One

123 27 78
                                    

Jendela kayu kamarku terbuka lebar, kubiarkan. Kulihat, langit malam ini gelap. Angin bahkan terasa menusuk kulitku. Dingin. Sunyi. Kurasa alam saja tak tega melambaikan salamnya untukku. Hmmm, dua jam lagi jadwal penerbanganku ke Jakarta, kampung halaman.

“Ava” teriak Mamaku.

“Ya, Ma.”

“Ayo siap-siap, honey. Kita akan segera ke bandara!”

Waaaiiiittt

Baiklah, kusiapkan diriku matang-matang. Ragu, kulangkahkan kakiku menuruni tangga.

Are you okay?”

“Yeah, I’m fine, Ma”

“Okay, come on.”

Bye, London. Sampai jumpa semua teman-temanku.
Sampai jumpa Delta. Sampa jumpa juga Lavira, aku pasti akan kembali ke London.


***

Penerbangan semalam rasanya sangat lama. Aku hanya rindu dia. Rindu London, rindu saat aku ada bersama Delta. Sekarang apa kabar dia? Seharusnya aku senang, karena pulang ke Jakarta. Tapi, bukan itu yang kurasakan sekarang.

Rasanya hatiku kelu saja. Mendadak seperti tak punya semangat. Langkahku saja lemah, kuseret perlahan. Mama hanya memandangku, mungkin ia tahu yang kurasakan.

“Ava?”

“Ya, Ma?” aku berusaha tersenyum untuk Mamaku.

“Sedih, ya, pulang ke Jakarta?”

“Enggak, kok, Ma. Hanya saja, kangen suasana pagi di London. Sudah 8 tahun kita tinggal disana, Ma. Oh rasanya, hehhee,” kali ini aku benar-benar tersenyum untuk mencairkan suasana.

Bukankah begitu seharusnya?

Baiklah, daripada bosan seperti ini lebih baik aku mendengarkan musik. Ya, this is my hobby.

Kuambil headphone ku dari dalam tas kecil yang kuselempangkan di bahuku. Tapi tiba-tiba saja.

Bruuukk.

Headphone pemberian Delta itu terjatuh dan terinjak oleh seseorang. Entah siapa. Yang jelas dia harus bertanggung jawab.

“OMG, are you crazy?” nadaku sedikit berteriak sambil mengambil headphone milikku yang terjatuh begitu saja.

“Maafin, ya. Gue lagi keburu-buru. So, I don’t have many time. I’m sorry,” dengan nafas terengah-engah dia berhenti dan menyambar ponsel yang kugengngam.

“Nih nomor gue. Kalo lo minta gantiin itu barang, hubungin ke nomor ini aja. Gue bakalan tanggung jawab. Don’t worry.”

Aku hanya bisa diam dan membiarkannya menuliskan nomor ponselnya. Segitu mudahkah dia memberikan nomor handphone kepada orang asing? Dan segitu mudahkah aku merasa nyaman?

Aku hanya mengangguk saja mendengarnya berkata seperti itu.

Mata hazelnya mengalihkan emosiku. Begitu tenang, oh tidak apa yang sudah kupikirkan?

***

Hari ini hari pertamaku masuk sekolah di sekolah SMA-ku yang baru di Jakarta. Mentari agaknya malu menampakkan senyumnya pagi ini. Mungkin, ia tahu apa yang sedang kurasakan. Jalanan ibukota sangat ramai, kepulan-kepulan asap kendaraan dan suara deruan kendaraan mengisi pagiku hari ini.

Aku berharap aku akan bertemu teman baru, yang tentunya bisa mengisi hari di sekolahku yang baru. Aku mengelus busur panah yang kubawa. Aku memang suka memanah, dan nanti akan ada kegiatan memanah di sanggar yang telah kujadikan tempat pelampiasanku.

Ku pandang hamparan rumput hijau yang melengang. Rapi. Di sampingnya terdapat sebuah lapangan basket yang kurasa cukup luas. Anak-anak seusiaku berhamburan memasuki gerbang. Sepertinya bel sudah berbunyi.

Simple PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang