Perjalanan

33.9K 1.8K 79
                                    

Setelah prakata dari pihak kampus selesai, aku dan Via segera berjalan ke mobil yang akan membawa kami ke tempat KKN. Sebuah senyum mengembang dari bibir tipisku. Ini adalah pertama kalinya aku jauh dari ayah dan bunda, pertama kalinya aku benar-benar hidup mandiri.

Dengan ekor mataku, aku melihat Tania berjalan dengan angkuhnya bersama beberapa temannya. Kadang dia menatapku dengan pandangan sinis dan penuh kebencian.

Kring

Ponselku berbunyi dengan sangat nyaringnya hingga mampu mengalihkan pandanganku dari Tania. Aku menatap layar ponselku, ternyata dari Kak Arfan.

"Hallo kak," kataku.

"Hallo dek, kamu lagi dimana?"

"Ini kak aku mau berangkat ke tempat KKN,"

"Oh iya kakak lupa kalau kamu mau KKN, hati-hati di sana ya,"

"Ya kak, kabar Kalimantan bagaimana kak?"

Kak Arfan saat ini sedang bertugas di perbatasan Kalimantan dengan Malaysia. Jabatan ayah tak berpengaruh pada penempatan tugas kedua kakakku. Mereka tetap menjalankan tugas sesuai dengan kewajiban mereka dan ayah tak pernah ikut campur.

"Baik, sebentar lagi kakak mau jalan," kata Kak Arfan.

"Kak, aku satu kelompok sama mak lampir,"

"Mak lampir? Tania?"

"Ya kak, kok bisa? Memang kalian satu kampus?"

"Ya kak,"

"Hati-hati ya, kakak pergi dulu,"

Kak Arfan menutup telponnya dan aku kembali menyimpan ponselku ke dalam tas. Kulihat Tania sedang memperhatikanku dengan seksama. Aku tahu jika dia menyadari bahwa Kak Arfan baru saja menelponku.

Aku tak menghiraukan Tania yang berjalan  di depanku. Aku terus saja berjalan bersama Via sambil membicarakan beberapa hal.

Aku baru saja menaiki mobik yang akan membawaku ke tempat KKN, tapi entah bagaimana ceritanya semua jok telah penuh. Seharusnya mobil ini cukup untuk kami semua, bahkan berlebih karena beberapa orang pergi dengan menggunakan motor.

Aku menelisik apa yang menyebabkan mobil menjadi penuh, ternyata semua karena barang yang disimpan secara sembarang tempat serta Tania dan teman-temannya yang duduk dengan sembarang dan semaunya sendiri.

"Misi," kataku pada seorang teman Tania.

"Kamu kan bawa mobil Aira, pakai mobil saja biar kami yang di sini," kata Tania.

Aku tak menghiraukannya dan terus meminta kepada teman Tania untuk berbagi kursi dengan kami, tapi sayang dia tak mau beranjak dari tempat duduknya.

"Jangan mentang-mentang kamu anak pejabat bisa dapetin apa yang kamu mau Ra," kata Tania.

Mendengar perkataan Tania, seketika itu aku menjadi geram kepadanya. Aku berbalik menatapnya dengan tajam. Ternyata waktu 3 tahun tak membuat dia berubah sama sekali.

Aku sangat tak menyukai orang yang membawa-bawa jabatan orang tuaku dalam kehidupanku. Yang seorang TNI adalah ayah, bukan aku. Yang memiliki jabatan adalah ayah, bukan aku. Aku tetap seorang gadis biasa, putri ayah dan bundaku.

"Siapa yang membawa jabatan ayahku? Apakah mobil ini punyamu? Atau kamu yang sewa? Bukankan? Ini adalah mobil yang disewa kampus untuk membawa kita ke tempat, jadi aku dan Via berhak duduk di sini," kataku kepada Tania.

Tania hanya terdiam mendengar semua perkataanku. Aku memalingkan mukaku dan menyuruh teman Tania untuk duduk dengan baik dan rapi.

Aku dan Via duduk dimana teman Tania tadi duduk. Aku membiarkan pandangan dan perkataan Tania yang terus saja berusaha mengusik ketenanganku.

Mobil pun mulai melaju dengan kecepatan sedang. Dari kaca belakang mobil, aku melihat Om Jajang mengikuti kami dari belakang, di sungguh menjalankan tugasnya dengan sangat baik.

Kunikmati perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan ini dengan cukup menyenangkan walau sepanjang jalan di temani dengan ocehan Tania. Aku merasa senang karena ini pertama kalinya aku diperjalanan tanpa di temani seseorang berpakaian loreng walau Om Jajang masih mengikutiku.

Via yang duduk di sampingku mulai tertidur karena lamanya perjalanan. Mungkin dia bosan dan lelah dengan perjalanan panjang ini.

Aku mengambio ponselku dan mengeceknya karena aku tahu kalau bunda pasti akan menghubungiku begitu beliau selesai menjalankan semua kegiatannya.

Sial...ternyata daerah yang aku lalui tak ada singnal sama sekali. Sepertinya percuma saja jika aku membawa ponsel tapi tak aku dapat aku gunakan.

Terlintas dalam benakku jika daerah yang akan aku tinggali selama sebulan nanti pasti tak jauh beda dengan jalan yang aku lalui. Pohon-pohon rindang dan tinggi menjulang menjadi satu pemandangan yang mutlak selama perjalanan.

Aku menengok ke belakang dan memastikan jika Om Jajang masih mengikutiku. Dan dia memang masih mengikutiku tepat di belakang mobil yang aku tumpangi.

"Nyesel ya naik mobil ini? Tuan putri tak terbiasa ya desak-desakkan seperti ini?" tanya Tania dengan sini.

Aku tak membalas perkataannya. Aku membiarkan dia berkata sesuka hati dia. Aku tak ingin menjadi jelek hanya karena melayani perkataan dia yanh tak berarti seperti itu.

Aku mengambil earphone dari dalam tasku dan segera mebyambungkannya dengan ponselku. Pikirku, akan lebih baik aku mendengarkan musik daripada mendengarkan Tania yang terus saja mengoceh tak jelas.

Kunyalakan musik dengan volume yang cukup keras untuk menyamarkan suara Tania yang sedari tadi terus saka mengejekku.

Kupejamkan mataku dan memikirkan semua perkataan Tania. Ya, aku memang tak mempedulikan dia tapi bukan berarti aku tak memikirkan ucapannya. Aku memikirkan semua ucapannya untuk mengintropeksi diriku sendiri.

"Apakah aku memang anak manja?" batinku.

Aku mengingat semua perilaku selama ini, aku merasa bahwa aku adalah seorang perempuan yang mandiri dan tidak manja walau ayah dan bunda tak pernah membiarkan aku pergi seorang diri. Tapi aku memaklumi semua kekhawatiran mereka, apalagi aku anak perempuan satu-satunya.

Alunan musik dari Kenny G benar-benar membuatku tenang dan damai. Dari kecil, mungkin sedari dalam kandungan, bunda selalu mendengarkan lagu-lagu klasik padaku, termasuk lagu Kenny G. Menurut bunda, lagu-lagu klasik sangat cocok menstimulasi otak.

Perlahan aku mulai memejamkan mataku bersiap untuk mengikuti jejak Via yang telah terlelap di alam mimpi.

Duk

"Aaaaww...," aku sedikit meringis saat kepalaku terantukbpada jok di depanku.

Mobil yang aku tumpangi baru saja memasuki jalan yang tidak rata dengan lubang yang cukup besar menganga. Aku mengelus kepalaku dengan lembut.

"Tuan Putri kesakitan ya?" kata Tania.

Sial...gara-gara mobil yang memasuki jalanan jelek membuatku tanpa sengaja menekan tombol pause hingga musik berhenti dan aku dapat mendengar semua perkataan mak lampir sialan itu.

Aki tak menggubrisnya, aku hanya menekan kembali tombol play dan musik kembali memenuhi setiap relung telingaku.

Aku kembali menikmati alunan musik dan tak menghiraukan apa pun yang dikatakan Tania. "Tolong," terdengar seseorang meminta tolong.

Seketika aku langsung melepaskan earphoneku dan mencoba untuk memastikan apa yang aku dengar.

Setelah aku melepaskan earphone, aku tak mendengar apa pun dan tak mendengar siapa pun berbicara. Bahkan Tania pun tidak sedang berbicara.

"Siapa yang meminta tolong?" gumamku dalam hati.

Ghost HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang