Entah sudah berapa tahun, aku berada di tengah keramaian pasar tradisional ini. Orang-orang berlalu lalang seperti halnya angin berhembus. Ada banyak orang saling menawar, mengangkat kantong plastik dan bertransaksi dengan penjual. Seolah, hal prosais ini terus berlanjut bak sebuah roda berputar.
Satu-satunya alasan kenapa aku mau bersusah payah berdiri di sini, hanyalah untuk mencari uang. Seperti yang lainnya, aku seorang pedagang. Ikan-ikan laut yang kudapat dari pemasok pagi tadi, kutata rapi di atas meja. Sesekali aku berteriak, menawarkan dagangan pada orang melintas.
Selama bertahun-tahun, aku sudah menekuni pekerjaan ini. Hampir tak ada kata lelah dalam kamusku untuk terus berdagang. Bukankah itu hal wajar? Biar kuambil uangmu dan kuberikan kau ikan segar yang ditangkap pagi ini. Itu suatu pertukaran dan tentunya saling menguntungkan. Baik bagi pembeli, juga penjual. Tapi, tahu kah kau, pekerjaan ini dapat memberikan suatu pengalaman berharga? Kuharap kalian mau duduk dengan tenang sembari kuceritakan kisah ini.
Pada satu pagi, matahari masih mengintip dari timur. Kuletakkan ikan-ikan laut di atas meja kecil sambil menyusunnya dengan rapi. Hingga, terdengarlah sebuah suara. Itu suara seekor kucing kelaparan yang malang. Aku beranjak dari kursi seraya menoleh ke setiap sudut pasar. Namun tak juga kutemukan seekor kucing pun di sana. Aneh.
Ketika matahari mulai memanjat kaki langit, pasar telah ramai oleh kerumunan orang. Banyak dari mereka datang, membeli beberapa potong ikan lalu menghilang di dalam kerumunan lainnya. Seolah, mereka tak ada habis-habis, seiring daganganku yang kian menipis.
Matahari mulai lelah, dia turun dari langit di kala petang. Tepat ketika daganganku benar-benar habis. Aku tersenyum puas dan memasukkan pisau ke dalam tasku. Hendak ku beranjak pulang─meninggalkan pasar, Ketika sosok berbulu itu menyeruak dari sela-sela dinding.
Seekor kucing hitam pekat, berjalan di tengah keramaian kala itu. Matanya yang tajam menelisik ke penjuru pasar. Dia sempat menoleh pada ku, hampir tanpa ekspresi lalu kembali masuk ke dalam sela-sela dinding yang sempit nan lembap. Tentu aku tak mampu masuk ke sana. Itu terlalu sempit.
Keesokan harinya, aku kembali berdiri di tengah-tengah pasar. Dalam hati, aku berharap kucing itu kembali menampakkan diri. Aku menunggu dan menunggu sembari menjual daganganku yang hendak habis di kala senja tiba. Tepat ketika matahari sudah jatuh, tak ada lagi ikan tersisa.
Sesaat, aku membersihkan tempatku berdagang. Mengelap meja dan memasukkan plastik sisa ke dalam tong sampah. Tatkala sosok itu kembali muncul dari sela-sela dinding. Dia berjalan mendekati dan berhenti tepat di kakiku. Wajahnya yang polos, mendongak seolah meminta sesuatu padaku. Aku tahu, dia pasti kelaparan. Tubuhnya sangat ramping, hingga tulang rusuknya bak hendak meronta keluar dari sana.
"Maaf, tapi, tak ada lagi ikan tersisa. Datanglah kembali besok dan akan kuberikan kau ikan. Aku janji." Ujarku singkat seraya mengandeng tas bawaanku. Dengan segera, aku pulang ke rumah. Aku tak ingin berlama-lama di pasar, terlebih ketika malam menjelang.
Sesampainya di rumah, aku masih memikirkan soal kucing itu. Dia masih terduduk ketika aku meninggalkannya tadi. Kuharap dia benar-benar datang kembali besok. Andai dia paham apa yang kukatakan, pasti semua perkara ini akan menjadi lebih mudah.
Pagi-pagi sekali, aku harus ke tempat pemasok untuk mengambil ikan yang hendak kujual. Untungnya aku memiliki motor tua yang sudah sekarat untuk menemani perjalananku. Ketika subuh menjelang, burung gereja merinai di angkasa. Sesekali terbang rendah meninggalkan bumantara kota yang kian kusam oleh manusia.
Kuletakkan barang bawaanku di bawah meja. Ada 2 buah gabus dan juga 4 kantong plastik tempat ikan dimasukkan. Ikan-ikan itu masih tampak segar pagi ini. Jika kau tanya padaku, apa di sana tidak amis? Ya, tentu aku mencium aroma amis yang teramat sangat di sana. Namun, aku sudah terbiasa soal itu. Bau amis itu, kini telah berubah menjadi parfum.
Siang menjelang, aku kembali berdagang. Orang-orang mulai datang mengambil ikan dan meletakkan uang. Namun di sisi lain, aku jadi khawatir soal mahkluk itu. Ke mana perginya kucing kemarin? Dia kembali menghilang di dalam keramaian kota. Dengan berat, kucoba melupakan mahkluk itu. Sangat berat, bahkan tak mampu. Tapi bagaimana lagi? aku harus tetap harus menjual ikan hari ini. Ada banyak orang yang telah mengantri di depan. Aku tak mau mengecewakan pelangganku.
Sore menjelang kala rona cerah mulai hilang. Daganganku sudah habis hari ini. Tak satu ekor pun ikan tersisa. Aku mendesah, melepas penat yang telah kupikul seharian. Mendadak, suara itu kembali terdengar. Suara lirih dari seekor kucing kelaparan. Dia berjalan terhuyung-huyung di antara kedua kakiku.
Aku dapat menangkap banyak luka menggores tubuhnya. Juga, masih ada darah yang masih menetes. Tubuhnya pun ikut basah, karena lumpur yang kotor dari jalanan kota. Kuusap pucak kepalanya dan mengangkatnya ke atas meja. Dengan lihai, aku menelisik ke seluruh tubuhnya. Dia tampak buruk rupa.
Sesaat, kucing itu menjerit. Bulu-bulunya berdiri tegap tatkala kusentuh lengannya yang bengkok. Ada banyak sekali luka, tapi bagaimana bisa? Yah, mungkin saja hewan pun memiliki banyak musuh seperti manusia. Amat banyak, hingga bagi siapa pun yang memegang tahta, adalah raja.
"Apa yang terjadi denganmu?" tanyaku seraya mengangkat alis, "Maafkan aku. Tapi, tak ada lagi ikan tersisa, semuanya sudah habis. Datanglah kembali besok dan akan kuberikan kau ikan. Aku benar-benar berjanji kali ini."
Kucing itu terdiam. Dia segera meringkuk di atas meja sambil menahan luka di sekujur tubuhnya. Kau tahu, hatiku tergerak. Mungkin aku sudah membuat kesalahan yang teramat fatal hari ini. Dengan berat hati, aku meninggalkannya pulang. Ketika aku menoleh ke belakang, dia masih meringkuk dengan mata terpejam. Mungkin dia sangat kelelahan setelah melewati hari yang begitu panjang ini.
Rembulan putih sudah tergantung di cakrawala kota. Aku memandanginya sejenak sembari mendengarkan siaran radio malam itu. Guntur sedang menampar-nampar bumantara, tatkala kilat membentur ardi dengan begitu keras. Desir angin hujan mulai terdengar, menyapu musik dari radio tua di genggaman tanganku. Hingga di satu titik, hujan deras turun. Membasahi wajah kota.
"Kucing itu, bagaimana keadaannya yah?" Gumamku seraya meletakkan radio.
Keesokan harinya aku harus kembali bekerja. Aku mengendarai motor menembus kabut malam yang tebal. Jalanan aspal tampak kotor oleh lumpur bekas hujan semalam. Sekitar pukul 6 pagi, aku mulai menempuh perjalanan ke pasar. Serembak aroma pagi menghiasi jalanan kota.
Matahari sudah berada di kaki langit, tatkala kuinjakkan langkahku pada satu lumpur di sudut pasar. Aku terdiam, menangkap seekor kucing tengah meringkuk di atas meja dagangku yang kotor. Matanya terpejam dan tubuhnya basah kuyup. Ketika kuperhatikan baik-baik, dia bukan lagi seekor kucing. Dia sudah menjadi mayat.