Terminal

12.7K 825 195
                                    

Aku berkemas kembali bersiap untuk melakukan perjalanan. Mama hanya menatapku dari pintu kamar dengan wajah cemberut.

Jangan tanya kenapa mama cemberut seperti itu, mama tak suka jika aku harus pergi-pergi lagi seperti ini, apalagi aku baru pulih dan tempatku pergi adalah kota sebelah, kot dimana aku bertemu kembali dengan Evi dan Maura.

Mama sudah berulang kali memintaku untuk membatalkan observasiku di sana, tapi aku selalu menolaknya. Aku merasa tak enak jika aku harus membatalkan apa yang telah aku mulai.

Dan, ya aku sekalian menengok Hendra yang masih terbaring di rumah sakit walau kondisinya sudah lebih membaik dari kemarin-kemarin.

"Di, tak bisa kah kamu mencari tempat observasi di sini saja?" lagi, mama mencoba bernegosiasi dengan keputusanku.

"Gak bisa mah, waktunya sudah mepet dan Diona sudah masukkan surat penelitian di sana,"

"Kamu lulus tak tepat waktu tak apa,"

"Mamaku sayang, Diona kan harus bisa menyelesaikan apa yang sudah Diona mulai,"

"Kamu mau nginep dimana?"

"Hotel mah,"

"Yakin di hotel?"

Huft...kenapa nada pertanyaan mama terasa sangat tidak enak di dengar. Sepertinya mama masih ingat insiden aku menginap di kos Hendra.

"Trus kalau gak di hotel dimana mah? Mau kos tanggung Diona hanya 3 malam di sana,"

"Ya kali kamu mau nginep di kosnya siapa itu, Hendra,"

"Hendra d rumah sakit. Tapi kalau di pinjemin kosannya sih gak apa-apa Diona bisa pinjem kosan dia mumpung kosong,"

Mama terlihat makin cemberut saat aku menjawab seperti itu. Nampak sekali mama tak suka jika aku tinggal di kosan laki-laki.

Setelah aku selesai berkemas, aku langsung pamitan kepada mama dan pergi ke terminal.

Aku tak dapat pergi dengan menggunakan motorku karena selain pundak dan lenganku masih sakit, motorku juga masih di titip di temannya Hendra.

Ngenes banget nasibku kemarin, sudah terluka di sana-sini masih saja harus urus motor yang tempatnya cukup jauh dari pusat kota.

Mengingat soal motor, aku kembali ingat apa yang Hendra katakan saat menitipkan motor pada temannya. Seketika itu wajahku menjadi merah merona bagai mengenakan blush on di pipi kiri dan kananku.

Kulangkahkan kakiku memasuki bis yang akan membawaku meninggalkan kota tempat tinggalku dan kembali ke kota dimana aku telah kehilangan temanku untuk yang kedua kalinya.

Ku tatap jalanan dari bis yang mulai berjalan meninggalkan terminal. Jalannya tak terlalu cepat karena masih sekitaran terminal dan banyak angkutan umum yang keluar dan masuk ke terminal.

Tiba-tiba aku melihat sebuah motor yang sangat aku kenali. Ya, aku melihat motor Wilman di sekitaran terminal. Kulihat dia sedang mengantarkan seorang perempuan yang hendak pergi entah kemana. Sebuah kecupan mendarar di kening perempuan itu.

Deg

Kembali rasa sakit yang menohok menghujam jantungku. Rasanya aku masih tak percaya jika dia akan melakukan hal itu hanya berselang dari beberapa hari dia memintaku kembali kepadanya.

Aku memutuskan untuk turun dari bis dan melangkahkan kakiku ke arah Wilman. Aku ingin menegaskan bahwa keadaan aku dan Wilman telah berbeda dari sebelumnya.

"Hai Wil," kataku mengagetkan Wilman yang masih asyik melingkarkan lengannya di pinggang perempuan itu.

Wilman langsung menoleh ke arahku dan melepaskan tangannya dari pinggang Mela, perempuan yang telah menghancurkan hubunganku dengan Wilman.

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang