertancap sebuah pisau berlumuran carian merah.
Jun memeriksa kamarnya dengan cepat, tapi tak menemukan hal ganjil yang lain. Jantungnya berdetak sangat cepat seolah memberontak untuk merobek tubuhnya tatkala tatapannya kembali mengarah pada pisau tersebut. Ia mengenali pisau itu, pisau yang penah digunakannya dulu atau hanya bentuknya saja yang serupa. Tanpa sadar jemarinya bergetar, digenggamnya gagang pisau tersebut lalu ditariknya untuk mengambil secarik kertas ikut tertusuk disana.
Akhirnya kau kembali.
Maka aku pun menyambutmu.
Kau pasti mengingatku.
Kau harus menanggung semuanya, sama seperti daratan yang harus menanggung semua luruhan hujan.
Kau tidak bisa terus menyembunyikannya. Sebab, berapa lama pun uap air bersembunyi di balik mega mendung, pasti gugur jua.
Kau anak baik.
Selalu menjadi anak baik.
Jun tahu benar pemilik tulisan tangan itu, apalagi baris terakhir pesan tersebut adalah kata yang dulu sering di dengarnya dari mulut si empunya tulisan. Mendadak kekalutan menyerbu pikirannya, dalam benaknya timbul keksiruhan akibat serbuan memori yang selama ini dikuburnya rapat-rapat.
Jun merobek-robek kertas itu hingga potongannya jatuh ke lantai, ia meremas kuat rambutnya lalu mencak-acaknya dengan frustrasi. Bagaimana mungkin wanita yang ia tikam sembilan tahun lalu bisa mengirimnya pesan?
Apa dulu wanita itu belum benar-benar mati?
Tidak.
Mustahil.
Ia ingat betul bagaimana darah wanita itu berbaur dengan air hujan dan mengalir di sela-sela kakinya. Bahkan, senyuman getir wanita itu saat memandangnya untuk terakhir kali, masih terpatri jelas dalam benaknya.
Jun mengepalkan tangannya lalu meninju pintu lemari yang terbuka itu hingga engsel teratasnya lepas.
Kau anak baik.
Bisikan itu. Bisikan yang terus menghantuinya, kini terdengar kian jelas seolah terucap tepat di telinganya.
Selalu menjadi anak baik.
"Sialan!!!"
~*~*~*~
Jun keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi, ia sudah mengenyahkan pisau itu dengan membuangnya ke selokan sebelum pergi mandi. Ketika berjalan menuju ruang makan, dentingan besi yang saling berserobok kembali terdengar. Ia mencari sumber suara itu dan menemukan sebuah lonceng angin sebesar telapak tangan yang terbuat dari logam, menggantung di balik kusen atas pada pintu belakang.
Ia merasa terusik acap kali lonceng itu berbunyi.
Sudahlah, abaikan saja.
Ruang makan sudah terisikan tiga orang yang menempati rumah ini, Nenek Choi, Yuna, dan Jungho.
"Mari sarapan bersama," ajak wanita yang rambutnya telah memutih. Beliau adalah Nenek Choi yang merupakan Bibi Ibunya, orang yang mengurus rumah tua ini setelah beberapa tahun terbengkalai.
Jun ikut duduk mengitari meja tempat terhidangnya beberapa macam makanan. Saat nenek Choi meletakkan lauk di atas nasinya, Jun menatap wanita yang tersenyum ramah itu, kemudian tanpa sadar ia menyebarkan tatapan selidik tersembunyi serupa pada Yuna dan Jungho.
"Apa diantara kalian ada yang hobby melukis?" tanya Jun setelah menghabiskan makananya.
"Sepertinya tidak ada, aku tidak suka melukis. Kalau Yuna jangan ditanya, gambarnya lebih jelek dari bocah TK." Yuna yang menjadi korban olokan, tak bisa balas mengejek karena mulutnya penuh roti pasca memulai sarapan ronde kedua. Jungho terkekeh lalu menungkan teh ke cangkir Yuna sembari melirik Jun sekilas, "Memangnya kenapa, jun?
Jun menggeleng kecil, "Bukan apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
INTERDROPS
Mystery / Thriller[Bukan fanfiction] "Sembilan tahun yang lalu aku membunuh seorang perempuan di bawah hujan."