Malam itu setelah kabar tak langsung via telepon, perdebatan besar terjadi.
Jaka yang digaet untuk berpasangan dengan Jekka untuk maju menjadi pasangan presiden dan wakil presiden dengan sumringah dan tanpa perasaan apapun menghubungi Ahong. Maksud hati menyampaikan kabar kegembiraannya karena mendapatkan kesempatan menjadi presiden.
Ahong terdiam lama diposisinya. Ponsel pintarnya masih berada di telinganya. Dunianya terasa berputar cepat. Dan telinganya mendadak tuli. Mengabaikan panggilan namanya yang berkali-kali diteriakkan Jaka.
"Saya dan pak Jekka mendapat kesempatan menjadi presiden."
Kalimat itu terus berdengung di dalam telinganya tanpa henti.
"Pak Ahong? Anda masih di sana?" Dari ponselnya masih terdengar suara yang sama.
Ahong perlahan membuka mulutnya.
"Jadi begitu?" Ahong tak bisa menahan nada getir dalam perkataannya.
"Loh? Pak Ahong kenapa?" Nampaknya Jaka menyadari getaran nada Ahong yang berbeda dari biasanya.
"Tidak, tidak. Wah, selamat ya pak," cepat-cepat Ahong mengganti nada bicaranya.
".... Bapak kenapa?"
Ahong kembali terdiam setelah lontaran pertanyaan Jaka.
"Saya tidak apa-apa lah pak. Tapi saya bakal kesusahan soalnya sendirian kerja."
Begitupun Jaka. Ia memberikan jeda yang cukup lama sebelum ia berucap, "Pak... Maaf, saya tidak bermaksud meninggalkan bapak."
Aku tahu.
"Partai yang memasangkan kami."
Aku tahu. Bahkan pertemuan kita pun karena partai.
"Saya sendiri lebih suka bekerja bersama anda."
Hentikan.
"Partai melihat ini sebagai sebuah kesempatan. Pak Jekka pun juga adalah utusan partai."
Jangan sebut namanya!
"Pak," Ahong mendesahkan nafas berat untuk menghentikan kalimat Jaka berikutnya.
"Satu setengah tahun ini sangat menyenangkan. Saya belajar banyak dari anda. Anda yang selalu menebengi saya karena tempramen saya yang tinggi, anda yang memberikan nasehat untuk saya dikala saya tidak memiliki solusi, itu semua menyenangkan. Walaupun sebenarnya saya cukup sedih dengan kabar ini. Tapi saya akan selalu mendoakan yang terbaik bagi anda. Buat negeri ini lebih baik, pak."
"Saya akan selalu menelepon anda! Tidak peduli seberapa banyak pekerjaan saya! Saya akan menelepon anda! Anda bisa berbagi keluh kesah dengan saya! Sampai kapan pun saya akan--"
Namun Ahong memotong paksa kalimat Jaka.
"Tidak pak. Anda harus berkonsentrasi dengan kampanye dan pekerjaan anda. Saya juga harus berjuang di sini. Menggantikan anda."
"... Baiklah. Terima kasih atas dukungannya pak."
"Selamat berjuang."
Dan sambungan telepon itu berakhir.
Ahong menjatuhkan dirinya di sofa. Menyandarkan kepala dan badannya yang begitu terasa berat.
Mendukungmu?
Ia tersenyum kecut.
Yang benar saja.
Melihatmu bersanding dengan orang itu...
Padahal kukira hanya aku yang pantas untuk bersamamu.
Melihatmu bekerja. Bekerja bersamamu. Mendiskusikan sesuatu denganmu.
Pak Jaka, maafkan aku. Namun aku, mengharapkan kekalahanmu.
Agar kau kembali di sisiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Make Me Feel Low (A FanFiction of Jokowi&Basuki)
FanfictionPlease be calm Untuk kalangan sendiri Segala bentuk kalimat dan kejadian di dalam cerita ini tidak ada hubungannya dengan dunia nyata. Proyek ini 100% fiksi. Mereka disatukan untuk negeri ini.