Hinata's POV
Berlari, ku terus belari, tanpa peduli apa pun yang harus ku hindari!
Lari, suatu kegiatan yang sangat tidak ingin ku lakukan, saat ini. Mengingat aku pernah mengalami cedera saat berusaha melarikan diri dari komplotan para pencuri, beberapa hari yang lalu. Untung saja, aku dapat selamat kala itu. walaupun, dengan meninggalkan sedikit rasa benci terhadap kegiatan yang satu ini.
Tapi, dalam keadaan seperti ini, aku harus melakukannya! Tak peduli walaupun aku berjalan tanpa alas kaki. Tak peduli walau kakiku berdarah saat menginjak batu-batu tajam yang entah darimana datangnya. Mungkin, di jalan ini tadi ada truk pengangkut batu yang melintas dan tanpa sengaja menjatuhkan muatannya. Kebetulan yang sangat menyebalkan! Benar-benar bukanlah hari beruntungku!
Ku terus berlari, menyusuri tepi jalan yang kini telah sepi dari kendaraan yang melintas. Aku berlari tanpa tujuan. Ku biarkan kaki ini membawaku kemanapun ia inginkan.
Hembusan angin malam yang dingin menusuk kulitku. Melambai-lambaikan pepohonan di sekitar jalan yang tengah ku lewati saat ini. Jalan raya yang biasanya ramai dan bising oleh kendaraan bermotor yang melintas, kini sangat sepi ketika malam hari tiba. Hanya terlihat satu dua buah kendaraan yang kebetulan melintas di jalanan.
Para pemilik toko pun kini telah bersiap untuk menutup tokonya. Ya, karena sekarang sudah sangat larut. Semua orang telah kembali ke rumahnya masing-masing. Jalanan menjadi sangat sepi, dan kini hanya di terangi oleh cahaya temaram lampu jalan. Suara-suara binatang malam terdengar bersahut-sahutan seperti sebuah alunan musik yang terdengar indah, bagi siapapun yang kebetulan mendengarnya. Biasanya, aku sangat menyukai pemandangan ini. Hening, sunyi, dan hanya di temani oleh suara para binatang malam yang membuat hatiku tenang dan damai. Tapi, sekarang aku sedang tidak peduli tentang semua itu. Aku terus saja mengikuti langkah kakiku, membiarkannya membawaku kemanapun, tempat dimana tidak seorangpun yang dapat menemukanku. Aku ingin melarikan diri, entah dari siapa, aku tak ingin mengingatnya.
"Hinata!" samar-samar dapat ku dengar panggilan tersebut dari belakangku. Aku segera mengetahui siapakah yang tengah memanggilku.
Panggilan tersebut membuatku berlari semakin cepat, tak peduli walau kakiku mulai terasa lelah. Sangat lelah. Darah di telapak kakiku pun tak henti-hentinya mengalir, membuatku nyeri saat berlari.
Pandanganku pun juga mulai kabur, karena tertutup oleh bulir-bulir bening yang terus membendung di pelupuk mataku. Pipiku meninggalkan jejak airmata yang telah mengering. Aku menyeka airmataku yang terus mengalir tiada hentinya. Aku sendiri pun juga tak tahu cara menghentikan semua itu. Terlebih, cara untuk menghentikan situasi yang sangat menjengkelkan ini!
Aku tak bisa menoleh, apalagi bicara padanya. Luka ini terlalu menyakitkan untukku. Sangat! Sungguh membuat dadaku amat sesak!
"Hinata! Berhenti!" teriak orang itu lagi, yang suaranya kini mulai terdengar jelas di telingaku.
Ku acuhkan panggilan itu, lagi. Aku tak peduli kalaupun ia memanggilku tepat di depan wajahku, aku tak ingin menoleh padanya. Tak ingin lagi. Jika ia memohon-mohon di hadapanku sambil menangis sekalipun, tetap saja itu tak akan membuatku mempedulikan dirinya. Aku sudah muak dengannya! Aku tak ingin bertemu dengannya lagi!
"H-hinata! H-hinata! Dengarkan a-aku dulu! A-aku mohon!" teriaknya parau.
Terdengar dari suaranya nampaknya ia sudah mulai merasa kelelahan, nadanya pun terdengar terputus-putus. Walau begitu, aku masih sanggup mendengar dengan jelas suara samar yang hampir menulikan pendengaranku beberapa saat yang lalu.
Kusadari aku pun juga mulai kelelahan. Napasku tersenggal-senggal. Ku kuatkan kakiku yang mungil ini agar bisa terus berlari menghindarinya, walau kakiku sudah mau copot rasanya.
Taksi... Taksi... Dalam keadaan seperti ini, aku sangat berharap ada taksi yang melintas di depanku secepatnya, agar aku tak perlu lama berkejar-kejaran dengan orang di belakangku ini. Hanya membuatku lelah, letih dan sakit saja!
Aku melirik arloji yang ku kenakan di pergelangan tanganku. Pukul 00.30! Pupuslah harapanku menantikan taksi, karena semua taksi sudah berhenti beroperasi sejak setengah jam yang lalu. Otakku pun berputar cepat, memikirkan cara untuk segera pergi dari tempat ini.
Remang-remang ku lihat cahaya yang sangat terang di ujung jalan. Perlahan-lahan, harapanku pun mulai muncul. Ku beranikan diriku mendekati cahaya tersebut.
*BRUMMM...*
Terdengar suara kendaraan tersebut menggema di keheningan malam. Hatiku pun bersorak riang, walau airmata masih mengalir deras di pipiku. Senang rasanya aku bisa segera lepas dari penderitaan ini. Aku pun menghapus sisa-sisa airmataku. Ketika mobil yang di kendarai seorang pemuda itu mulai mendekat, aku pun menghentikan langkah kakiku.
"Berhenti!" seruku sambil melambai-lambaikan tangan di tepi jalan, berharap agar mobil tersebut berhenti.
"Hina~"
*BRAK!*
*CIT!*
Mobil bercat biru yang kulihat itu berhenti mendadak di hadapanku. Sempat kutolehkan kepalaku ke belakang dan melihat dia (Dia!) sedang merintih kesakitan meminta pertolongan . Ku buka pintu depan mobil tersebut dan langsung masuk ke dalamnya.
Sempat ku dengar suara rintihan dari orang yang mengejarku tadi sebelum aku menginjakkan kakiku ke dalam mobil. Kasihan sekali dia, batinku resah. Siapa yang akan menolongnya? Tidak ada siapa-siapa di jalanan tersebut. Ah, tapi aku benar-benar sudah tak ingin berurusan dengannya lagi! Tidak setelah apa yang telah ia lakukan kepadaku!
"Ayo cepat kita pergi dari sini!" ujarku seraya mengguncang-guncang tubuh sang pengemudi mobil tersebut dengan tidak sabar. Pemuda itu pun menatapku lekat-lekat. Raut wajahnya menampakan kebingungan.
"T-tapi... Aku bukan~".
"Sudah, cepat kita pergi dulu dari tempat ini!".
"Hah?"
"Cepatlah! Kumohon!"
.
.
.
TBC
Huu... Maaf jelek, maklum masih baru. Re-viewnya ditunggu ya. Semoga chap selanjutnya lebih baik lagi.
Author : Miyuki-chan
KAMU SEDANG MEMBACA
What Should I Choose?
Fanfiction"Hinata, kau mencintaiku, kan?" seru seorang pemuda penuh keyakinan, sambil berlutut di hadapan seorang wanita cantik bersurai indigo, sambil menggenggam sebelah tangan jenjangnya. "Tidak, Hinata. Kau mencintaiku, kan? Katakanlah bahwa kau mencinta...