Two

47 8 4
                                    

Aku berjalan beriringan bersama Sarah  menuju kantin. Melewati lorong yang tak sepi. Ramai. Riuh candaan para siswa. Kami juga melewati lorong kelas 11. Dan disana, Putra dan dua orang temannya Fata dan  Dito menghampiri kami. Dan berjalan bersama kami.

“Hei,” sapanya Putra melambaikan tanggannya ke arah kami. Lebih tepatnya kearahku.

“Oh hai, kak.”

“Udah gue duga, pasti lo adek kelas gue. Hmm ternyata bener,” dia mulai basa-basi.

“Ehheee, iya.”

“Tumben kak gak barengan sama kak Dam?” bagaimana bisa Sarah berani bertanya seperti itu?

“Tau, tuh. Si Dam. Katanya tadi keburu laper gitu.”

“Hahhaaa,”  mereka tertawa. Aku hanya sedikit, karena tidak tahu apa yang mereka bicarakan.

Tak terasa ternyata kami telah sampai di kantin. Putra, Fata dan Dito mulai berhamburan menghampiri Dam yang tengah duduk sendiri, memakan nasi gorengnya dengan lahab.

“Eh kak Dam, tuh,” ia menggerakkan dagunya kearah Dam, agar aku mengikuti arah dagunya.

“Iya, kenapa?” kuraih baksoku dan berjalan menuju meja kantin.
“Dia itu sepupunya kak Putra,” jawabnya kemudian mengikuti duduk di bangku dan meletakkan semangkuk baksonya di meja.

“Terus?”

“Iiihhhh elo ini. Kak Putra sama kak Dam sepupu gue. Hmm.”

“What?”

Aku tersedak ketika mendengar pernyataan dari Sarah. Pantas saja, sepertinya Sarah dan kak Putra sudah begitu akrab.

Semestaaaaa, apa dunia se sempit ini? Bagaimana bisa pemilik mata hazel itu mempunyai hubungan darah dengan Sarah dan Putra? Bahkan, mereka saja tidak mirip. Hanya mungkin terdapat beberapa kemiripan. Hidung mereka bertiga sama-sama mancung. Sempurna.

“Kaget, ya?”

“Kok bisa?”

“Kok bisa gimana?”

“Kok bisa kalian sepupuan. Gak mirip tau,” jawabku sarkastik.

“Ini anak, nggak percaya. Iya, jadi mama gue itu adiknya papanya kak Putra. Nah, mamanya kak Dam itu anak tertua. Yaaaa gitulah,” ucapnya dengan sedikit bernada.

“Sssttt, pelan-pelan. Nanti mereka bisa dengar.”

Meja disebelah sana memandangi kami. Langsung saja aku malu. Sedangkan Sarah, dengan senangnya dia melambai ke saudara sepupunya itu. Dam, Putra, Fata dan Dito menuju ke meja kami. Astaga.... Sarah. Bisa-bisanya dia menyuruh mereka bergabung.

“Eh, elo Ava kan?” tanya seseorang. Suara itu tak asing lagi buatku. Dam.
“Ehmm, iya kak,” jawabku sedikit malu.

“Gue minta maaf, ya,” katanya mengagetkanku.

“Bua- -“ belum sempat menjawab, dia langsung menyelaku.

“Buat waktu itu. Pas di bandara. Gue sadar kalo itu elo orangnya. Bener, kan?”

“Kenapa, Av?” tanya Sarah melihat mataku yang mulai berkaca-kaca.

“Kok malah nangis, sih?” tangan Dam meraihku. Menariku menjauh dari mereka dan membawaku ke tempat yang lebih sepi.

“Maaf, dong.”

“Kamu tahu nggak, kak? Itu headphone pembelian pacarku. Dia ada di London, dan itu satu-satunya pemberian darinya yang kupunya. Dan sekarang? Patah!” jawabku sendu, sedikit berteriak.

“Yaudahlah... Cuma kayak gitu aja. Besok gue ganti.”

“Bukan masalah kayak gitunya. Itu pemberian, kita harus menjaga pemberian orang. Apalagi, dia orang yang penting. Ah yasudahlah, bicara sama orang gak punya hati susah.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 04, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Simple PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang