Bagian 4

37.8K 3.1K 30
                                    

"Ke Bali?" tanyaku dengan mulut menganga lebar.

Mbak Indah mengangguk. Ray tetap tenang sambil melanjutkan pekerjaannya.

"Aku yang pergi?" tanyaku meyakinkan diri.

"Yah, bagaimana lagi? Aku tidak bisa pergi dan Ray sedang mengerjakan proyek lain dengan tim lain. Jadi hanya kau yang bisa pergi."

Mataku membulat. "Oke, aku akan berangkat!" kataku senang.

Dan di sinilah aku sekarang. Di bandara dengan Mbak Maira, Rio yang merupakan kepala pelaksana proyek ini, aku sebagai perwakilan dari tim finishing, dan yang terakhir adalah Brian.

Aku benar-benar tidak tahu jika Brian ikut dalam perjalanan ini. Dia datang paling terakhir dengan pakaian santai dan hidung yang di plester. Membuat menampilannya terlihat seperti bad boy yang hot. Mbak Maira menyambutnya dengan hangat, begitu pula Rio. Dan aku harus berpura-pura seperti itu juga. Yeah, seperti aku tidak jago dalam sandiwara saja.

"Selamat siang Pak Brian, saya lihat luka Anda sudah semakin baik sejak tiga hari yang lalu," sapaku mencoba ramah.

"Sepertinya begitu, terima kasih atas perhatianmu," balas Brian dengan senyum mengejek.

"Kelihatannya itu cukup sakit?" tanya Mbak Maira. Membuat kesempatan bagiku melepaskan diri darinya. Aku lalu mengajak Rio berbincang-bincang. Karena aku memang tidak begitu mengenalnya sebelumnya. Rio cukup tampan, dan akan menjadi idola seperti Ray andai saja dia belum menikah. Eh, jadi di sini yang masih lajang cuma aku dan Brian?

"Tidak sesakit sebelumnya," kata Brian sambil tertawa.

"Memangnya kau habis ngapain sih? Nantang duel orang, ya?" sela Rio yang mulai tampaknya mulai tertarik dengan hidung patah Brian.

Cengiran Brian melebar, sekilas dia melirik ke arahku sebelum menjawab, "Ini ulah pacarku, dia memang agak liar."

Rio, Brian, dan Mbak Maira tertawa, sedangkan aku hanya melongo dan mencoba menyibukkan diri dengan membongkar tas tanganku.

"Apa kamu nggak mau cari pacar yang lebih penurut?" kata Mbak Maira ketika mereka akhirnya berhenti tertawa.

Aku yang saat itu sengaja menyibukkan diri tiba-tiba saja membeku. Menunggu.

"Gimana ya? Cuma dia sih satu-satunya gadis yang bisa membuatku bergairah," ucap Brian yang kemudian membuat Mbak Maira tersipu. Sementara Rio tertawa sambil menepuk-nepuk punggung Brian yang sedang menampakkan cengiran lebar. Sial.

"Mbak, sepertinya kita mesti segera check in deh."

Mbak Maira mengangguk. Aku segera menggiringnya, sengaja menempel pada Mbak Maira.

Kami lepas landas setengah jam kemudian. Untungnya kali ini, aku duduk bersama Rio dan Mbak Maira bersama Brian. Kali ini kami menggunakan kelas bisnis, padahal biasanya hanya mendapatkan kelas ekonomi. Mungkin karena kami bersama klien 'penting' kami.

Aku mengembuskan napas lega setelah kami akhirnya sampai. Sejujurnya aku tidak begitu suka dengan pesawat terbang. Di dalam perjalanan pun aku berusaha untuk tidur walaupun nyatanya aku tidak bisa sedetik pun terlelap. Hal itu membuatku sedikit pusing.

Di lobi bandara, sebuah mobil sudah menunggu kami. Ah, berapa lama lagi kami bisa sampai di tempat tujuan ya? Pikirku dalam hati. Kepalaku yang pusing tampaknya mulai mempengaruhiku. Dalam perjalanan aku bahkan tidak sanggup memfokuskan untuk ikut mengobrol bersama yang lainnya.

"Sella, kau tampak pucat. Kau nggak apa-apa?" tanya Mbak Maira ketika kami sampai di hotel yang kami tuju. Hotel yang akan kami buat iklannya, dan well jika saja keadaanku lebih baik, aku pasti bisa mengamati bagaimana rupa hotel ini lebih teliti.

Run OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang