The Second

37 3 1
                                    

"Kesetian belum tentu setia, ia juga dapat berkhianat"

-Blood Sweat and Tears-

National Intelligence Service
-08.00 a.m

Suara heels beradu dengan lantai, menggema di lorong panjang tanpa ujung. Ia berjalan dengan dingin tanpa ekspresi. Seperti Ice Queen, orang yang melihatnya bergidik merasakan aura intimidasi. Wajahnya tirus dengan alis tegas. Bibirnya pink pucat dengan pipi yang di poles sedikit bedak. Hampir tanpa make up, wajahnya sudah terlihat sempurna. Tapi tidak menghilangkan kesan antagonis dari lekukannya.

Avhela tidak memberhentikan langkahnya saat melihat pintu besi di ujung lorong itu. Tanpa segan ia langsung membukanya dan masuk ke dalam. Bau ruangan itu khas dan sedikit memuakkan bagi orang yang tak terbiasa. Di dindingnya terdapat laci-laci besar yang terbuat dari besi. Di sekelilingnya juga banyak terdapat peralatan yang di letakan rapih di meja yang juga terbuat dari besi. Tapi yang paling mencolok adalah bagian tengah ruangan itu. Begitu terang dengan lampu besar dan meja panjang terpajang di sana. Seperti ruang operasi tapi tanpa alat penyelamat jiwa.

"Avhela. Seperti biasa datang tepat waktu" Suara berat memanggilnya dari pojok ruangan. Seorang laki laki berumur 25-an menunjuk jam yang tepat menunjukan jam 8.00.

Ia mendekati orang yang memakai baju hijau turqois itu, sambil sedikit melirik apa yang ia lakukan.

"Dokter Park soal autopsi, aku sudah diberi kewenangan atas autopsi ini." Tanpa basa basi ia langsung melampirkan maksudnya datang.

Dokter Park mengibaskan tangannya mendengarnya. Wanita ini terlalu kaku. Langsung ia pergi ke laci besar itu, diikuti Avhela yang mengekor di belakannya. Dokter Park membuka kunci salah satu laci besar itu dan menariknya. Seonggok mayat tertutup kain putih terbaring kaku di laci besi itu. Ia menarik sedikit kain yang menutupi wajahnya.

Laki-laki paruh baya terpejam dalam tidur abadinya. Kulitnya memucat tapi sedikit kebiruan. Ia terlihat seperti laki-laki tua baik dari banyaknya kerutan di sudut matanya.

Avhela menunduk sedikit. Matanya mengamati dengan seksama wajah itu. Seakan merekam dan melakukan analisis apa yang telah ia lakukan seumur hidup.

"Dengar." Suara berat Dokter Park menyadarkannya. Ia manatap laki-laki itu masih dengan posisi sama. "Aku tahu ini terdengar aneh. Apalagi ini keluar dari mulut seorang ahli forensik yang biasanya objektif tapi..." Ia memberi jeda dengan menghela napas berat. "Semua yang berhubungan dengan mayat ini tak masuk akal." Terdapat nada kengerian yang jelas dalam kalimat itu.

Avhela kembali menatap tubuh kaku itu. Sekarang tubuh kaku itu seakan menunggu untuk di periksa. Menunggu untuk Avhela melihatnya sendiri apa yang telah dilakukan seseorang ke tubuh laki-laki itu.

---

Avhela memutar knop pintu. Ia baru kembali mengambil beberapa peralatan dari mobilnya. Sekarang di ruangan itu terdapat tambahan gadis berkulit putih susu yang sibuk menjabarkan beberapa hasil test uji lab pada papan jalar tanpa menunggunya. Rambut blonde sebahu yang di ikat tinggi memberi kesan menarik untuk gadis itu. Ya, Avhela mengakuinya.

"Sudah ada hasilnya?"

Gadis itu sedikit terperanjat. "Haish, kau mengagetkan ku saja!"

"Maaf jika begitu"

"Ya tidak apa, aku selalu memaafkan orang lain, jadi tidak masalah untuk ku memaafkan mu"

Avhela mendengus, "sombong sekali."

Gadis itu terkekeh. Raut wajahnya kembali serius seraya menunjukan sesuatu pada Avhela. "Lihat. Kasus ini sepertinya bukan kasus biasa, Dor. Dari semua mayat yang aku autopsi, hanya mayat ini yang tidak menunjukan tanda-tanda bahwa ia bunuh diri"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 14, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Blood Sweat and TearsWhere stories live. Discover now