SATU

97 2 1
                                    

            “ Aku  juga  suka  Spiderman??”

     Suara  serak  maskulin  itu  mengagetkanku  dari  lamunanku  atas  deretan  action  figure  yang  terpajang  pada  rak  di  sebuah  toko  mainan  pada  area  perbelanjaan  jalan  kaki  di Baker  City, negara  bagian  Oregon  ini. Kutolehkan  badanku  hanya  untuk  menemukan  sosoknya.

     Seorang  pemuda. Dia  sangat  tinggi, mungkin  ada  186  centimeter, berbadan  ramping  tapi  tampak  berbentuk, di  dalam  balutan  celana  jeans  abu-abu, sepatu  sneakers  hitam, serta  jaket  coat  berbulu  tebal, panjang ,mencapai  bawah  lutut, kaus  hitam  yang  dia  kenakan  menyembul  dari  sela-sela  risleting  jaketnya. Kedua  tangannya  di masukkan  ke  dalam  saku-saku  depan  coat  tersebut. Dari  sela-sela  hembusan  nafasnya  uap  tebal  tercipta, rambut  coklat  cenderung  ikalnya  basah  di  bagian  atas  akibat  tetesan  hujan  gerimis  yang  telah  mengguyur  kota  ini  selama 2  pekan  terakhir.

     “ Oh, ya. Kenapa?” tanyaku  penasaran  sekaligus  tertarik. Sesuatu  dalam sepasang  bola  iris  hijau  cerdas  miliknya  memancarkan  kesan  kharismatik  sekaligus  berbahaya.

     “ Sama  seperti  alasan  kamu  menyukainya ” pemuda  itu  berdiri  tepat  di  sampingku, kepalanya  menengadah, fokus  pandangannya  tertuju  pada  deretan  action  figure  pahlawan  laba-laba  kesayangan  Amerika  Serikat  tersebut. Mulai  dari  ukuran  paling  kecil  hingga  sebesar  diriku.

     “ Di  luar  segala  sikap  heroik  serta  nasionalisme  Peter  Parker, dia  hanyalah  sosok  pemuda  geek  yang  mencintai  ilmu  pengetahuan, kebenaran  sekaligus  keberanian. Dia  cuma  manusia  biasa  seperti  kebanyakan  orang  lain. Bisa  merasakan  kekurangan uang, berhasil  kuliah  karena  beasiswa, pernah  patah  hati  juga. Mampu  mendapatkan  sakit,  pokoknya, figurenya  menyerupai  kebanyakan  anak  muda  Amerika  Serikat  kebanyakan.  Tapi  alasanku  sangat  salut  pada  dia  adalah, kebesaran  hatinya  untuk  mau memaafkan  juga berteman pada  kondisi” tutur  pemuda  itu, membuatku  tercengang  sekaligus  kagum. 

     Dia  menoleh  padaku, bahkan  tanpa  malu  aku  masih  tetap  mematung  menatapnya. Bisa  kulihat  sekarang  betapa  bodoh rupaku  dalam cerminan  yang  terpantul  di  sepasang  mata  hijau  indahnya  itu. Dia  nyengir  padaku, membuat  dua  lesung  pada  pipinya  muncul.

     Menelan  ludah  susah  payah, kujilat  bibir  bawahku  dan  kugerakkan  leherku  meski  serasa  tidak  ingin mengalihkan  pandangan  darinya  sedetikpun. “ Aku  kaget, ternyata  ada  juga  orang  yang  memiliki  pemikiran  sama  terhadap  sosok  Peter  Parker  seperti  aku”

     “ Apa  kamu  penggemarnya?”

     “ Sejati!” jawabku  cepat, tanpa  keraguan  dibarengi  anggukan.

     Bersama  kami  kembali  memandangi  action  figure  tersebut. “ Terkadang  aku  selalu  berpikir, betapa  hebatnya  seorang  Peter  Parker. Dia  mengabdikan  dirinya  demi  melindungi  dunia  juga  orang-orang  yang  bahkan  membencinya. Belum  tentu  saat  aku  berada  di  posisinya  bisa  lebih  baik  dari  itu” kataku  sunggguh-sungguh.

     “ Kamu  tahu  pasti  bisa, itu  semua  adalah  pilihan  hati” jawab  pemuda  asing  ini.

     Beberapa  menit  berlalu  dalam  kesunyian, bila  tidak  ada  kaca  di  depanku  yang  memantulkan  sosoknya  kukira  dia  sudah  pergi. Menghela  nafas  panjang, aku  sudah  bersiap  menyampaikan  sesuatu, setidaknya  aku  harus  tahu  namanya  meski  kami  takkan  bisa  berjumpa  lagi. Namun, seakan  tahu  kapan  waktu  tepat  untuk  menyela, ponselku  berdering  kencang  sekali, membuatku  nyaris  terlonjak  sendiri.

      “Ma...maaf, aku  harus  mengangkat  ini” kataku  tergagu.

     Pemuda  asing  itu  mengangguk  sambil  tersenyum  manis. “ Tentu  saja, silahkan”

     Memutar  tubuh, kubaca  nama  yang  tertera  pada  layar  ponselku  sambil  merutuk  kesal  kemudian  memencet  tombol  penerimanya.

     “ Dimana  kamu?!!” teriakan  membahana  terdengar  dari  ujung  telpon.

     “ Berhenti  teriak-teriak  sebelum  suaramu  menghancurkan  gendang  telingaku!” bentakku  geram, menurunkan  volume  suaraku  sambil  sesekali  melirik  pemuda  asing itu. Ya  Tuhan  dia  masih  berada  di  tempatnya  dan  tak  hentinya  melemparkan  senyum  tampan  itu  untukku. Lututku  pasti  gemetar  sekarang  bila  ini  bukan, well, aku.

     “ Kemana  saja  kamu? Apa  sudah  bertemu  partnermu? Ada  pergerakan  dari  target  yang  baru  saja  terjadi  apa  kamu  tahu?!”

      Hah  apa?? “ Sudah  sejam  lebih  aku menunggu  di  tempat  perjanjian  kami  tapi  dia  juga  belum  muncul. Kamu  lupa ya, kita  kan  tidak  tahu  bagaimana  rupanya?! Jadi  mana  aku  tahu???! ”Balasku membentak si  penelpon bersuara  khas  lelaki  ini, dia  membalasnya  berupa  dengusan  menyebalkan.  “ Sekarang  katakan  padaku  apa  yang  telah  terjadi! Di  mana  si  target....”

     “.............” hening.   
     “......Halo??? Ice! Kamu  masih  di  sana  kan?!”

     Prankkkk!!!!!!!!!!!!!!!!!!!...........

     Jantungku  terasa  sakit  sekali, seperti  di  remas. Aura  hitam  pekat  menggantung  di  udara. Suara  teriakan  di  barengi  ledakan  yang  terasa  tepat  di  belakangku  bergaung  memenuhi  gendang  telinga. Menolehkan  kepala, seekor  makhluk  raksasa  setinggi belasan meter  dengan  tubuh  terbuat  dari  kumpulan  bebatuan, muncul  secara  tiba-tiba  berjarak  ratusan  meter  dariku.

     Lalu, saat  kedua  bola  mata hitam  jelek  dengan  pupil  kemerahan  monster  tersebut  tanpa  sengaja  tertuju  ke  arah  jalanan  tempatku  berdiri  sekarang, sadarlah  aku  bila.

     Sedang  dalam  masalah  besar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 27, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BLUE  WAVE: the BOOK  ONE  from  Trilogy AWAKENINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang