Pulang

1.5K 137 29
                                    

Hak moral penulis telah ditegaskan.
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Cerita ini diterbitkan dengan syarat tidak boleh direproduksi atau ditransmisikan ulang secara keseluruhan atau sebagian, dengan cara apa pun, tanpa persetujuan tertulis dari pemegang hak cipta, dan setiap pelanggaran atas hal ini merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Hak Cipta.

Copyright © 2017 by Aninesca

•••
 

"Iya, Pak. Nanti aku pulang. Aku mesti nunggu Bos-ku ngijinin dulu."

Di seberang sana, tidak ada suara ketika aku selesai berbicara. Aku menjauhkan ponsel itu dari telingaku, mengecek apakah sambungan ini masih tersambung. Waktu panggilan masih berjalan, jadi aku menempelkan kembali ponsel itu di telingaku dan mulai memanggil-manggil Bapak di seberang sana.

"Kamu selalu bilang gitu kalo disuruh pulang. Apa sih susahnya beli tiket? Kalo kamu ndak punya uang biar nanti Bapak yang ongkosin. Seminggu lagi harinya Ibu, lho, Wi. Kamu gak niat ketemu sama Ibu?"

Aku terdiam dan menarik napas keras. Ini, topik ini yang paling kubenci. Minimal dua hari sekali, Bapak selalu menelponku dan memintaku untuk pulang. Tidak, memaksa tepatnya. Aku tahu jika Bapak mungkin kesepian tinggal sendiri di Kalibaru. Tapi tidakkah dia memahamiku? Ini bukan soal jarak antara Bogor dan Kalibaru yang kutempuh, ataupun masalah ongkos untuk pulang. Tapi di sini masalahnya adalah aku dan pekerjaanku.

Karirku semakin menanjak. Bulan ini, aku dipromosi menjadi Manager Pemasaran di PT. Sukma Mengki. Demi mewujudkan angan-anganku untuk menjadi Bos, aku harus segera menyelesaikan semua pekerjaan yang tertunda. Hampir tiap malam aku lembur untuk mengurus satu per satu masalah marketing berbagai produk makanan dari SM. Bagaimana caranya agar produk ini laku, bagaimana caranya membuat masyarakat tertarik dengan produk itu, bagaimana caranya produk nganu bisa bersaing di pasar. Bla... bla... bla!

Aku pusing dan Bapak membuat pikiranku tambah ruwet. Aku tahu aku sudah lama tidak pulang, tapi tidak bisakah beliau tidak menerorku setiap malam? Demi Tuhan, kesabaranku juga ada batasnya!

Bapak masih mengoceh tentang bagaimana ngeyel-nya aku jika diminta untuk pulang. Aku mendengus keras, sengaja agar Bapak tahu jika aku sedang kesal sekarang. Tapi bagaimanapun aku memakai kode isyarat bahwa aku ingin mengakhiri pembicaraan ini, Bapak dengan kekeras-kepalaannya memilih untuk bersikap cuek dan tidak kunjung mengakhiri ceramahnya.

"Pak..." akhirnya aku memberanikan diri untuk bicara. "Tolong, sudah dulu. Kerjaanku masih banyak. Bos-ku bisa marah kalo liat aku telponan. Sudah dulu, ya, Pak. Assalamualaikum."

Tanpa menghiraukan Bapak yang memanggil-manggilku di seberang sana, aku memutus sambungan telpon dan mematikan ponselku agar Bapak tidak mencoba untuk menghubungiku lagi.

"Dewi, istirahat dulu, yuk."

Aku menarik napas dalam dan menoleh ke arah Ela yang berdiri di depan kubikelku sebelum mengiyakan ajakannya.

  
***
 

Malam ini aku pulang lembur lagi. Kubuka pintu kamar-ku dengan kasar dan melempar tasku ke atas ranjang sebelum berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Larut malam seperti ini harusnya aku lekas tidur agar besok tubuhku kembali fit, siap untuk menjajaki kerasnya dunia. Tapi yang ada mataku tidak dapat terpejam dan akhirnya aku memilih untuk menyerah. Tidak ada gunanya jika aku mencoba untuk tidur disaat mataku tidak ingin menutup.

Pulang [1/1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang