;Prologue

37 5 3
                                    

°°°°°°°°°°


Di luar, kulihat hujan turun membasahi kota. Membuat para pejalan kaki berpikir untuk meneduh dari derasnya air turun. Halte bus, kedai kopi, dan warung pinggiran menjadi sasaran tempat yang tepat untuk berteduh.

Kulihat melalui kaca jendela besar di ruang makan rumahku.

Di sinilah aku, lebih tepatnya kami. Menyantap makan malam dengan keheningan kata. Di sini. Masih terdengar suara hujan cukup kencang. Di sini pula. Belum kudengar topik yang akan dibicarakan entah oleh siapa.

Hanya terdengar sendok dan garpu beradu di atas piring.

"Pa," bukan, ini bukan suaraku.

Seraya mengunyah makanannya, papa menoleh kearahnya. Kulihat alis papa terangkat seolah bertanya 'ada apa?'

"Selasa depan. Aku ada perlombaan. Nanti aku kirim informasi lengkap tentang perlombaannya ke e-mail papa. Aku mau, papa hadir di sana." Tentu dengan nadanya yang datar. Namun, kurasa ada sedikit keraguan di akhir kalimatnya.

Lalu, kulihat papa berhenti menyantap piringnya yang kurang lebih masih ada setengah porsi lagi. Dia menautkan jari-jari kedua tangannya. Aku tahu ia ingin berbicara.

"Dari sekian banyak perlombaan yang kamu ikuti. Maaf. Yang esok baru jadi perlombaan keduamu yang akan papa hadiri. Papa. Bangga padamu, nak"

Aku mendengarkan mereka sambil menyantap makan malamku.

"Dari sekian banyak permintaan maaf yang papa ucapkan. Yang kuterima hanya yang kemarinnya papa ucapkan setelah esoknya papa benar-benar datang." Masih kudengar dengan nadanya yang datar. Ia memang yang paling handal membuat papa merasa bersalah.

Drtt

Kursi yang di dudukinya bersuara. Lalu ia berkata "Selamat malam, pa." Dan pergi dari ruangan ini.

Bersamaan dengan langkahnya yang pelan namun pasti untuk meninggalkan ruangan ini. Cindy memanggilnya

"Dyraa!" Yang dipanggil terus berjalan dan tidak menghiraukan panggilan Cindy.

Yang emosi justru bukanlah papa. Melainkan Cindy. Dia memang yang paling tak bisa melihat papa merasa bersalah. Walaupun kadang memang bersalah.

"Sudah, nak. Sudah. Papa memang salah."

Aku, atau mungkin kami. Memandang wajahnya.

Lalu, papa melanjutkan kalimatnya.

"Salah. Papa memang salah. Setelah papa mendukung kalian untuk memiliki prestasi. Dan kalian sudah memilikinya. Papa justru mengabaikannya." Dengan anggukan kecil papa berbicara dengan mata yang menatap mata kami bergantian

Belum juga papa selesai dengan ucapannya "Enggak, pa. Papa gak salah." Cindy, tentu Cindy yang memotong.

"Maafkan papa karena selalu tak bisa mendukung kalian di sana. Tapi percayalah, tak ada satupun prestasi kalian yang papa lupakan. Papa selalu bangga dengan kalian,nak." Kata papa, dia berbicara dengan ringan. Tapi aku yakin, dihatinya ia berat mengucapkannya.

Aku, masih di sini. Diam berbisu kata tanpa ekspresi. Merasakan kesedihan saudara-saudaraku yang jarang merasakan dukungan dari papa. Dan. Merasakan kesedihan papa yang jarang mendukung anak-anaknya. Aku tak tahu rasanya. Karena aku tak pernah mengalaminya.

"Selalu beritahu papa tentang lomba, kompetisi, ataupun kontes kalian. Kemungkinan papa datang, jangan ditanya. Tapi setidaknya papa bisa mendoakan kalian."

Tes

Tepat sebelum ia benar-benar berdiri dan membalikkan badan untuk meninggalkan ruangan ini. Kulihat air matanya menetes. Jujur. Ini adalah pertama kalinya aku melihat papa menangis. Entah itu karna ini atau yang lainnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UnfortunatelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang