KAU, KASIH

47 5 3
                                    


Gadis berlesung pipi itu dipanggil Kasih. Kehadirannya cukup familiar di SMA kami. Berbekal kecerdasan dan sosialisme tinggi, Kasih kerap menjadi bahan perbincangan setiap pagi hingga siang hari. Seperti kemarin, temanku, Panji mulai gencar memonitor Kasih dimanapun gadis itu berada. Panji tau persis jika Senin, Rabu, dan Kamis merupakan jadwal rutin Kasih berkumpul di kantin dengan teman-temannya pada jam istirahat. Selain tiga hari itu, Kasih kerap menghabiskan waktu istirahatnya di gedung OSIS, kecuali Minggu. Menurut Panji, Kasih adalah gadis langka yang tidak boleh disia-siakan. Kasih harus selalu memiliki pemantau khusus kemanapun ia pergi. Kasih adalah gadis incarannya. Sayangnya, tak ada posisi khusus bagi Panji di hati Kasih karena Panji belum juga mantap mengutarakan isi hatinya.

"Kasih punya banyak teman laki-laki, Wa. Mana mau dia sama laki-laki kuper sepertiku," Panji menggaruk-garuk kepala setelah sekian kali mengucapkan hal yang sama.

"Kamu bisanya mengeluh, coba buktikan dulu. Mana tau doi juga naksir kamu" Balasku.

"Bicara sih enak. Aku yang nggak sanggup nanggung malu kalau ditolak" Ucap Panji menunjuki wajahnya.

Aku tertawa cekikikan. "Kalau gagal ya coba lagi. Itu artinya usahamu belum matang, Ji".

"Ah, benar juga, Ya. Kasih pasti bangga ada laki-laki yang tidak gampang menyerah sepertiku.." Mata Panji berbinar.

"Masalahnya, dia siap nggak bicara sama kamu yang rada nggak nyambung?"

Wajah Panji memerah. Tangannya buru-buru menjitak kepalaku dan ku balas hingga pembicaraan yang seharusnya serius itu berubah menjadi lelucon.

Pernah suatu ketika kami akan menghadapi ulangan Biologi, Panji kehilangan catatannya. Pemberitahuan telah dibuat seminggu sebelumnya, namun sikap Panji yang acuh tak acuh dan selalu mengerjakan sesuatu terburu-buru membuat ia lupa dimana meninggalkan catatan itu. Laki-laki itu telah berputar-putar di kawasan sekolah, tempat terakhir ia membawanya dan hasilnya nihil.

Panji putus asa. Pasrah dengan yang akan ia terima ketika Pak Fuji akan memerintahkan seluruh siswa mengumpulkan catatan mereka.

"Lain kali, catatanmu dibuang saja, Ji" Ledekku. Panji memukul jidatnya.

"Seingatku, buku itu tadi memang di kantong celanaku ini, Wa" Aku tau persis kebiasaannya menggulung setiap buku tipis berisi coretan penting itu lalu memasukkannya ke saku celana.

Beberapa menit kemudian, seorang Guru Biologi berwajah garang dengan sebuah buku ratusan lembar dan rol kayu panjang memasuki ruangan. Keringat dingin mulai bercucuran di kening Panji.

"Maaf, Pak. Boleh saya masuk?" Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian kami kepada dua gadis asing di luar sana. Pak Fuji mengangguk. Kasih bersama Ine berjalan beriringan menghadap Pak Fuji. Aku menarik-narik lengan baju Panji yang menunduk. Parahnya dia tidak juga mengalihkan pandangan pada manusia yang ku maksud.

"Panji Michello?" Tanya Kasih. Matanya mencari-cari seseorang dengan nama itu. Beberapa pasang mata menatap Panji, termasuk dirinya yang mematung tak percaya bahwa yang memanggil tadi adalah gadis berlesung pipi itu.

"Tadi aku menemukan buku ini di bawah pohon nangka di samping kantin" Lanjutnya, menyodorkan buku yang dari tadi dicari oleh Panji. Panji terpukau tanpa melakukan kewajiban berterima kasih pada seseorang yang telah menyelamatkan separuh nyawanya. Terpaksa aku yang menerima buku itu hingga Kasih beranjak pergi. Panji yang menyadari kepergian Kasih pun cepat-cepat mengejar gadis itu.

"Kasih!" Gadis itu menoleh

"Terima kasih, Ya" Lanjutnya dan dibalas dengan senyuman tulus oleh Kasih. Panji segera menempelkan telapak tangannya ke depan dada. Memastikan degup jantungnya masih normal atau lima kali lebih cepat dari sebelumnya. Sejak saat itulah dia sadar bahwa kondisi mentalnya telah abnormal. Sekembalinya ke kelas, dia malah mencium tangan Pak Fuji disaat semua siswa sedang serius mengerjakan ulangan. Sejurus kemudian, Pak Fuji memerintahkan remaja yang sedang berbunga itu untuk berdiri sebelah kaki selama setengah jam.

Semenjak kejadian bersejarah itu, Panji jadi sering meninggalkan barang-barangnya di tempat yang sering dikunjungi Kasih pada jam istirahat. Seperti buku catatan matematika di bawah pohon cemara, headset bertuliskan nama Panji, pas fotonya berukuran 3x4 cm , dan hal bodoh lain dengan tujuan Kasih akan melakukan hal yang sama seperti yang terjadi pada catatan Biologinya kemarin itu. Sayangnya, yang mengembalikan barang-barang itu bukan lagi Kasih. Namun gadis lain yang juga sekelas dengan Kasih atau siswa lain yang kebetulan menemukannya.

Panji terduduk lesu. Membayangkan usahanya sia-sia. Satu lagi harapannya, kunci motor yang nekat ia tinggalkan di kolong meja Kasih. Setengah jam ia menunggu di parkiran, yakin benar gadis itu pasti akan iba bila tidak menemui dan mengembalikan kunci motornya.

"Panji!" Panggil seorang gadis. Panji buru-buru menoleh. Yang datang juga bukan diharapkan. Gadis lain yang sekelas dengan Kasih.

SURAT CINTA KASIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang