Gue mnddk diare. Lemes. Bangun dr kasur aja ga sanggup. Sori, gak bisa ke ND. Tp lo jgn pulang. Sayang udh bayar. Gmn kalo lo ngajak Nanda? Eh gue udh bilang ke dia sih. Tunggu ya. Haha. Enjoy your dinner.
Sekali lagi aku membaca ulang chat panjang yang sudah kusiapkan. Lalu kulirik jam dinding. Tepat pukul 18.50 aku menekan tombol 'send'. Setelah memastikannya terkirim, aku mensilent ponselku. Lalu melemparkannya ke dasar ranselku. Setidaknya aku bisa pura-pura tidak dengar jika dia menelepon atau mengirim chat.
Lalu aku kembali berkonsentrasi dengan buku yang kubaca, berusaha melupakan Leo dan makan malam yang sedang berjalan. Konsentrasiku kacau. Sangat kacau. Setiap dua kalimat yang kubaca, aku tergoda untuk mengecek ponselku, mencari tahu apakah Leo cukup peduli pada fakta bawa aku sakit. Yaaa...walaupun aku tidak sakit sih. Aku sangat sehat, dan sedang berada di sebuah kafe standar, menunggu seseorang. Tapi kan seharusnya Leo khawatir dengan keadaanku karena tadi kubilang aku tak sanggup bangkit dari kasur. Tapi...untuk apa dia peduli padaku jika mungkin sekarang dia sedang berbahagia setengah mati karena Nandalah yang akan menemaninya dinner, bukan aku.
Sial. Kenapa aku merasa sedih?
"Sori-sori, udah lama? Tadi macet banget lewat Kuningan. Maklum, jam pulang kerja."
Aku mendongak, mendapati Jerro sudah duduk di depanku, dan tersenyum kecil. Sedikit kawatir dan merasa bersalah.
Aku balas tersenyum. "Nggak masalah. Gue dapet dua bab, lumayan." Jawabku, mengangkat buku tebal milik Leo yang harus kubaca sampai tuntas.
Betapa aku bersyukur Jerro mengajak bertemu malam ini di jam yang sama dengan janjianku dengan Leo. Setidaknya aku punya pengalih perhatian yang cukup kuat.
"Wow. Lagi ujian?" Tanya Jerro lagi, sambil memanggil pelayan kafe.
"Nggak sih. Ada lomba debat bulan depan."
Jerro ber-wow lagi. "Saras ikut lomba debat?" Tanyanya dengan alis terangkat, lalu terpecah perhatiannya ketika pelayan kafe datang menanyakan pesanan. Jerro menawarkan apa aku ingin menambah pesanan. Aku menolak, sambil menunjuk cangkir kopiku yang masih setengah. Setelah pelayan kafe mencatat pesanannya dan pergi, dia melanjutkan. "Freya bilang dia bahkan nggak ngerti kenapa lo masuk FH, karena yah," Jerro mengangkat alis lagi sambil tersenyum. "lo terlihat terlalu malas untuk menyimak kuliah apapun, dan ikut kegiatan apapun. Bener nggak?"
Aku terkekeh geli. "Bener. Gue nggak pernah minat ikut lomba-lombaan nggak guna itu sebelum Freya ngajuin taruhan tent..." Jerro mengangkat alis. Mendadak aku tersendak ludahku sendiri.
"Tentang?"
Bagaimana mungkin aku mengatakan bahwa semua ini berawal dari dia? Jerro! Dia yang membuatku jadi berminat ikut lomba-lomba menyebalkan ini!
"Ng,...tentang pemilihan ketua BEM. Iya! Ketua BEM!" Jawabku sambil nyengir lebar. "Kalau nanti gue kalah, gue harus jadi tim sukses adik lo itu, Jer. Dan bagi Freya, meletakkan gue di bawah kekuasaannya itu lebih menyenangkan daripada menang perang teluk."
Jerro tertawa lebar. Pada saat itu Esspreso Americano nya datang.
"Makasih, ya." Katanya kepada pelayan itu, yang disambut senyum tersipu sang waiter. "Lo nggak mau makan, Ras? Makan aja, gue yang traktir." Katanya padaku.
Aku menggeleng. "Udah makan tadi di rumah." Jawabku. Sesungguhnya aku tak yakin aku bisa menelan makanan jika memikirkan kesempatanku mencobai makanan di resto molecular gastronomy yang kusia...ah, sudahlah! "Jadi kabar gembira apa nih?"
Tadi pagi Jerro memang meneleponku, mengajak bertemu dengan alasan ada kabar gembira yang akan dia sampaikan. Tapi ketika kutanya kabar gembira apa, dia hanya menjawab 'rahasia'.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETTER THAN THIS - TERBIT (Seri Pertama Always)
Literatura KobiecaSaras tahu pasti Leo membencinya. Sederet gelar positif mulai dari Mapres nasional, kesayangan dosen, cowok tampan pujaan kita bersama, dan senior tingkat 4 yang terancam lulus suma cum laude, cukup lah untuk membuat Leo risih dengan keberadaan cewe...