"Kamu suka ya, menaruh barang asal-asalan. Kunci motornya dibuang aja ke sungai!" Kata gadis itu sambil menyodorkan kunci motor panji. Panji tertawa renyah.
"By the way, terima kasih ya udah antarin" Ucap Panji.
Gadis itu tertunduk malu. Matanya mencuri pandang pada Panji.
"Namaku Tania. Tadi kunci motormu tinggal di laci meja Kasih. Awalnya sih dia yang mau mengembalikan, tapi karena aku juga kebetulan mau ke parkiran, ya dia titip sama aku" Jelasnya lagi. Panji baru merasa rencananya akan berhasil.
"Ooh gitu. Sekali lagi terima kasih ya Tania. Kalo nggak ada kamu, mungkin aku udah ngesot ke rumah".
Tania tertawa geli. Gadis ini nasibnya hampir sama dengan Panji. Tidak terlalu terkenal layaknya Kasih. Rambutnya yang hanya dihiasi dengan sebuah penjepit rambut saja telah membuatnya terlihat begitu sederhana. Panji dan Tania berbincang-bincang kecil tentang keadaan kelas masing-masing. Sebelum pulang, Tania menyempatkan meminta id Line Panji dengan alasan ingin lebih dekat. Seminggu kemudian Tania memfollow instagram dan Path milik Panji hasil dari keingintahuannya yang besar tentang laki-laki itu.
"Tania mungkin suka padamu." Godaku
"Ah, mana mungkin. Kami hanya berteman, kok." Ucap Panji santai.
"Setau aku nggak ada pertemanan spesial antara cewek dan cowok. Yang like semua pemberitahuan social media mu dari zaman purba, ngajakin dinner, sampai memberi perhatian tiap saat itu, masih kamu bilang teman?" Sindirku lagi. Panji berpikir lama.
"Ia juga ya, Wa? Ah, tapi kalau pun dia suka sama aku, tetap tak bisa. Aku milik Kasih seorang".
"Memangnya Kasih pernah bilang seperti itu? Kapan?" Aku tertawa merendahkan.
Sedetik kemudian Panji memukulkan bukunya di kepalaku sementara aku hanya geleng-geleng kepala dengan tingkahnya.
***
"Tari, golongan darahmu apa?" Tanya Kasih di koridor depan Laboratorium Kimia. Aku dan Panji baru saja selesai praktikum.
"A. Mengapa memangnya?" Jawab Tari. Kasih tersenyum berat.
"Tidak. Cuma tanya saja". Gadis itu berlalu pergi.
"Deni, boleh tau golongan darahmu?" Tanya Kasih, kali ini pada Deni, si kutu buku di kelas kami. Jawaban Deni juga membuat wajahnya murung. Tak menyerah, setiap teman sekelas kami yang baru keluar dari ruang praktikum pasti dicegat oleh Kasih dengan pertanyaan yang sama. Lagi-lagi tak ada jawaban yang memuaskan hatinya. Kali ini wajahnya pasrah. Ia berjalan pelan. Duduk di atas bangku kosong di depan lab. Merenungi sesuatu yang entah apa.
Panji yang mendapati pujaan hatinya yang bermuram durja itu tak sampai hati. Memaksa mentalnya untuk sekedar berani menyapa gadis itu dan membantu senyumnya merekah lagi.
"Aku harus membantu dia, Wa!" Panji berjalan mantap. Aku mencegatnya
"Kamu yakin?"
"Makanya, temani aku, sini". Panji menarik tanganku dan sesaat kemudian kami duduk di bangku yang sama dengan gadis itu. Dia tak menoleh. Memandang hampa pada bunga bougenville yang berjarak lima meter di depannya. Aku dan Panji menghabiskan waktu tiga menit untuk tawar menawar siapa yang akan menyapa lebih dulu. Tak ada yang mau mengalah. Hingga pada akhirnya, Kasih menyadari kehadiran kami dan mulai memasang senyum terpaksa.
"Hei Ka... Kasih!" Sapa Panji. Aku ikut mengangguk ramah.
"Hei Dewa" Jawabnya.
Aku dan Panji saling berpandangan. Mengapa namaku yang menjadi jawaban atas sapaan dari Panji?
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT CINTA KASIH
Short StoryKarena memilih satu di antara dua sisi yang kau cintai, tak akan mengalihkan duniamu pada kesetiaan yang sejati,